Thursday, May 11, 2023

Diskusi Reguler Penguatan CSO dan Orang Muda

Sumber : Dokumentasi WCC Jombang


Aliansi inklusi adalah sebuah gerakan yang dimotori oleh beberapa jaringan WCC Jombang, yang terdiri dari kelompok remaja, orang muda dan organisasi masyarakat Sipil / Civil Sociaty Organization (CSO) wilayah kabupaten Jombang. Dalam Aliansi tersebut semua sama-sama bersepakat untuk melakukan penguatan wacana melalui diskusi reguler yang didanai oleh program RHRN (Right Here Right Now)#2, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan rencana aksi bersama aliansi inklusi yaitu mendorong adanya keterlibatan pemerintah daerah agar menghadirkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan orang muda.

Dalam rangka memperkuat konsolidasi tersebut pada pertemuan diskusi reguler yang dilaksanakan pada tanggal 18 April 2023, aliansi inklusi mengangkat tema “Mengenal dan Memahami tentang Disabilitas, serta Memahami Kebijakan HKSR yang Inklusif terhadap Kelompok Disabilitas”.

Pada kegiatan diskusi reguler aliansi menggandeng Stella Rosita Anggraini, dia merupakan aktivis perempuan dengan disabilitas yang aktif mengadvokasi hak-hak disabilitas di Kabupaten Jombang serta penulis produktif yang berhasil menginspirasi anak muda dan telah menerbitkan 2 buku merefleksikan pengalaman sebagai disabilitas. Disampaikan oleh Stella dalam paparan diskusinya terkait definisi disabilitas, memahami ragam dan bentuk disabilitas yang meliputi disabilitas fisik, mental, intelektual dan sensorik. Disampaikan pula oleh iman dari organisasi Suara Difabel Mandiri salah satu peserta diskusi reguler bahwa di Jombang belum ada Perda disabilitas, fasilitas publik, ketenagakerjaan, pemberdayaan yang komprehensif, sebab selama ini banyak masyarakat yang hanya melirik belas kasihannya seorang disabilitas padahal tidak hanya tenggang rasa yang dibutuhkan, melainkan diakui.

Terkait pemenuhan hak kesehatan reproduksi disampaikan oleh Dhoni perwakilan dari Media Pendidikan bahwa untuk hak kesehatan reproduksi sesual itu sendiri, untuk media lokal terkhusus di Jombang, memang belum begitu banyak dijadikan isu sentral yang mencerahkan bagi publik.

Dalam kegiatan diskusi reguler tersebut menghasilkan beberapa Rencana Tindak Lanjut

1. Membuat sosialisasi CSE di berbagai instansi pendidikan, di moment penerimaan peserta didik baru

2. Melakukan agenda kampanye rutin di sosial media

3. Melakukan audiensi dengan Dinas Pendidikan dan Kesbangpol Kabupaten Jombang

4. Diskusi penyusunan draft perbub terkait penyelengaraan layanan HKSR di satuan pendidikan.

Read more...

Sunday, March 26, 2023

Launching Buku Saku Mekanisme Rujukan Untuk Layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Berbasis Gender bagi SMP/MTs/PKLK di Kabupaten Jombang serta Release Catatan Tahunan Jombang 2022/2023

 

sumber : dokumen foto WCC Jombang


Perjalanan panjang dalam kerja advokasi kasus dan kebijakan yang dilakukan WCC Jombang telah mendokumentasikan tantangan dan hambatan dalam pendampingan Kasus kekerasan berbasis gender dan  serta ragam bentuk kekerasan seksual yang ada di Kabupaten Jombang. Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik WCC Jombang  melaporkan Catahu 2022 dengan Tema “ Kekerasan Seksual Sudah Jadi Pandemi, Sudahkah Pendidikan Seksualitas Komprehensif Jadi Solusi ”


Bahwa dalam melakukan kerja-kerjanya, WCC Jombang tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karenanya sebagai bagian dari stakeholder di kabupaten Jombang. WCC Jombang menyampaikan terimakasih atas dukungan Rekan media, Kepala Dinas pendidikan yang sudah mendukung proses penyusunan buku, Kepala kementrian Agama yang sudah membantu mefasilitasi tempat kegiatan, kepada  Dinas PPKBPPPA dan Bapak Kepala UPTD Jombang yang telah hadir menguatkan data dan rekomendasi. Terimakasih Kepada DPRD,Bappeda,  Bapak Ibu Guru di SMP/PLKB/Mts, Cab. Dinas Wilayah Jawa Timur, Bapak ibu petugas layanan PKPR di Puskesmas,  kepada Pengadilan Agama, Polres Jombang, Kejaksaan Negeri Jombang, PKK, Diknas, Dinas UMKM, TAp3MD, DisporaparKesbangpol, PLKB atas kehadirannya.

 

Terimakasih kepada Bapak Dekan FAI Universitas Hasym Asyari, Mitra Jaringan PSW di Kab. Jombang, Jaringan Aliansi Inklusi, Ibu2 Paralegal Komunitas Perempuan dan Kolega kami yang selalu mendukung kerja-kerja kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

 

Semoga keselamatan dan keberkahan senantiasa menyertai kerja kerja kita bersama.



Read more...

Press Release "Kekerasan Seksual Sudah Jadi Pandemi; Sudahkan Pendidikan Seksual Komprehensif Jadi Solusi?"

