Dalam konteks dinamika hukum alam, tindakan aborsi menjadi titik
perdebatan antara dua perspektif utama: pendukung moral hukum alam dan para
advokat feminist legal theory. Kedua pihak berusaha memberikan interpretasi dan
pemaknaan yang berbeda terhadap arti dari perbuatan aborsi, memunculkan
ketegangan antara hak reproduksi yang diperjuangkan oleh kaum feminis dan
prinsip moral yang mendasari hukum alam.
Hak Kesehatan Seksual Reproduksi dari perspektif feminist legal theory,
khususnya dalam konteks relasi gender, berhadapan dengan nilai-nilai moral yang
dipegang teguh oleh prinsip Hukum Alam, hal ini menegaskan pada pandangan bahwa
hak terkait kesehatan seksual dan reproduksi
merupakan bagian integral dari hak asasi manusia, sementara pendukung hukum
alam memandang bahwa hak untuk
mendapatkan layanan aborsi aman bagi korban perkosaan yang secara tergas di
atur dalam 60 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 31 ayat (1) dan (2) dalam PP No.
61 tentang Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi serta dalam Pasal 299 KUHP
dianggap sebagai pelanggaran terhadap
prinsip moral yang melandasi tatanan alam.
Pertentangan semakin kompleks ketika nilai-nilai Teologi Islam
turut diperhitungkan. Teologi Islam menyediakan kerangka etis yang kaya terkait
perilaku aborsi. Nilai-nilai ini, seringkali tumpang tindih dengan argumen
moral hukum alam, menciptakan suatu dinamika yang kompleks dalam menilai
perbuatan aborsi dari sudut pandang etika dan agama. Dengan perdebatan antara
pendukung hak reproduksi feminis, nilai-nilai moral dalam hukum alam, dan
pandangan etis dari Teologi Islam, tindakan aborsi menjadi pusat perhatian
dalam diskursus hukum dan moral yang mencerminkan pluralitas nilai dan
perspektif dalam masyarakat.
Situasi
aborsi di Indonesia tidak banyak terlaporkan secara sistematis, dikarenakan
kebijakan aborsi di Indonesia yang masih mengatur segala aspek aborsi mulai
dari perbuatan, pemberian informasi hingga layanan dengan pendekatan
pemidanaan. Tulisan ini disusun berdasarkan catatan
penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Women’s Crisis Center
Jombang berangkat dari pengalaman korban
dan pendamping studi lapangan yang dilakukan oleh penulis di Afrika Barat pada
Juni 2023 melalui kunjungan dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber
dari tenaga kesehatan di Republik Benin
serta berbasis informasi pengalaman pendampingan kasus perkosaan yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan oleh Women’s Crisis Center Jombang.
ABPF (Association
BĂ©ninoise pour la Promotion de la Famille) merupakan
lembaga penyedia layanan masyarakat, di Republik Benin Afrika Barat, yang
fokus memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat dari berbagai latar belakang Klinik APBF mayoritas
diakses oleh masyarakat miskin, terpinggirkan dan dikucilkan secara sosial.
Pada jumat 14 juni 2023,
melalui dukungan program Right Here Right Now 2 - penulis berkesempatan
mengunjungi ABPF dalam kegiatan studi lapangan untuk memahami ragam
permasalahan dan praktik penyelenggaraan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi
di Negara tersebut. Ditengah minimnya sarana prasarana dan infrastruktur
pelayanan kesehatan di negara tersebut, ABPF hadir membangun responsifitas
layanan melalui pengoperasian layanan kebidanan dan antenatal care berbasis
masyarakat yang efektif di 16 desa, namun secara mekanisme masih dilakukan
dengan cara konvensional melalui dukun bersalin dan tenaga kesehatan sukarela.
Strategi ABPF dalam mengaktivasi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Negaranya adalah dengan melibatkan ratusan anak muda sebagai distributor berbasis komunitas (CBD) dan pendidik sebaya. Sebagai salah satu sarana Pendidikan Seksualitas Komprehensif (CSE), APBF melalui penyediaan informasi kesehatan seksual dan reproduksi, kondom, dan layanan konseling kepada kaum muda.
Sarana tersebut tentu saja jauh berbeda dengan situasi di Indonesia yang masih menguat ke’tabu’annya ketika mengenalkan informasi jenis kontrasepsi kepada remaja sebagai sebagaian dari pendidikan seksualitas komprehensif sejak usia dini. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan undang-undang yang melarang untuk mempromosikan alat kontrasepsi berdasarkan ketentuan Pasal 534 KUHP, walaupun terdapat pengecualian tertentu yang berlaku kepada tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terlatih untuk menyampaikan informasi mengenai alat kontrasepsi sebagai salah satu sarana untuk mencegah HIV/AIDS. Pada Pasal 28 UU Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKDPK) yang memberikan legitimasi kepada tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlatih untuk mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi kepada masyarakat. Sehingga kerangka Hukum positif di Indonesia masih sangat restriktif (membatasi) dan tabu memandang problem Keadilan Reproduktif bersama dengan keadilan sosial.
Republik Benin merupakan
Negara dengan jumlah populasi anak muda
dan termasuk populasi dengan angka anak muda terbanyak di dunia, hal ini
menjadi tantangan Negara untuk menghadapi bonus demografi pada konsidi lingkar
kemiskinan yang menguat. Hal tersebut tentu saja akan menjadi bencana besar
yang melanda negara tersebut, ketika tidak digencarkan program pembangunan
manusia dengan memberdayakan perempuan
dan anak perempuan melalui peningkatan akses kesehatan, pendidikan dan
keterampilan mereka untuk memberi mereka kekuatan pengambilan keputusan yang
lebih besar.
Negara dengan luas 112.760 Km2 (43.537 mil persegi),
memiliki jumlah penduduk 13.727.722 [1] dengan usia rata-rata di Benin adalah 17,6
tahun. Benin sebagai salah satu Negara termiskin di Afrika telah dihadapkan kondisi
tingginya angka kelahiran hidup dan rendahnya kualitas layanan kesejahteraan
sosial yang difasilitasi oleh negara.
Penulis
mendokumentasikan temuan data saat
wawancara dengan salah satu
tenaga kesehatan di APBF, dengan menghimpun jumlah data perempuan yang
mengalami kehamilan tidak di inginkan untuk akses layanan aborasi aman. Sebagai
pusat layanan kesehatan masyarakat di negara benin, setiap bulannya paling sedikit
50 perempuan datang ke ABPF untuk mengakses layanan konseling Kehamilan Tidak
Di inginkan (KTD) sebagai tahap proses layanan untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan save aborsi aman, mayoritas akar permasalahan KTD yakni dipicu
permasalahan kekerasan seksual dengan rata-rata klien usia 19 - 23 tahun, namun
sayangnya karena keterbatasan waktu, penulis belum berhasil mengidentifikasi
angka kasus kekerasan seksual yang didampingi ABPF sepanjang satu tahun
terakhir.[2]
Namun permasalahan sistem
kesehatan di negara Republik Benin masih
sangat pincang dalam pelaksanaannya. Alur saat hendak mengakses layanan
di klinik ini : Korban yang datang ke klinik akan di cek kesehatannya,
selanjutnya dalam kondisi KTD petugas secara otomatis akan melakukan cek kesehatan dan mekanisme konseling
psikologis untuk penguatan kepada korban dan keluarga klien dalam proses
penyelesaian kasusnya, kemudian pihak klinik secara aktif akan mefasilitasi pertemuan keluarga pelaku
dan korban untuk melalui proses mediasi berdasarkan keluarga kedua belah pihak.
Mirisnya penyelesaikan kasus kekerasan seksual di negara ini selalu berakhir
damai baik dengan atau tanpa adanya pernikahan antara korban dan pelaku.
Potensi reviktimisasi tindak pidana akan sangat mungkin berulang dengan orang
yang sama atau pun berbeda. Rendahnya angka melek huruf dan minimnya pendidikan
seksualitas komprehensif sungguh menjadi tantangan serius yang harus masuk
dalam krangka reformasi sistem yang lebih berkeadilan gender di negeri Benin.
Responsifitas layanan
aborsi di Republik Benin, tidak berbanding lurus dengan pelaksanaan sistem
hukum di Negara tersebut yang masih sukar dalam pemenuhan hak korban perkosaan
atas akses keadilan hukum pada praktiknya sangat jarang kasus yang di
identifikasi ABPF bisa diselesaikan melalui proses hukum, sebalikannya dengan Indonesia
yang sistem hukumnya masih memungkinkan untuk menghadirkan layanan yang
berorientasi pada keadilan reproduktif bagi perempuan di semua aspek
kehidupannya. Lebih-lebih sejak di sahkannya
Undang - undang No. 12 Tahun 2022 tindak pidana kekerasan seksual. Layanan Hak
Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi perempuan telah diatur dalam UU No 17
tahun 2023 tentang Kesehatan pada pasal 4 ayat (1) menyatakan : “Setiap orang berhak hidup
sehat secara fisik, pesikis dan sosial” . Jaminan Hak Kesehatan
Seksual dan Reproduksi juga di tegaskan dalam PP No 61 tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi Pasal 26 ayat (1) “Setiap
perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa
paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.”. Hal
ini menjadi komitmen negera untuk
menghadirkan layanan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi secara
komprehensif, tidak terkecuali hak untuk mendapatkan layanan aborsi bagi korban
perkosaan.[3]
Problem struktural dan
kultural di Indonesia dalam implementasi aborsi bagi korban perkosaan
seringkali menemui kebuntuan dalam mekanisme pelaksanaannya, tidak tersedianya
tenaga layanan yang kompeten dan memiliki perspektif penanganan korban serta
minimnya fasilitas dan infrastruktur layanan kesehatan yang ditunjuk sebagai
pelaksana, seringkali memiliki hambatan akses bagi perempuan korban perkosaan
untuk mendapat layanan aborsi aman sebagai bagian dari pemenuhan hak kesehatan
seksual dan reproduksi.
Secara kultural pemenuhan
hak atas aborsi masih menguat
keTABUannya, hal ini tidak lepas dari paradigma hukum yang masih belum
berorientasi pada pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Stigma dan
diskriminasi telah juga dialami korban berinisial M’ 13 tahun di kabupaten
Jombang, telah diperkosa oleh seorang pria paruh baya berinisial H’ 58 tahun
asal mojowarno, pada saat pelaporan dikepolisian usia kandungan korban 3
minggu. Usia kehamilan yang dihadapi korban saat ini masih memungkinkan untuk
membangun sistem layanan kesehatan melalui akses layanan aborsi bagi korban,
sebagaimana diatur dalam KUHP yakni tidak lebih dari 6 minggu. Namun kebuntuan
koordinasi antar stakeholder dan tidak adanya mekanisme pelaksanaan peraturan
yang jelas membuat membuat korban dan
keluarga tidak mendapat dukungan untuk mengakses layanan tersebut. Hal ini
membuat korban diusianya yang masih 13 tahun dan baru tiga kali menstruasi
terpaksa harus melanjutkan kehamilannya.[4]
Tidak terpenuhinya hak
atas aborsi bagi korban perkosaan
berimplikasi secara fisik pada kesehatan reproduksi korban yang belum
siap menerima kehamilan dapat
membahayakan jiwa korban. Perempuan
korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan harus
menghadapi resiko hukum, finansial
maupun resiko fisik ketika berusaha mencari akses aborsi. Termasuk jika
kemudian memperoleh layanan aborsi tidak aman, akan memberikan resiko
finansial, resiko kesehatan atas komplikasi yang mungkin dialami. [5]
Secara psikologis kehamilan korban adalah
situasi yang sangat di benci dan tidak dinginkan, hal ini tentu saja akan
menambah trauma bagi korban seumur hidupnya. Olehkarenanya menurut penulis kemanfaatan hukum akan sangat sukar di
wujudkan jika pengaturan aborsi bagi
korban perkosaan masih bersifat restriktif (dibatasi) dan tidak
berorientasi pada pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.
Berangkat dari
permasalahan tersebut, penulis merekomendasikan :
1. Kementerian Kesehatan harus memberikan respons segera mengenai
kebijakan aborsi aman pasca KUHP Baru, dengan segera menyesuaikan Permenkes
3/2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi Aman;
2. Pemerintah segera menunjuk fasilitas kesehatan yang bisa menyediakan
layanan aborsi aman, juga membuka peluang untuk permohonan layanan agar dapat
ditunjuk;
3. Adanya komitmen lintas kementrian untuk meningkatkan
kualitas layanan Hak kesehatan Seksual Reproduksi termasuk mendorong Edukasi
Kesehatan Seksual dan Reproduksi di semua jenjang pendidikan. (AN)
Sumber Artikel:
[5] Kerangka Hukum tentang Aborsi
Aman; 2023 , Institute
for Criminal Justice Reform, hlm. 6