|
Foto Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang |
Penulis : Ana Abdillah (Direktur WCC Jombang/Advokat)
Bandung,
3 Oktober 2024
“Pada
bulan Juni 2021 Kantor WCC Jombang didatangi beberapa perwakilan Badan
Eksekutif Mahasiswa yang berkonsolidasi untuk mendukung upaya WCC Jombang bersama Aliansi Kota
Santri Lawan Kekerasan Seksual (KSLK) dalam kerja advokasi bersaama penegakan Hukum kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh
putra salah seorang kyai (MSAT ‘37 Tahun) pemilik pondok pesantren besar di
Jombang terhadap 5 santriwatinya. Perwakilan Mahasiswa dihadiri oleh perwakilan
BEM Universitas Airlangga, BEM Universitas Brawijaya, BEM Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Surabaya dan beberapa kampus lain yang turut
prihatin dengan fakta lambannya penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang
dilaporkan oleh korban MNK (19 tahun pada saat kejadian pada 2017). Dampak dari
lambatnya proses penegak hukum kasus tersebut juga menjadi trigger terjadinya
penganiayaan yang dilakukan oleh petugas pondok pesantren terhadap salah
seorang kawan korban yang juga merupakan
saksi dalam kasus Kekerasan Seksual berinisial TAM (23 Tahun ), kejadian
tersebut bermula dari postingan TAM di media sosial facebook yang diduga
menyinggung Kyai (Ayah MSAT), status TAM pada sosial media dianggap menghina
dan menyerang Kyai dan Pondok Pesantren. Walaupun sesungguhnya Isi dari
postingan TAM tidak lain adalah sebagai
bentuk keprihatinan terhadap sikap pondok pesantren yang selalu membela pelaku
kekerasan seksual dan protes terhadap lambatnya proses hukum.
Salah
satu topik yang menjadi perbincangan antara Tim Aliansi KSLKS bersama perwakilan BEM adalah terkait Situasi yang
dihadapi oleh seluruh Perempuan Pembela HAM
yang terlibat dalam advokasi kasus tersebut. Perwakilan BEM memetakan
situasi tersebut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah Aliansi KSLKS ? Berapa staff
di Kantor WCC Jombang “?, Apakah staff di WCC Jombang seluruhnya adalah
perempuan ? Apakah selama mengadvokasi kasus pernah mendapatkan intimidasi dan
ancaman ? Bagaimana cara Aliansi dan internal WCC Jombang memitigasi terjadinya
penganiayaan seperti halnya yang terjadi pada TAM ?. Bagi Saya apa yang menjadi
pertanyaan mahasiswa merupakan bagian dari upaya untuk memahami situasi rentan
yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM. Secara kultural perempuan yang
berbicara tentang isu-isu berkaitan dengan hak-hak perempuan, kekerasan
seksual, dan isu sensitif lainnya lebih rentan menerima stigma, serangan atau
kritik pada konteks yang lebih sulit,
perempuan akan lebih berisiko dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka.
Namun
sayangnya, tidak semua PPHAM memiliki kesadaran mengidentifikasi dirinya
sebagai PPHAM yang memiliki Hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam
mendukung upaya advokasi Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) dan
Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, penting untuk memperkuat kapasitas dan
meningkatkan perlindungan terhadap Perempuan pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM).
PPHAM tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk
komunitas yang lebih luas, memastikan bahwa suara yang terpinggirkan didengar.
Dengan keberaniannya, PPHAM bekerja melawan struktur patriarki dan kebijakan
diskriminatif yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan,
dan pekerjaan yang layak. Namun di Indonesia kerja-kerja sunyi yang dilakukan oleh
PPHAM sering kali tidak dianggap penting sementara tidak banyak PPHAM yang
memahami hak dasar mereka mencakup perlindungan ekonomi, sosial dan budaya yang
merupakan salah satu elemen penting Hak
Asasi Manusia (HAM) yang harus dilindungi oleh negara selain
hak sosial dan politik.
Penguatan
kesadaran bagi PPHAM untuk meningkatkan safety
security dan pemenuhan kualifikasi sangat dibutuhkan dalam merumuskan
pendekatan yang dapat memastikan keamanan dan perlindungan hak ekonomi, sosial,
dan budaya mereka. Peran Perempuan pembela HAM dalam melakukan kerja
pendampingan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, telah diakui
dalam ketentuan Undang-undang, diantaranya :
Pasal 18 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: “Kepolisian wajib memberikan keterangan
kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.”
Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan seksual : “Pendamping berhak
mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap
tingkat pemeriksaan”.
Sayangnya praktek
dilapangan pada saat proses pelaporan kasus, tidak banyak penyidik yang
memahami peran pendamping bahkan minim informasi terkait kerja-kerja
keparalegalan. Didalam UU TPKS Pasal 29,
telah diatur secara jelas bahwa yang disebut sebagai pendamping adalah Petugas
LPSK, Petugas UPTD PPA, Tenaga Kesehatan, Psikolog, Pekerja Sosial, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, Psikiater, Pendamping Hukum meliputi advokat dan
paralegal, PETUGAS LEMBAGA PENYEDIA LAYANAN BERBASIS MASYARAKAT serta
pendamping lainnya.
Lalu siapa Perempuan
Pembela HAM ?
Setiap
individu yang bekerja dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan
merupakan Perempuan Pembela HAM. PPHAM adalah setiap orang (perempuan,
laki-laki atau gender lainnya yang berjuang untuk menegakan dalam memajukan hak
asasi khususnya hak asasi perempuan. Selama ini Komnas HAM hanya mengenali
terminologi Pembela HAM, sementara situasi terminologi Pembela HAM antara
perempuan dan laki-laki memiliki aspek kerentanan yang berbeda termasuk potensi
terpapar secara psikologis sebagai dampak dari pendampingan yang dilakukan baik
melalui pendekatan konseling personal maupun
dukungan psikolog. Lebih jauh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto
Sitohang periode 2020-2024 dalam sesi workshop penguatan protokol Ekosob PPHAM
yang diselenggarakan SAPA Institute Bandung, menyampaikan perlunya audit gender
untuk mengukur perilaku individu di organisasi dalam memastikan diterapkannya
prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam interaksi dengan sesama yakni
bagaimana sesama pembela HAM dapat membangun support system perlindungan tanpa
stigma dan diskriminasi.
Dalam
menjalankan kerja sosialnya seorang PPHAM selalu berupaya membangun kesadaran
kritis bahwa permasalahan kekerasan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga
melibatkan struktur sosial yang lebih luas. PPHAM yang melakukan pendampingan
kasus SGBV seringkali mendapatkan stigma dan perilaku diskriminatif dalam
menjalankan kinerjanya diantaranya dianggap perusak rumahtangga, dianggap
membawa aliran sesat, menolak ketentuan adat hingga ancaman akan dibunuh
diperkosa dan dimasukan penjara. Di Tengah ancaman tersebut, PPHAM seringkali
merasa harus memutuskan hidup sendiri (tidak menikah) demi totalitas
pengabdiannya, harus melewati masa lanjut usia dengan ketiadaan atau minim
dukungan, tidak memiliki jaminan perlindungan sosial, kesehatan dan dukungan
ekonomi serta jaminan hari tua (pensiun) yang memadai.
Indonesian protection for WHRD
Network
mengidentifikasi ada 6 kebutuhan hak dasar diantaranya Hak Ekosob, diantaranya
(1) Hak ekonomi & ketenagakerjaan
yang mencakup upah, situasi kerja layak & aman, cuti, ruang menyusui,
tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan hari tua); (2) Hak Pendidikan yang meliputi beasiswa pendidikan, kesempatan/akses
pelatihan/konferensi/kursus, dukungan sertifikasi; (3) Hak Kesehatan, yang meliputi jaminan/asuransi kesehatan, dukungan
pemeriksaan kesehatan rutin termasuk kesehatan reproduksi; (4) Hak Sosial, yang meliputi Dana Sosial,
dukungan pada saat musibah, rekreasi dan akses jaminan sosial; (5) Hak Budaya, yang meliputi fasilitas
ruang/alat ibadah, ijin menjalankan/mengikuti kegiatan keagamaan dan (6) Hak Hukum, meliputi bantuan hukum
ketika mengalami ancaman dan kekerasan.
Dalam
pemenuhan kebutuhan dasar tersebut PPHAM harus dihadapkan tantangan dalam
mendapatkan jaminan perlindungan hukum walaupun secara normatif pengakuan terhadap kerja-kerja PPHAM
telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan TPKS. Sementara
berdasarkan hasil survey situasi PPHAM yang dilakukan IProtecnow (Indonesia Protection For WHRD Network)
terhadap 329 PPHAM di 6 provinsi melaporkan hasil bahwa 77 % PPHAM memiliki
BPJS Kesehatan, sedangkan 23 % PPHAM lainnya tidak memiliki BPJS Kesehatan.
Pada
tanggal 29 November di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Pembela HAM,
namun tidak banyak masyarakat memahami siapa PPHAM, Apa peran PPHAM dan
bagaimana situasi yang dihadapi oleh PPHAM. Situasi berupa risiko ancaman,
kekerasan, intimidasi dan segala bentuk potensi kriminalisasi yang dihadapi
PPHAM, membuat kerja-kerja PPHAM harus memperkuat jaringan pengaman sosialnya melalui kerja
kolektif untuk memikirkan skema perlindungan bagi PPHAM.
Berdasarkan
hasil situasi tersebut, Iprotect Now berupaya untuk membuat protokol
perlindungan ekosob PPHAM sebagai informasi langkah-langkah yang bisa
diinternalisasi organisasi dengan membangun kemitraan dengan pemerintah,
korporasi/perusahaan, lembaga filantropi, lembaga pendidikan, kesehatan dan
keagamaan, organisasi HAM/Organisasi Perempuan. Melalui dukungan program Right Here-Right Now 2- Yayasan Gemilang
Sehat Indonesia bekerjasama dengan Yayasan SAPA institute menginisiasi
penguatan lembaga penyedia layanan masyarakat untuk pengetahuan tentang hak
PPHAM, Kesadaran, Adopsi protokol ke dalam kebijakan SOP Lembaga, Akses PPHAM
terhadap manfaat perlindungan dan keterhubungan dan pembelajaran, kegiatan ini
melibatkan WCC Jombang dan Aliansi Sumut Bersatu Medan.
Pada
Desember 2023 lalu, Komnas Perempuan , Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban telah mengembangkan mekanisme respon cepat yang bertujuan
untuk melindungi dan memenuhi hak hak pembela HAM yang mengalami ancaman,
kekerasan dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya yang secara spesifik mencakup insiden
keamanan ancaman secara beruntun termasuk mengarah pada tubuh dan seksualitas
perempuan; kerusakan properti atau benda yang cukup luas; adanya ancaman atau
potensi ancaman nyata yang sangat membahayakan keselamatan PPHAM atau
keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan PPHAM
atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan
yang dimiliki PPHAM atau PPHAM; maupun kebutuhan penanganan tindakan medis atau
psikologis secara segera karena kerja-kerja hak asasi manusianya. Kehadiran
mekanisme respon cepat diharapkan bisa mengisi ruang kosong penanganan,
pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif.
Mekanisme respon cepat sangat dibutuhkan bagi seluruh
individu di organisasi dalam menghadapi dinamika advokasi. Kerjasama yang
bermakna harus terus di tumbuh dan kembangkan, fungsi jaringan adalah membangun
percakapan untuk tidak saling menghakimi. Pengalaman perempuan punya gejolak
yang berbeda sehingga sisterhood harus
terus diupayakan bersama karena Equality adalah perjuangan bertahap. Perempuan
menjadi korban laki-laki jangan sampai perempuan menjadi korban perempuan bahkan parahnya perempuan menjadi korban
aktivis perempuan.
Bagikan ke whatsapp