Monday, October 7, 2024

Sosialiasi Surat Edaran Kementerian Agama Kabupaten Jombang untuk Implementasi PerMA No. 73 tahun 2022 ke 16 Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri Kabupaten Jombang

 

Gambar Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang



Surat Edaran Kementrian Agama Kabuapaten Jombang : Intruksi Untuk  Setiap Satuan Pendidikan Dibawah Naungan  Kementerian Agama  untuk  Memedomani  PMA No. 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekeraan Seksual di Satuan Pendidikan Jombang 


Pada tanggal 30 Agustus 2024, Kementerian Agama Kabupaten Jombang mengeluarkan Surat Edaran  Nomor : B-2645/Kk.13.12.02/PP.00/08/2024 yang serta segera menunjuk petugas, memfungsikan unit pada Satuan Pendidikan atau membentuk Unit Penanganan Kekerasan Seksual pada Satuan Pendidikan sebagaimana mandat diterbitkannya PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan dibawah naungan Kementerian Agama, surat tersebut ditujukan kepada seluruh Kepala RA, MI, MTs dan MA, Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Madrasah Diniyah, Pengawas Madrasah dan PAI Penyuluh Agama Se Kabupaten Jombang. Surat edaran tersebut sebagai bentuk komitmen Kementerian Agama Kabupaten Jombang dalam mendukung terciptanya lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual serta memberikan jaminan ketidakberulangan tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.


Sebelumnya Pada tanggal 3 Juli 2024, Women’s Crisis Center (WCC) Jombang menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi aturan PMA tentang PPKS (Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual) yang diikuti oleh 16 MTsN Se-Kabupaten Jombang, kegiatan tersebut bertempat di Aula Kementerian Agama Jombang. Narasumber dari kegiatan sosialisasi tersebut adalah Ibu Leily I, S.Pd.,M.Si. bidang Analis Informasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Agama Jombang.


Dalam diskusi tersebut, telah teridentifikasi beragam tantangan yang dihadapi oleh sekolah, termasuk belum adanya dukungan yang cukup untuk sosialisasi kebijakan dan implementasi yang memadai di tingkat sekolah. Dalam hal ini, pendekatan sistem, seperti penguatan tata kelola, pelatihan, pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan, serta peningkatan peran peserta didik dan masyarakat, sangat penting.  Sehingga dalam kegiatan ini dilakukan upaya untuk merumuskan rekomendasi yang mencatat seputar implementasi kebijakan, termasuk sosialisasi, pengawasan, serta sumber daya.


Narasumber dari Kementrian Agama memberikan penjelasan tentang definisi kekerasan seksual mengacu pada Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 dan ragam bentuk yang ada serta permasalahan dalam pencegahan dan penanganannya di lingkungan pendidikan. Beliau juga memberikan sorotan tentang urgensi aturan ini yang menjadi jaminan dan perlindungan bagi siswa dan tenaga pendidik dari kekerasan seksual. Berbagai langkah tindak lanjut yang telah dirumuskan pada kegiatan tersebut adalah:


1.    Peningkatan kapasitas tenaga pendidik, khususnya guru Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus melalui sosialisasi Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

2.     Sosialisasi Program Kesehatan Reproduksi Siswa pada awal tahun ajaran baru.

3.    Pelatihan literasi digital bagi guru dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah.


Dengan adanya kebijakan dan upaya sosialisasi ini, diharapkan semua pihak di lingkungan pendidikan dapat lebih memahami dan mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan serta penanganan kekerasan seksual, sehingga tercipta lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan peserta didik. (Ayu)


Bagikan ke WhatsApp

Read more...

MEMBELA MEREKA YANG MEMBELA "Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Perempuan Pembela HAM”

Foto Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang

Penulis : Ana Abdillah (Direktur WCC Jombang/Advokat)

Bandung, 3 Oktober 2024


“Pada bulan Juni 2021 Kantor WCC Jombang didatangi beberapa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa yang berkonsolidasi untuk mendukung  upaya WCC Jombang bersama Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual (KSLK) dalam kerja advokasi bersaama penegakan Hukum  kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra salah seorang kyai (MSAT ‘37 Tahun) pemilik pondok pesantren besar di Jombang terhadap 5 santriwatinya. Perwakilan Mahasiswa dihadiri oleh perwakilan BEM Universitas Airlangga, BEM Universitas Brawijaya, BEM Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya dan beberapa kampus lain yang turut prihatin dengan fakta lambannya penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban MNK (19 tahun pada saat kejadian pada 2017). Dampak dari lambatnya proses penegak hukum kasus tersebut juga menjadi trigger terjadinya penganiayaan yang dilakukan oleh petugas pondok pesantren terhadap salah seorang kawan korban yang  juga merupakan saksi dalam kasus Kekerasan Seksual berinisial TAM (23 Tahun ), kejadian tersebut bermula dari postingan TAM di media sosial facebook yang diduga menyinggung Kyai (Ayah MSAT), status TAM pada sosial media dianggap menghina dan menyerang Kyai dan Pondok Pesantren. Walaupun sesungguhnya Isi dari postingan TAM  tidak lain adalah sebagai bentuk keprihatinan terhadap sikap pondok pesantren yang selalu membela pelaku kekerasan seksual dan protes terhadap lambatnya proses hukum.


Salah satu topik yang menjadi perbincangan antara Tim Aliansi KSLKS bersama    perwakilan BEM adalah terkait Situasi yang dihadapi oleh seluruh Perempuan Pembela HAM  yang terlibat dalam advokasi kasus tersebut. Perwakilan BEM memetakan situasi tersebut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah Aliansi KSLKS ? Berapa staff di Kantor WCC Jombang “?, Apakah staff di WCC Jombang seluruhnya adalah perempuan ? Apakah selama mengadvokasi kasus pernah mendapatkan intimidasi dan ancaman ? Bagaimana cara Aliansi dan internal WCC Jombang memitigasi terjadinya penganiayaan seperti halnya yang terjadi pada TAM ?. Bagi Saya apa yang menjadi pertanyaan mahasiswa merupakan bagian dari upaya untuk memahami situasi rentan yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM. Secara kultural perempuan yang berbicara tentang isu-isu berkaitan dengan hak-hak perempuan, kekerasan seksual, dan isu sensitif lainnya lebih rentan menerima stigma, serangan atau kritik pada konteks  yang lebih sulit, perempuan akan lebih berisiko dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka.


Namun sayangnya, tidak semua PPHAM memiliki kesadaran mengidentifikasi dirinya sebagai PPHAM yang memiliki Hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam mendukung upaya advokasi Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) dan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, penting untuk memperkuat kapasitas dan meningkatkan perlindungan terhadap Perempuan pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). PPHAM tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, memastikan bahwa suara yang terpinggirkan didengar. Dengan keberaniannya, PPHAM bekerja melawan struktur patriarki dan kebijakan diskriminatif yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Namun di Indonesia kerja-kerja sunyi yang dilakukan oleh PPHAM sering kali tidak dianggap penting sementara tidak banyak PPHAM yang memahami hak dasar mereka mencakup perlindungan ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan salah satu elemen penting  Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dilindungi oleh negara  selain  hak sosial dan politik.


Penguatan kesadaran bagi PPHAM untuk meningkatkan safety security dan pemenuhan kualifikasi sangat dibutuhkan dalam merumuskan pendekatan yang dapat memastikan keamanan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Peran Perempuan pembela HAM dalam melakukan kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, telah diakui dalam ketentuan Undang-undang, diantaranya :

Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: “Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.”

Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual : “Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan”.


Sayangnya praktek dilapangan pada saat proses pelaporan kasus, tidak banyak penyidik yang memahami peran pendamping bahkan minim informasi terkait kerja-kerja keparalegalan.  Didalam UU TPKS Pasal 29, telah diatur secara jelas bahwa yang disebut sebagai pendamping adalah Petugas LPSK, Petugas UPTD PPA, Tenaga Kesehatan, Psikolog, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Psikiater, Pendamping Hukum meliputi advokat dan paralegal, PETUGAS LEMBAGA PENYEDIA LAYANAN BERBASIS MASYARAKAT serta pendamping lainnya.


Lalu siapa  Perempuan Pembela HAM ?

Setiap individu yang bekerja dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan Perempuan Pembela HAM. PPHAM adalah setiap orang (perempuan, laki-laki atau gender lainnya yang berjuang untuk menegakan dalam memajukan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Selama ini Komnas HAM hanya mengenali terminologi Pembela HAM, sementara situasi terminologi Pembela HAM antara perempuan dan laki-laki memiliki aspek kerentanan yang berbeda termasuk potensi terpapar secara psikologis sebagai dampak dari pendampingan yang dilakukan baik melalui pendekatan konseling personal maupun  dukungan psikolog. Lebih jauh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang periode 2020-2024 dalam sesi workshop penguatan protokol Ekosob PPHAM yang diselenggarakan SAPA Institute Bandung, menyampaikan perlunya audit gender untuk mengukur perilaku individu di organisasi dalam memastikan diterapkannya prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam interaksi dengan sesama yakni bagaimana sesama pembela HAM dapat membangun support system perlindungan tanpa stigma dan diskriminasi.


Dalam menjalankan kerja sosialnya seorang PPHAM selalu berupaya membangun kesadaran kritis bahwa permasalahan kekerasan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga melibatkan struktur sosial yang lebih luas. PPHAM yang melakukan pendampingan kasus SGBV seringkali mendapatkan stigma dan perilaku diskriminatif dalam menjalankan kinerjanya diantaranya dianggap perusak rumahtangga, dianggap membawa aliran sesat, menolak ketentuan adat hingga ancaman akan dibunuh diperkosa dan dimasukan penjara. Di Tengah ancaman tersebut, PPHAM seringkali merasa harus memutuskan hidup sendiri (tidak menikah) demi totalitas pengabdiannya, harus melewati masa lanjut usia dengan ketiadaan atau minim dukungan, tidak memiliki jaminan perlindungan sosial, kesehatan dan dukungan ekonomi serta jaminan hari tua (pensiun) yang memadai.


Indonesian protection for WHRD Network mengidentifikasi ada 6 kebutuhan hak dasar diantaranya Hak Ekosob, diantaranya (1) Hak ekonomi & ketenagakerjaan yang mencakup upah, situasi kerja layak & aman, cuti, ruang menyusui, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan hari tua); (2) Hak Pendidikan yang meliputi beasiswa pendidikan, kesempatan/akses pelatihan/konferensi/kursus, dukungan sertifikasi; (3) Hak Kesehatan, yang meliputi jaminan/asuransi kesehatan, dukungan pemeriksaan kesehatan rutin termasuk kesehatan reproduksi; (4) Hak Sosial, yang meliputi Dana Sosial, dukungan pada saat musibah, rekreasi dan akses jaminan sosial; (5) Hak Budaya, yang meliputi fasilitas ruang/alat ibadah, ijin menjalankan/mengikuti kegiatan keagamaan dan (6) Hak Hukum, meliputi bantuan hukum ketika mengalami ancaman dan kekerasan.


Dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut PPHAM harus dihadapkan tantangan dalam mendapatkan jaminan perlindungan hukum walaupun secara  normatif pengakuan terhadap kerja-kerja PPHAM telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan TPKS. Sementara berdasarkan hasil survey situasi PPHAM yang dilakukan IProtecnow (Indonesia Protection For WHRD Network) terhadap 329 PPHAM di 6 provinsi melaporkan hasil bahwa 77 % PPHAM memiliki BPJS Kesehatan, sedangkan 23 % PPHAM lainnya tidak memiliki BPJS Kesehatan.


Pada tanggal 29 November di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Pembela HAM, namun tidak banyak masyarakat memahami siapa PPHAM, Apa peran PPHAM dan bagaimana situasi yang dihadapi oleh PPHAM. Situasi berupa risiko ancaman, kekerasan, intimidasi dan segala bentuk potensi kriminalisasi yang dihadapi PPHAM, membuat kerja-kerja PPHAM harus memperkuat  jaringan pengaman sosialnya melalui kerja kolektif untuk memikirkan skema perlindungan bagi PPHAM. 


Berdasarkan hasil situasi tersebut, Iprotect Now berupaya untuk membuat protokol perlindungan ekosob PPHAM sebagai informasi langkah-langkah yang bisa diinternalisasi organisasi dengan membangun kemitraan dengan pemerintah, korporasi/perusahaan, lembaga filantropi, lembaga pendidikan, kesehatan dan keagamaan, organisasi HAM/Organisasi Perempuan. Melalui dukungan program Right Here-Right Now 2- Yayasan Gemilang Sehat Indonesia bekerjasama dengan Yayasan SAPA institute menginisiasi penguatan lembaga penyedia layanan masyarakat untuk pengetahuan tentang hak PPHAM, Kesadaran, Adopsi protokol ke dalam kebijakan SOP Lembaga, Akses PPHAM terhadap manfaat perlindungan dan keterhubungan dan pembelajaran, kegiatan ini melibatkan WCC Jombang dan Aliansi Sumut Bersatu Medan.


Pada Desember 2023 lalu, Komnas Perempuan , Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah mengembangkan mekanisme respon cepat yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhi hak hak pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya  yang secara spesifik mencakup insiden keamanan ancaman secara beruntun termasuk mengarah pada tubuh dan seksualitas perempuan; kerusakan properti atau benda yang cukup luas; adanya ancaman atau potensi ancaman nyata yang sangat membahayakan keselamatan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan yang dimiliki PPHAM atau PPHAM; maupun kebutuhan penanganan tindakan medis atau psikologis secara segera karena kerja-kerja hak asasi manusianya. Kehadiran mekanisme respon cepat diharapkan bisa mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif.


Mekanisme respon cepat sangat dibutuhkan bagi seluruh individu di organisasi dalam menghadapi dinamika advokasi. Kerjasama yang bermakna harus terus di tumbuh dan kembangkan, fungsi jaringan adalah membangun percakapan untuk tidak saling menghakimi. Pengalaman perempuan punya gejolak yang berbeda sehingga sisterhood harus terus diupayakan bersama karena Equality adalah perjuangan bertahap. Perempuan menjadi korban laki-laki jangan sampai perempuan menjadi korban perempuan  bahkan parahnya perempuan menjadi korban aktivis perempuan.

Bagikan ke whatsapp
Read more...

Sunday, September 29, 2024

Memahami Akar Kekerasan Seksual di Balik Tirani Otoritas Oknum guru di Gorontalo

 

Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mendukung dan menyuarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.




 
Oleh : Ana Abdillah (Direktur Women’s Crisis Center Jombang


Seorang guru berinisial DH (57 tahun) di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak pidana seksual kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru terhadap siswa didiknya.


Dampak pasca tersebarnya video tersebut menjadi pukulan serius bagi dunia Pendidikan,  namun sangat disayangkan berbagai stigma, hinaan, cacian terus ditujukan kepada korban secara terus menerus. Bahkan di masyarakat masih menguat persepsi bahwa anak dalam video tersebut tidak pantas disebut sebagai “korban” seolah membangun persepsi yang keliru bahwa hubungan keadaan antara guru dan murid  karena persoalan asmara dan suka-sama suka.


Berbagai komentar diskriminatif yang diproduksi masyarakat melalui akun sosial medianya menunjukan betapa minimnya pemahaman Masyarakat kita dalam memahami akar permasalahan kekerasan seksual. Hanya melalui satu publikasi akun gossip saja berbagai persepsi keliru memuat beragam pandangan diantaranya, menikahkan anak korban dengan pelaku, persepsi bahwa disebut sebagai korban hanya apabila ada paksaan, ada yang teriak minta tolong, gak sampe terjadi berulang bahkan yang paling jahat adalah komentar agar korban dipenjara serta ajakan untuk tidak melihat background anak yang masih dibawah umur, yatim piatu, fatherless untuk membela korban. Sungguh persepsi menyesatkan tersebut apabila terus  dibiarkan tumbuh subur di pikiran kebanyakan orang justru akan terus membuat budaya hukum kita ada dalam bayang-bayang nilai patriarki. Ancaman terhadap kerja-kerja perubahan sistem pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di satuan Pendidikan akan terasa berat bahkan mungkin akan melemahkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menghapus segala bentuk kekerasan seksual.


Lalu bagaimana sesungguhnya cara kita memahami akar permasalahan  kasus guru dan murid yang terjadi di Gorontalo ?


Kita pahami bersama bahwa Kekerasan Seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan kekuasaan. Sehingga oknum guru dalam hal ini membutuhkan cara untuk mengontrol dan mengendalikan korban untuk menuruti maksud jahatnya dengan memanipulasi keadaan yakni tipu daya, bujuk rayu salah satunya dijanjikan akan dibiayai sekolahnya.


Lalu apakah caranya harus dengan Kekerasan fisik, ancaman, intimidasi ?


Oh tentu saja tidak.. perbuatan manipulatif yang dilakukan oknum guru dan murid wajib dipandang sebagai kejahatan karena relasi kuasa yang tidak seimbang ditambah lemahnya fungsi pengawasan sekolah. Guru adalah figur otoritas yang dipercaya untuk membimbing, mendidik, melindungi  dan menjadi teladan bagi anak-anak. Namun, ketika guru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual, maka ia tidak hanya menghancurkan masa depan anak tersebut tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan.


 Apa yang terjadi pada anak korban salah satunya dikontribusikan karena kegagalan sistem di satuan Pendidikan dalam merespon sinyal tanda bahaya saat korban menceritakan kepada orang terdekatnya tentang kondisi perasaan tidak nyaman saat oknum guru menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis, trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru. Bahkan Menurut Kasubdit Penmas Bidang Humas Polda Gorontalo, Kompol Henny Muji Rahayu yang menangani kasus ini menjelaskan bahwa korban sempat merasa risih dan mencoba menolak hingga melakukan perlawanan, namun karena perilaku manipulatif melalui bujuk rayu oknum guru, akhir kekerasan seksual bisa terjadi berulang.


Apa yang terjadi pada oknum guru biasa disebut sebagai perilaku child grooming sebagai bagian dari Tindakan sexual grooming  yaitu strategi sistematis seseorang dalam membangun kepercayaan seorang, yang biasanya masih anak-anak atau remaja. Tindakan tersebut bertujuan untuk memanipulasi atau memaksa korban agar terlibat dalam aktivitas seksual dan membuat korban terjebak dalam keadaan eksploitatif. Pelaku grooming akan mencari celah dalam kerentanan anak secara bertahap yang meruntuhkan atau melanggar batasan mereka. Sambil membangun kendali dan melakukan pelecehan seksual, pelaku juga meyakinkan lingkungan sekitar bahwa anak atau remaja tersebut aman dalam pengawasannya.


Dalam KUHP lama yang terbilang sangat jadul sekali, dalam pasal 294 ayat (1) mengatur norma “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaan dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” . Norma jadul ini tentu saja tidak mewajibkan ada unsur “Kekerasan” dan “Ketiadaan persetujuan”.


Hubungan Keadaan yang terjadi pada oknum guru dan murid telah gagal dimitigasi oleh satuan pendidikan dan terus terjadi secara berulang yang membuat korban merasa kesulitan sendiri untuk bisa lepas dari keadaan manipulatif  yang melingkarinya bahkan lebih parah lagi, ketika kasus seperti ini muncul, sering kali korban justru mendapatkan tekanan, bukan dukungan. Kasus di Gorontalo ini memperlihatkan kepada kita betapa rentannya posisi anak-anak ketika berada di bawah asuhan orang yang seharusnya mereka percayai.


Kepercayaan besar yang diberikan kepada guru menjadikan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan siswa. Siswa menganggap guru sebagai panutan dan sering kali merasa takut atau tidak berdaya untuk melawan ketika mereka merasa tidak aman. Guru harus dibangun perspektif dan keberpihakannya kepada korban, tidak hanya dengan pengajaran soal mata pelajaran, tetapi juga soal batas-batas yang jelas dalam hubungan profesional dengan siswa. sehingga setiap guru memahami tanggung jawab moral dan hukum mereka.


Hingga tulisan ini dibuat, didapati informasi bahwa korban telah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, padahal salah satu kegagalan sistem adalah pihak sekolah yang tidak melakukan fungsi  pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya apalagi peristiwa ini terjadi dua tahun lamanya. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa dalam hal ini sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal kejadian tersebut murni tindak pidana kekerasan seksual  terhadap anak di bawah umur yang membutuhkan perlindungan Hukum dan dukungan psikologis.


Satuan Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, malah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual, secara tersembunyi. Kasus di Gorontalo ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyoroti kelemahan dalam sistem perlindungan anak dan mendesak adanya perubahan yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan Pendidikan.


Pendidikan Kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) bukan hanya tentang mengajarkan tentang anatomi atau reproduksi, tetapi juga tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari kekerasan seksual, mengenali tanda-tanda pelecehan, dan berani melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak memiliki kekuatan untuk melawan jika mereka menjadi korban. Mari dukung dan terus suarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.



Share via whatsapp
Read more...

Sunday, March 3, 2024

Implementasi Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

 

Anak adalah subjek hukum yang harus dilindungi hak-haknya. Salah satu hak anak yang menjadi korban tindak pidana adalah mendapatkan restitusi. Seperti yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita oleh korban atau hak warisnya.

Adapun mekanisme implementasinya menurut Undang-undang tersebut adalah pemberian restitusi tidak kemudian menghapuskan hukuman berupa pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap pelaku tindak pidana sebagai bentuk pidana tambahan sesuai dengan ketentuan yaitu pidana atau kejahatan yang di ancam dengan pidana penjara miniaml 4 (empat) tahun atau lebih.

Tata cara permohonan restitusi seperti yang tertera dalam Perma No. 1 tahun 2022 harus memperhatikan persyaratan administratif permohonan yang diatur dalam pasal 5. Permohonan harus dibuat secara tertulis menggunakan bahasa indonesia dan diajukan kepada hakim yang menyidangkan perkara pidana dimana korban berada, dapat diajukan melalui LPSK, penyidik ataupun Jaksa Penuntut Umum, untuk besarnya jumlah restitusi melalui perhitungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), kemudian berkas hasil perhitungan besaran restitusi tersebut diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dimasukkan dalam berkas tuntutan JPU.

Berdasarkan pengalaman WCC Jombang dalam permohonan restitusi untuk korban tindak pidana mengalami tantangan, salah satunya yakni lama diproses perhitungan besaran nilai restitusi di tingkat LPSK. Pada tahun 2023, WCC Jombang mengajukan permohonan restitusi melalui LPSK untuk korban usia anak yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh gurunya. Saat ini kasus tersebut sudah pada tahap persidangan dan JPU dalam berkas tuntutannya telah memasukkan restitusi sebagai pidana tambahan selain pidana kurungan penjara. Dalam berkasnya JPU menuntut pelaku dengan hukuman pidana penjara selama 10 tahun, denda 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah), Subsidair 6 (Enam) bulan penjara, restitusi sebesar 5.672.000 (Lima Juta Enam Ratus Tujuh Puluh Dua Rupiah).

Dalam UU No.12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual, diatur secara tegas dalam pasal 33 apabila terdakwa tidak melakukan kewajibannya untuk memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya dalam jangka waktu 30 (Tiga Puluh) hari sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima, maka hakim memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya dan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Read more...