Jombang, 28
Januari 2020 – WCC Jombang luncurkan Catatan
Tahunan (CATAHU) Tahun 2020. Kumpulan data kasus kekerasan terhadap perempuan
yang dilaporkan dan ditangani oleh WCC Jombang dalam kurun waktu 1 tahun terakhir.
CATAHU merupakan salah satu upaya publikasi data kasus untuk kampanye “Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan” khususnya dilingkup Kabupaten Jombang.
Sepanjang tahun 2020, WCC Jombang menerima 83 pengaduan kasus
kekerasan terhadap perempuan, jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya, situasi pandemi covid-19 yang mewabah di Indonesia sejak Maret 2020
menambah tantangan dalam memberikan akses layanan bagi korban. Penerapan
pembatasan sosial, kebijakan bekerja dirumah serta pembatasan akses layanan
publik terhadap masyarakat yang ingin melakukan pengaduan atau pelaporan.
Dari 83 kasus kekerasan Terhadap Perempuan yang ditangani WCC
Jombang sebanyak 48 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 6
Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 40 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI)
dengan pelaku adalah suami dan 1 kasus pelaku adalah saudara. Selanjutnya 35 kasus
merupakan kekerasan seksual. Terdiri dari 11 Kasus Perkosaan, 7 kasus pelecehan
seksual dan 14 kasus kekerasan dalam pacaran, 2 kasus incest dan 1 kasus
trafficking.
Dalam proses penanganan kasus kekerasan, perempuan kerap menghadapi
banyak tantangan. Mulai tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan.
Dari 48 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang sebanyak 22 kasus berujung pada perceraian.
15 kasus disebabkan perselingkuhan, 15 kasus penelantaran, 3 kasus marital
rape, 1 kasus perebutan hak asuh anak. Sepanjang 2020 tidak ada kasus KDRT
yang masuk ke ranah pidana. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah
dengan melibatkan pemerintah desa. Setidaknya tercatat 2 kasus KDRT yang
diselesaikan dengan cara ini. Hal ini menunjukan bahwasanya program
perlindungan terhadap perempuan belum sepenuhnya dirasakan korban hingga ke
lingkup desa.
Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggungjawaban
pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali kasus penelantaran, korban
akan memilih jalur perdata (cerai gugat). Pilihan ini justru mengabaikan
pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, beberapa permasalahan pasca putusan cerai
seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa
bantuan mantan suami. Keberadaan kebijakan terkait akses keadilan dalam layanan hukum,
masih sulit dijangkau oleh korban. Perda No 10 tahun 2017 tentang Bantuan hukum
kepada masyarakat miskin, yang secara teknis diatur dalam Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Jombang Nomor 22 Tahun 2018. Berdasarkan
catatan WCC Jombang dari 22 korban yang berhadapan berproses secara perdata,
tidak satupun yang mendapat akses bantuan hukum secara cuma-cuma.
Kompleksitas kebutuhan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
seharusnya berbanding lurus dengan sinergisitas seluruh stakeholder yang
ada di kabupaten Jombang. Fakta yang ada
justru masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan
seksual belum mendapat perlindungan secara optimal terlebih dimasa pandemic.
Jam layanan yang terbatas serta akses yang jauh membuat korban sulit mengakses layanan
yang menjadi kebutuhannya. Diantaranya program pemulihan trauma psikologis,
pemulihan medis, jaminan penegakkan hukum serta reintegrasi sosial dari pemerintah
yang seharusnya didapatkan korban. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran membangun
manusia yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan
pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem
yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban.
Kabupaten
Jombang memiliki seperangkat Regulasi yang cukup komprehensif dalam pemenuhan
hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya. Perda Nomor 11
Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta Perbub
Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu
Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan. Adanya
regulasi-regulasi tersebut nyatanya belum mampu mencapai komprehensifitas dalam
implementasinya. Maka optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan
anak harus dibarengi dengan penguatan pengetahuan, peningkatan kebijakan dan
anggaran, penguatan kelembagaan serta
sosialisasi di masyarakat.
Beragam
situasi penanganan kasus tersebut memperlihatkan bahwa perlindungan hukum
terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual masih sangat minim. Berdasarkan
catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang
dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2020 dapat disimpulkan bahwa kondisi
situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik, karena beberapa
hal dibawah ini:
1. Belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan
dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan
2. Belum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal RUU
ini diperlukan dalam rangka mengakomodir kekosongan hukum dalam rangka terselenggaranya
jaminan perlindungan korban
3. Terbatasnya layanan dimasa pandemi
4. Masih banyak hambatan dalam
pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergisitas antar stekholder dalam upaya
perlindungan perempuan korban kekerasan
WCC Jombang
menegaskan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan merupakan pelanggaran Hak
Asasi Manusia. oleh karena itu kami menuntut pemerintah, DPRD, Aparat Penegak
Hukum serta pihak-pihak terkait yang berwenang
agar :
1. a. Meningkatkan akses layanan korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di desa sampai kabupaten (pencegahan sampai penanganan
2. b. Mendukung upaya penguatan Kelompok perempuan di desa sebagai basis paralegal yang dapat melakukan pendampingan kasus
3. c. Mendukung upaya penguatan Kelompok perempuan di desa sebagai basis paralegal yang dapat melakukan pendampingan kasus
d. d. Melibatkan Perempuan dalam setiap program pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan Kebijakan dan Anggaran yang Responsif Gender
5. e. Mendukung dan mendorong lahirnya kebijakan
penyelenggaraan perlindungan perempuan dan Anak hingga ke tingkat desa.
6. f. Optimalisasi
sinergi lembaga layanan (Pemerintah maupun NGO)
7. g. Support
anggaran dalam rangka optimaliasi penanganan perempuan korban kekerasan oleh
pemerintah daerah
8. h. Mendukung
dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual