Thursday, January 28, 2021

LAUNCHING CATATAN TAHUNAN : Jombang Darurat Ruang Aman, Refleksi 1 Tahun Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid

 

Jombang, 28 Januari 2020 – WCC Jombang luncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) Tahun 2020. Kumpulan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh WCC Jombang dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. CATAHU merupakan salah satu upaya publikasi data kasus untuk kampanye “Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan” khususnya dilingkup Kabupaten Jombang.

Sepanjang tahun 2020, WCC Jombang menerima 83 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, situasi pandemi covid-19 yang mewabah di Indonesia sejak Maret 2020 menambah tantangan dalam memberikan akses layanan bagi korban. Penerapan pembatasan sosial, kebijakan bekerja dirumah serta pembatasan akses layanan publik terhadap masyarakat yang ingin melakukan pengaduan atau pelaporan.

Dari 83 kasus kekerasan Terhadap Perempuan yang ditangani WCC Jombang sebanyak 48 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 6 Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 40 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan pelaku adalah suami dan 1 kasus pelaku adalah saudara. Selanjutnya 35 kasus merupakan kekerasan seksual. Terdiri dari 11 Kasus Perkosaan, 7 kasus pelecehan seksual dan 14 kasus kekerasan dalam pacaran, 2 kasus incest dan 1 kasus trafficking.

Dalam proses penanganan kasus kekerasan, perempuan kerap menghadapi banyak tantangan. Mulai tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan. Dari 48 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang sebanyak 22 kasus berujung pada perceraian. 15 kasus disebabkan perselingkuhan, 15 kasus penelantaran, 3 kasus marital rape, 1 kasus perebutan hak asuh anak. Sepanjang 2020 tidak ada kasus KDRT yang masuk ke ranah pidana. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa. Setidaknya tercatat 2 kasus KDRT yang diselesaikan dengan cara ini. Hal ini menunjukan bahwasanya program perlindungan terhadap perempuan belum sepenuhnya dirasakan korban hingga ke lingkup desa.

Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggungjawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali kasus penelantaran, korban akan memilih jalur perdata (cerai gugat). Pilihan ini justru mengabaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, beberapa permasalahan pasca putusan cerai seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa bantuan mantan suami. Keberadaan kebijakan terkait akses keadilan dalam layanan hukum, masih sulit dijangkau oleh korban. Perda No 10 tahun 2017 tentang Bantuan hukum kepada masyarakat miskin, yang secara teknis diatur dalam Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Jombang Nomor 22 Tahun 2018. Berdasarkan catatan WCC Jombang dari 22 korban yang berhadapan berproses secara perdata, tidak satupun yang mendapat akses bantuan hukum secara cuma-cuma.

Beragam tantangan juga dihadapi oleh 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Diantaranya 10 kasus masih dalam proses penanganan, 5 kasus proses hukum tidak berlanjut. Hal ini disebabkan karena adanya upaya perdamaian antara korban dan pelaku baik dengan pemberian ganti rugi maupun adanya perkawinan anak. Sementara 4 kasus berstatus DPO yang sejak laporan hingga saat ini masih belum ada kejelasan hukum.  Kemudian 1 kasus tidak bisa diproses secara hukum karena belum diakomodir oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sehingga penting untuk mendukung pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang mengatur tentang eksploitasi seksual jika korbannya berusia dewasa.

Kompleksitas kebutuhan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya berbanding lurus dengan sinergisitas seluruh stakeholder yang ada di kabupaten Jombang.  Fakta yang ada justru masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual belum mendapat perlindungan secara optimal terlebih dimasa pandemic. Jam layanan yang terbatas serta akses yang jauh membuat korban sulit mengakses layanan yang menjadi kebutuhannya. Diantaranya program pemulihan trauma psikologis, pemulihan medis, jaminan penegakkan hukum serta reintegrasi sosial dari pemerintah yang seharusnya didapatkan korban. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran membangun manusia yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban.

Kabupaten Jombang memiliki seperangkat Regulasi yang cukup komprehensif dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya. Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta Perbub Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan. Adanya regulasi-regulasi tersebut nyatanya belum mampu mencapai komprehensifitas dalam implementasinya. Maka optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak harus dibarengi dengan penguatan pengetahuan, peningkatan kebijakan dan anggaran,  penguatan kelembagaan serta sosialisasi di masyarakat.

Beragam situasi penanganan kasus tersebut memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual masih sangat minim. Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2020 dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik, karena beberapa hal dibawah ini:

1.  Belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan

2.    Belum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal RUU ini diperlukan dalam rangka mengakomodir kekosongan hukum dalam rangka terselenggaranya jaminan perlindungan korban

3.    Terbatasnya layanan dimasa pandemi

4.     Masih banyak hambatan dalam pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergisitas antar stekholder dalam upaya perlindungan perempuan korban kekerasan

WCC Jombang menegaskan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. oleh karena itu kami menuntut pemerintah, DPRD, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang berwenang  agar :

a. Meningkatkan akses layanan korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di desa sampai kabupaten (pencegahan sampai penanganan)

b.     Mendukung upaya penguatan Kelompok perempuan di desa sebagai basis paralegal yang dapat melakukan pendampingan kasus

c.      Mendukung upaya penguatan Kelompok perempuan di desa sebagai basis  paralegal yang dapat melakukan pendampingan kasus

d.   Melibatkan Perempuan dalam setiap program pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan Kebijakan dan Anggaran yang Responsif Gender

e.    Mendukung dan mendorong lahirnya kebijakan penyelenggaraan perlindungan perempuan dan Anak hingga ke tingkat desa.Optimalisasi sinergi lembaga layanan (Pemerintah maupun NGO)

f.  Support anggaran dalam rangka optimaliasi penanganan perempuan korban kekerasan oleh pemerintah daerah

g.   Mendukung dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual