Tuesday, October 15, 2024

Memperkuat Keamanan Dan Resiliensi Digital dalam Strategi Pencegahan Dan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online





Keamanan dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan berbasis gender sering dipersepsikan dengan konotasi bebas berbuat, tidak diganggu, tertib , kuat, hacker, privasi, wifi, berhati-hati, siaga, waspada, password, perlindungan.  Keamanan bukan hanya  satu dimensi persoalan keamanan fisik saja, namun juga keamanan digital dan psikososial sebagai bagian dari integrasi konsep keamanan, lebih jauh “kestabilan finansial” juga merupakan aspek keamanan yang penting. Seorang Perempuan yang memilih berjalan di ruas jalanan yang ramai dari pada ruas jalanan yang sepi juga bagian dari pola menjalankan strategi keamanan, artinya setiap manusianya memiliki strategi untuk bertahan.


Keamanan fisik pada level tertentu termasuk mempertahankan ruang ekologis disamping keamanan fisik atau tubuh dan asset (uang, gawai dan perangkat teknologi, barang dll). Strategi keamanan yang diterapkan oleh setiap individu tidak akan bisa diterapkan secara kolektif  apabila tidak disupport oleh lingkungan yang positif. Prinsip dasar keamanan holistic mencakup kolektifitas dengan menginternalisasi nilai bahwa kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh mata rantai paling lemah, Proaktif bukan reaktif  dengan keyakinan bahwa mempelajari dan membuat strategi keamanan harus direncanakan dan dijalankan sejak dini serta terus menerus, memiliki tujuan  dengan keyakinan bahwa keamanan yang baik dan berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila dilakukan secara sadar, bukan dipaksakan atau dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu dengan catatan tidak ada satu strategi dan rencana keamanan yang sempurna sehingga “one size fits all” tidak berlaku untuk keamanan. Hal ini membawa pada konsekuensi bahwa kita boleh percaya pada orang lain dalam kondisi tertentu karena risiko keamanan seseorang tidak sama. Apabila hari ini aman belum tentu esok demikian, tidak ada keamanan yang permanen konteks situasi akan selalu berubah, apapun ancaman dan risikonya.


Untuk menghidupkan budaya yang sadar terhadap keamanan, maka perlu diawali dengan pemahaman tentang bagaimana strategi membongkar mitos keamanan digital yang sering diasumsikan bahwa “keamanan digital itu sulit, keamanan digital itu menggunakan perangkat-perangkat sulit, keamanan digital itu mahal, aku tak paham apapun soal keamanan digital, aku tidak terlalu aktif menggunakan internet, jadi keamanan digital tidak penting bagiku, aku bukan siapa-siapa”. Belajar keamanan tidak harus bergantung dengan perangkat, karena berbicara keamanan adalah soal “strategi” yang dikembangkan oleh individu. Keamanan digital bukan hanya soal internet dan setiap individu adalah siapa siapa sebagai warga negara yang berpotensi mendapatkan serangan tidak hanya dari negara namun juga sesama warga negara. Setiap individu punya control terhadap data pribadi yang tidak bisa dikendalikan oleh seseorang. Serangan didunia digital memiliki dampak riil sebagaimana riilnya dampak kekerasan fisik yang dialami oleh setiap individu.


Dalam konteks pendampingan bagi kelompok rentan, keamanan terhadap kebebasan berekspresi sering menimbulkan kekhawatiran bagi aktivis untuk menentukan kurasi ekspresi dan standart kemanfaatan dalam mengkampanyekan aktifitas di ruang-ruang digital, karena banyaknya ancaman yang seringkali dihadapi oleh aktivis.


Dengan semakin berkembangnya dunia digital saat ini selain memberikan banyak manfaat juga menghadirkan tantangan baru, salah satunya yaitu tindak kekerasan seksual berbasis elektronik. Kekerasan seksual diruang digital meliputi penyebaran konten video porno, doxing, impersonating, sextortion (pemerasan seksual), modus yang seringkali dilakukan oleh pelaku adalah memperdaya korban dengan membuat nyaman korban, hingga akhirnya korban tanpa sadar akan mengikuti apa yang diminta oleh pelaku. Sepanjang Januari – September 2024 WCC Jombang mencatat ada 11 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang di adukan. Tantangan yang seringkali dihadapi oleh pendamping dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual berbasis elektronik adalah minimnya alat bukti, kadangkala juga akun yang dipakai oleh pelaku adalah akun fake, tidak hanya itu minimnya edukasi dan literasi korban terkait keamanan digital juga menjadi tantangan tersendiri.


Tulisan ini disusun sebagai refleksi pendamping WCC Jombang  selama mengikuti sesi pelatihan keamanan digital yang diselenggarakan oleh LBH APIK Jakarta di Jogjakarta dengan fasilitator Dhyta Caturani dari purple code. (Ana/Mundik)

Read more...

Monday, October 14, 2024

Menghidupkan Kajian Pesantren Care di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas

 

Dok. WCC Jombang Kegiatan Kajian Pesantren Care di PP Ribart Al-Hadi
Yayasan PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, 11 Oktober 2024


Selama periode 2018-2023, Catatan Tahunan (Catahu)WCC Jombang mencatat sebanyak 415 perempuan telah menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik di ruang publik maupun dalam lingkup domestik. Fakta ini memperkuat bahwa tidak ada jaminan ruang aman bagi perempuan untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender, bahkan di lingkungan Satuan Pendidikan, Perguruan Tinggi termasuk di Pondok Pesantren.


Salah satu penyebab tingginya angka kekerasan berbasis gender di masyarakat adalah masih minimnya pendidikan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) melalui pendekatan nilai-nilai budaya dan agama yang mendukung remaja dan kaum mustadh’afin (kaum tertindas) terbebas dari kekerasan dan permasalahan kesehatan reproduksi. Pesantren memainkan peran yang krusial dalam edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dekat dengan komunitas dan berpengaruh dalam membentuk pemahaman serta sikap individu, terutama di kalangan remaja. Pendidikan yang komprehensif tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di pesantren dapat membantu mencegah kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman yang benar tentang batasan-batasan fisik dan hak-hak individu. Hal ini mencakup pemahaman tentang konsensualitas, perlindungan diri, dan hak untuk menolak segala bentuk kekerasan. Dengan memperkenalkan topik ini secara sensitif dan sesuai dengan nilai-nilai agama, pesantren dapat mengedukasi santri tentang cara melindungi diri dan melawan kekerasan secara efektif.


Melansir dari laman Kemenag, di Jombang pada tahun 2021 terdapat 155 pondok pesantren. Sedangkan untuk jumlah santri, Jombang menduduki posisi ke-12 dengan total 35.090 santri. Tak heran jika Jombang mendapatkan julukan Kota Santri. Pandangan masyarakat khususnya di lingkungan pondok pesantren yang masih menganggap tabu untuk membicarakan seksualitas seringkali dikonotasikan mengajarakan sesorang melakukan hubungan seksual, sehingga banyak orang terutama santri yang akhirnya mencari informasi terkait Hak Kesehatan Seksual Reproduksinya secara mandiri. Hal ini justru sering  menimbulkan pemahaman yang salah tentang Kesehatan Seksual dan Reproduksi bahkan jauh dari nilai agama.


Melihat situai tersebut, pada tanggal 11 Oktober 2024, WCC Jombang bekerjasma dengan Pondok Pesantren Ribath Al Hadi menyelenggarakan Diskusi “Pesantren Care” dengan tema “HKSR dalam perspektif islam” dengan tujuan meningkatkan pengetahuan santriwati dan tenaga pendidik di pesantren untuk membangun responsifitas pencegahan permasalahan Kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual berbasis gender.


Dalam kegiatan yang diadakan di Pondok Pesantren Ribath Al Hadi, Ibu Nyai Umi Chaidaroh Soleh dan Bapak Dr. Jasminto mengajak santriwati untuk mendalami makna cinta dalam konteks hubungan yang sehat dan bermoral. Penjelasan Dr. Jasminto tentang cinta seorang ayah yang melindungi dan mengayomi menekankan pentingnya memahami cinta sebagai bentuk perhatian dan dukungan, bukan kepemilikan. Hal ini relevan dengan banyaknya fakta kasus kekerasan manipulatif yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Segingga pemahaman tentang bagaimana  menjalani hubungan yang sehat, dibutuhkan individu agar merasa aman dan bisa berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan mereka sendiri.


Diskusi ini juga menyoroti bagaimana cinta yang tulus harus diiringi dengan keikhlasan, yang dapat membantu santriwati memahami nilai-nilai moral dalam menjalani hubungan. Kesehatan seksual dan reproduksi bukan hanya tentang aspek fisik, tetapi juga emosional dan mental. Ketika seseorang dapat memahami cinta yang hakiki, mereka dapat lebih menghargai diri sendiri dan memilih untuk menjalin hubungan yang saling menghormati, yang merupakan dasar bagi kesehatan reproduksi yang baik. Pemahaman ini penting dalam membangun relasi yang sehat, di mana komunikasi yang terbuka dan saling menghormati menjadi kunci.


Bapak Dr. Jasminto juga berpesan, bahwa Nasehat moralitas selalu naik dan turun, sehingga dalam islam ada perintah sholat jumat yang selalu membawa pesan ketaqwaan. Ilmu itu tidak meningkatkan moral, namun menjaga keseimbangan moralitas. Dokter Jasminto juga mengajak santri untuk membedakan Etika, moral dan Akhlak  yang merupakan adat. Etika diukur dari baik buruk berdasarkan logika. Moral diukur berdasarkan standart moral yang disepakati Masyarakat, sementara akhlak diukur berdasarkan standart ajaran agama. Dalam hal ini menghormati orang tua dapat diukur dari sisi moral, etika dan akhlak. Sementara timbul pertanyaan mengapa standart etika, moral dan akhlak seringkali menomorduakan Perempuan?


Perempuan dalam kultur budaya Masyarakat kita, masih mengahadapi diskriminasi gender baik dalam konteks Substansi kebijakan, Budaya di masyarakat maupun pelaksana kebijakan yang mengakar secara sistematis yang mengakibatkan marginalisasi, stereotype , subordinasi, double burden.


Dalam diskusi ini ibu Nyai Umi chaidaroh menjelaskan bahwa permasalahan yang dihadapi perempuan begitu kompleks, salah satunya adalah kekerasan seksual, yang bisa dialami oleh Perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks domestik Rumah tangga yang Sakinah adalah adanya sikap saling menghargai dan menjaga harkat dan martabat. Di Era digital ini kekerasan terhadap Perempuan menjadi problem yang tak terbendung ditengah fakta semakin  meningkatkan angka kekerasan, sehingga ruang dialog dengan remaja untuk edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi menjadi kegiatan yang sangat penting dimasifkan di Pondok Pesantren.


Seorang santri harus bisa menjaga dirinya dengan melawan segala bentuk kekerasan dengan memastikan ruang aman yang menjamin adanya dukungan bagi sesama untuk memutus siklus kekerasan yang dihadapi termasuk di lingkungan pesantren. Pesantren memiliki pengamanan lebih ketat di banding institusi Pendidikan lainnya, pesantren menjaga pengamanan selama 24 jam. Di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras ada petugas yang namanya SIGAP (Satuan Inspeksi Tanggap Pengamanan) untuk merespon berbagai permasalahan sosial yang ada di pesantren. Dalam mewujudkan Pesantren yang ramah Perempuan dan anak, pesantren juga harus memastikan terjaganya koneksitas kerjasama dengan berbagai institusi untuk mendukung  upaya mewujudkan ruang aman dalam proses pembelajaran di pesantren.


Dalam sesi diskusi ini, ditutup dengan cloasing statement dari Bapak Dr. Jasminto bahwa aksi terbaik santri adalah belajar dan jangan takut untuk speak up.  Dan Ibu Nyai Umi Chaidaroh juga tegaskan dalam penutup diskusi bahwa yang perlu digarisbawahi dari kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren adalah yang cacat dan rusak serta wajib kita caci maki bukan pesantrennya, tetapi pelaku ! Salam perjuangan  - wujudkan ruang aman di pesantren. (Ana Abdillah)



Read more...

Monday, October 7, 2024

Sosialiasi Surat Edaran Kementerian Agama Kabupaten Jombang untuk Implementasi PerMA No. 73 tahun 2022 ke 16 Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri Kabupaten Jombang

 

Gambar Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang



Surat Edaran Kementrian Agama Kabuapaten Jombang : Intruksi Untuk  Setiap Satuan Pendidikan Dibawah Naungan  Kementerian Agama  untuk  Memedomani  PMA No. 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekeraan Seksual di Satuan Pendidikan Jombang 


Pada tanggal 30 Agustus 2024, Kementerian Agama Kabupaten Jombang mengeluarkan Surat Edaran  Nomor : B-2645/Kk.13.12.02/PP.00/08/2024 yang serta segera menunjuk petugas, memfungsikan unit pada Satuan Pendidikan atau membentuk Unit Penanganan Kekerasan Seksual pada Satuan Pendidikan sebagaimana mandat diterbitkannya PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan dibawah naungan Kementerian Agama, surat tersebut ditujukan kepada seluruh Kepala RA, MI, MTs dan MA, Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Madrasah Diniyah, Pengawas Madrasah dan PAI Penyuluh Agama Se Kabupaten Jombang. Surat edaran tersebut sebagai bentuk komitmen Kementerian Agama Kabupaten Jombang dalam mendukung terciptanya lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual serta memberikan jaminan ketidakberulangan tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.


Sebelumnya Pada tanggal 3 Juli 2024, Women’s Crisis Center (WCC) Jombang menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi aturan PMA tentang PPKS (Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual) yang diikuti oleh 16 MTsN Se-Kabupaten Jombang, kegiatan tersebut bertempat di Aula Kementerian Agama Jombang. Narasumber dari kegiatan sosialisasi tersebut adalah Ibu Leily I, S.Pd.,M.Si. bidang Analis Informasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Agama Jombang.


Dalam diskusi tersebut, telah teridentifikasi beragam tantangan yang dihadapi oleh sekolah, termasuk belum adanya dukungan yang cukup untuk sosialisasi kebijakan dan implementasi yang memadai di tingkat sekolah. Dalam hal ini, pendekatan sistem, seperti penguatan tata kelola, pelatihan, pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan, serta peningkatan peran peserta didik dan masyarakat, sangat penting.  Sehingga dalam kegiatan ini dilakukan upaya untuk merumuskan rekomendasi yang mencatat seputar implementasi kebijakan, termasuk sosialisasi, pengawasan, serta sumber daya.


Narasumber dari Kementrian Agama memberikan penjelasan tentang definisi kekerasan seksual mengacu pada Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 dan ragam bentuk yang ada serta permasalahan dalam pencegahan dan penanganannya di lingkungan pendidikan. Beliau juga memberikan sorotan tentang urgensi aturan ini yang menjadi jaminan dan perlindungan bagi siswa dan tenaga pendidik dari kekerasan seksual. Berbagai langkah tindak lanjut yang telah dirumuskan pada kegiatan tersebut adalah:


1.    Peningkatan kapasitas tenaga pendidik, khususnya guru Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus melalui sosialisasi Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

2.     Sosialisasi Program Kesehatan Reproduksi Siswa pada awal tahun ajaran baru.

3.    Pelatihan literasi digital bagi guru dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah.


Dengan adanya kebijakan dan upaya sosialisasi ini, diharapkan semua pihak di lingkungan pendidikan dapat lebih memahami dan mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan serta penanganan kekerasan seksual, sehingga tercipta lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan peserta didik. (Ayu)


Bagikan ke WhatsApp

Read more...

MEMBELA MEREKA YANG MEMBELA "Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Perempuan Pembela HAM”

Foto Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang

Penulis : Ana Abdillah (Direktur WCC Jombang/Advokat)

Bandung, 3 Oktober 2024


“Pada bulan Juni 2021 Kantor WCC Jombang didatangi beberapa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa yang berkonsolidasi untuk mendukung  upaya WCC Jombang bersama Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual (KSLK) dalam kerja advokasi bersaama penegakan Hukum  kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra salah seorang kyai (MSAT ‘37 Tahun) pemilik pondok pesantren besar di Jombang terhadap 5 santriwatinya. Perwakilan Mahasiswa dihadiri oleh perwakilan BEM Universitas Airlangga, BEM Universitas Brawijaya, BEM Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya dan beberapa kampus lain yang turut prihatin dengan fakta lambannya penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban MNK (19 tahun pada saat kejadian pada 2017). Dampak dari lambatnya proses penegak hukum kasus tersebut juga menjadi trigger terjadinya penganiayaan yang dilakukan oleh petugas pondok pesantren terhadap salah seorang kawan korban yang  juga merupakan saksi dalam kasus Kekerasan Seksual berinisial TAM (23 Tahun ), kejadian tersebut bermula dari postingan TAM di media sosial facebook yang diduga menyinggung Kyai (Ayah MSAT), status TAM pada sosial media dianggap menghina dan menyerang Kyai dan Pondok Pesantren. Walaupun sesungguhnya Isi dari postingan TAM  tidak lain adalah sebagai bentuk keprihatinan terhadap sikap pondok pesantren yang selalu membela pelaku kekerasan seksual dan protes terhadap lambatnya proses hukum.


Salah satu topik yang menjadi perbincangan antara Tim Aliansi KSLKS bersama    perwakilan BEM adalah terkait Situasi yang dihadapi oleh seluruh Perempuan Pembela HAM  yang terlibat dalam advokasi kasus tersebut. Perwakilan BEM memetakan situasi tersebut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah Aliansi KSLKS ? Berapa staff di Kantor WCC Jombang “?, Apakah staff di WCC Jombang seluruhnya adalah perempuan ? Apakah selama mengadvokasi kasus pernah mendapatkan intimidasi dan ancaman ? Bagaimana cara Aliansi dan internal WCC Jombang memitigasi terjadinya penganiayaan seperti halnya yang terjadi pada TAM ?. Bagi Saya apa yang menjadi pertanyaan mahasiswa merupakan bagian dari upaya untuk memahami situasi rentan yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM. Secara kultural perempuan yang berbicara tentang isu-isu berkaitan dengan hak-hak perempuan, kekerasan seksual, dan isu sensitif lainnya lebih rentan menerima stigma, serangan atau kritik pada konteks  yang lebih sulit, perempuan akan lebih berisiko dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka.


Namun sayangnya, tidak semua PPHAM memiliki kesadaran mengidentifikasi dirinya sebagai PPHAM yang memiliki Hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam mendukung upaya advokasi Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) dan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, penting untuk memperkuat kapasitas dan meningkatkan perlindungan terhadap Perempuan pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). PPHAM tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, memastikan bahwa suara yang terpinggirkan didengar. Dengan keberaniannya, PPHAM bekerja melawan struktur patriarki dan kebijakan diskriminatif yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Namun di Indonesia kerja-kerja sunyi yang dilakukan oleh PPHAM sering kali tidak dianggap penting sementara tidak banyak PPHAM yang memahami hak dasar mereka mencakup perlindungan ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan salah satu elemen penting  Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dilindungi oleh negara  selain  hak sosial dan politik.


Penguatan kesadaran bagi PPHAM untuk meningkatkan safety security dan pemenuhan kualifikasi sangat dibutuhkan dalam merumuskan pendekatan yang dapat memastikan keamanan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Peran Perempuan pembela HAM dalam melakukan kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, telah diakui dalam ketentuan Undang-undang, diantaranya :

Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: “Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.”

Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual : “Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan”.


Sayangnya praktek dilapangan pada saat proses pelaporan kasus, tidak banyak penyidik yang memahami peran pendamping bahkan minim informasi terkait kerja-kerja keparalegalan.  Didalam UU TPKS Pasal 29, telah diatur secara jelas bahwa yang disebut sebagai pendamping adalah Petugas LPSK, Petugas UPTD PPA, Tenaga Kesehatan, Psikolog, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Psikiater, Pendamping Hukum meliputi advokat dan paralegal, PETUGAS LEMBAGA PENYEDIA LAYANAN BERBASIS MASYARAKAT serta pendamping lainnya.


Lalu siapa  Perempuan Pembela HAM ?

Setiap individu yang bekerja dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan Perempuan Pembela HAM. PPHAM adalah setiap orang (perempuan, laki-laki atau gender lainnya yang berjuang untuk menegakan dalam memajukan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Selama ini Komnas HAM hanya mengenali terminologi Pembela HAM, sementara situasi terminologi Pembela HAM antara perempuan dan laki-laki memiliki aspek kerentanan yang berbeda termasuk potensi terpapar secara psikologis sebagai dampak dari pendampingan yang dilakukan baik melalui pendekatan konseling personal maupun  dukungan psikolog. Lebih jauh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang periode 2020-2024 dalam sesi workshop penguatan protokol Ekosob PPHAM yang diselenggarakan SAPA Institute Bandung, menyampaikan perlunya audit gender untuk mengukur perilaku individu di organisasi dalam memastikan diterapkannya prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam interaksi dengan sesama yakni bagaimana sesama pembela HAM dapat membangun support system perlindungan tanpa stigma dan diskriminasi.


Dalam menjalankan kerja sosialnya seorang PPHAM selalu berupaya membangun kesadaran kritis bahwa permasalahan kekerasan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga melibatkan struktur sosial yang lebih luas. PPHAM yang melakukan pendampingan kasus SGBV seringkali mendapatkan stigma dan perilaku diskriminatif dalam menjalankan kinerjanya diantaranya dianggap perusak rumahtangga, dianggap membawa aliran sesat, menolak ketentuan adat hingga ancaman akan dibunuh diperkosa dan dimasukan penjara. Di Tengah ancaman tersebut, PPHAM seringkali merasa harus memutuskan hidup sendiri (tidak menikah) demi totalitas pengabdiannya, harus melewati masa lanjut usia dengan ketiadaan atau minim dukungan, tidak memiliki jaminan perlindungan sosial, kesehatan dan dukungan ekonomi serta jaminan hari tua (pensiun) yang memadai.


Indonesian protection for WHRD Network mengidentifikasi ada 6 kebutuhan hak dasar diantaranya Hak Ekosob, diantaranya (1) Hak ekonomi & ketenagakerjaan yang mencakup upah, situasi kerja layak & aman, cuti, ruang menyusui, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan hari tua); (2) Hak Pendidikan yang meliputi beasiswa pendidikan, kesempatan/akses pelatihan/konferensi/kursus, dukungan sertifikasi; (3) Hak Kesehatan, yang meliputi jaminan/asuransi kesehatan, dukungan pemeriksaan kesehatan rutin termasuk kesehatan reproduksi; (4) Hak Sosial, yang meliputi Dana Sosial, dukungan pada saat musibah, rekreasi dan akses jaminan sosial; (5) Hak Budaya, yang meliputi fasilitas ruang/alat ibadah, ijin menjalankan/mengikuti kegiatan keagamaan dan (6) Hak Hukum, meliputi bantuan hukum ketika mengalami ancaman dan kekerasan.


Dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut PPHAM harus dihadapkan tantangan dalam mendapatkan jaminan perlindungan hukum walaupun secara  normatif pengakuan terhadap kerja-kerja PPHAM telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan TPKS. Sementara berdasarkan hasil survey situasi PPHAM yang dilakukan IProtecnow (Indonesia Protection For WHRD Network) terhadap 329 PPHAM di 6 provinsi melaporkan hasil bahwa 77 % PPHAM memiliki BPJS Kesehatan, sedangkan 23 % PPHAM lainnya tidak memiliki BPJS Kesehatan.


Pada tanggal 29 November di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Pembela HAM, namun tidak banyak masyarakat memahami siapa PPHAM, Apa peran PPHAM dan bagaimana situasi yang dihadapi oleh PPHAM. Situasi berupa risiko ancaman, kekerasan, intimidasi dan segala bentuk potensi kriminalisasi yang dihadapi PPHAM, membuat kerja-kerja PPHAM harus memperkuat  jaringan pengaman sosialnya melalui kerja kolektif untuk memikirkan skema perlindungan bagi PPHAM. 


Berdasarkan hasil situasi tersebut, Iprotect Now berupaya untuk membuat protokol perlindungan ekosob PPHAM sebagai informasi langkah-langkah yang bisa diinternalisasi organisasi dengan membangun kemitraan dengan pemerintah, korporasi/perusahaan, lembaga filantropi, lembaga pendidikan, kesehatan dan keagamaan, organisasi HAM/Organisasi Perempuan. Melalui dukungan program Right Here-Right Now 2- Yayasan Gemilang Sehat Indonesia bekerjasama dengan Yayasan SAPA institute menginisiasi penguatan lembaga penyedia layanan masyarakat untuk pengetahuan tentang hak PPHAM, Kesadaran, Adopsi protokol ke dalam kebijakan SOP Lembaga, Akses PPHAM terhadap manfaat perlindungan dan keterhubungan dan pembelajaran, kegiatan ini melibatkan WCC Jombang dan Aliansi Sumut Bersatu Medan.


Pada Desember 2023 lalu, Komnas Perempuan , Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah mengembangkan mekanisme respon cepat yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhi hak hak pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya  yang secara spesifik mencakup insiden keamanan ancaman secara beruntun termasuk mengarah pada tubuh dan seksualitas perempuan; kerusakan properti atau benda yang cukup luas; adanya ancaman atau potensi ancaman nyata yang sangat membahayakan keselamatan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan yang dimiliki PPHAM atau PPHAM; maupun kebutuhan penanganan tindakan medis atau psikologis secara segera karena kerja-kerja hak asasi manusianya. Kehadiran mekanisme respon cepat diharapkan bisa mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif.


Mekanisme respon cepat sangat dibutuhkan bagi seluruh individu di organisasi dalam menghadapi dinamika advokasi. Kerjasama yang bermakna harus terus di tumbuh dan kembangkan, fungsi jaringan adalah membangun percakapan untuk tidak saling menghakimi. Pengalaman perempuan punya gejolak yang berbeda sehingga sisterhood harus terus diupayakan bersama karena Equality adalah perjuangan bertahap. Perempuan menjadi korban laki-laki jangan sampai perempuan menjadi korban perempuan  bahkan parahnya perempuan menjadi korban aktivis perempuan.

Bagikan ke whatsapp
Read more...