 PRESS RELEASE

 Kekerasan Seksual Sudah jadi Pandemi ;

Sudahkah Pendidikan Seksualitas Komprehensif jadi solusi ?

 

Jombang, 02 Maret 2023

 

Sepanjang tahun 2022, WCC Jombang menerima 86 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis Gender. Dari 86 kasus yang ditangani WCC Jombang sebanyak 38 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 2 Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 36 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan pelaku adalah suami dan 2 kasus pelaku adalah ayah. Selanjutnya 46 kasus merupakan kekerasan seksual. Terdiri dari 15 kasus perkosaan, 9 kasus pelecehan seksual dan 19 kasus kekerasan dalam pacaran, 3 kasus incest dan 1 kasus trafficking dan 1 kasus pidana umum. Dari 86 kasus, sebanyak 21 kasus teridentifikasi terjadi merupakan kasus seksual berbasis elektronik di ranah online dan 3 kasus korban merupakan disabilitas. 

Dari 41 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang sebanyak 14 kasus berujung pada perceraian dan 1 kasus harus bersengketa dalam permohonan hak asuh anak. Dalam lingkup keluarga, 32 korban mengalami kekerasan psikis, 29 korban mengalami penelantaran, 4 korban mengalami marital rape, serta 18 korban mengalami kekerasan fisik. Sepanjang 2022 terdapat 2 kasus KDRT yang didampingi WCC dan dilaporkan ke kepolisian, namun tidak ada satupun kasus  KDRT yang dilaporkan selesai pada proses putusan di Pengadilan Negeri Jombang. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa. Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggungjawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali pada kasus penelantaran, korban akan memilih jalur perdata (cerai gugat). Pilihan ini justru mengabaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Beberapa permasalahan pasca putusan cerai seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa bantuan mantan suami.  

Sebanding dengan perempuan korban KDRT beragam tantangan juga dihadapi oleh 46 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 31 korban merupakan usia anak yang mengalami kekerasan seksual, dimana 15 perkara yang diadili di pengadilan sudah putusan, 5 korban  masih menjalani proses hukum, 1 korban terkendala proses pembuktian yang membuat laporannya terancam  dihentikan, 2 korban pelakunya masih DPO, 1 korban berakhir damai secara kekeluargaan, 5 korban memilih tidak melalui proses hukum. 

Dari 46 kasus kekerasan seksual sebanyak 15 korban berusia diatas 18 tahun (dewasa) namun 10 korban usia dewasa yang memutuskan untuk tidak melapor karena tantangan sukarnya implementasi UU TPKS, beberapa kasus dialami NY (31) seorang ibu tunggal yang diperkosa tetangganya sampai hamil yang berupaya melaporkan kasusnya namun diancam pasal perzinahan. Situasi berat juga menimpa SR (24) bernuansa KBGE (Kekerasan Berbasis Gender Elektronik) di mana identitas pelaku tidak diketahui, N (35) korban disabilitas mental yang alami perkosaan hingga hamil, melahirkan dan direncanakan akan dilakukan sterilisasi. Problem struktural ini diperkuat dengan masih minimnya komitmen stakeholder dalam mengimplementasikan UU No 12 Tahun 2022 tentang  Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual sebagai jawaban kekosongan hukum selama ini.

Sementara dilematika dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak diantaranya minimnya pemahaman orangtua bahkan tenaga pendidik dalam mengupayakan  penyelesaian permasalahan anak. Banyak orang dewasa yang menjadikan “kawin anak” sebagai solusi penyelesaian kasus kekerasan seksual, hal ini tidak berbanding lurus dengan Edukasi Hak Kesehatan Seksual Reproduksi terhadap anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. UU  Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa “Tidak ada Restorative justice dalam penanganan  kasus kekerasan seksual”. 

Kasus kekerasan seksual sudah jadi pandemi, sementara kebijakan yang ada di tingkat daerah belum cukup untuk membangun integrasi layanan, bahkan dukungan kebijakan penyelenggaraan layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi di satuan institusi pendidikan masih belum menjadi prioritas sebagai bagian dari membangun perubahan sistem dalam upaya pencegahan kasus kekerasan seksual. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran membangun layanan yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban. 

Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta Perbub Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan adalah bukti bahwa Regulasi yang dirasa komprehensif dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya sudah dimiliki oleh Kabupaten Jombang. Namun nyatanya regulasi-regulasi tersebut belum mampu mencapai komprehensifitas dalam implementasinya. Maka optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak harus diselaraskan melalui penguatan APH, Civitas Akademika, Lembaga layanan pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem pencegahan untuk mendukung kualitas layanan melalui Edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi melalui penguatan pengetahuan, perumusan kebijakan dan dukungan anggaran serta penguatan infrastruktur kelembagaan dan sumberdaya manusia.  

Ragam situasi dan tantangan dalam penanganan kasus sepanjang 2022 memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan masih sangat minim. Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2021 dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik, karena beberapa hal dibawah ini: 

 

1.  Banyak hambatan dalam pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergitas antar stakeholder dalam upaya penyelenggaraan pelindungan perempuan korban kekerasan 

2.     Minimnya pemahaman orangtua, tenaga pendidik serta tenaga layanan kesehatan dalam  merespon penyelesaian permasalahan hak kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya kekerasan seksual yang berorientasi terhadap pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan

3.  Belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan, dimana salah satunya adalah masih ditemukan adanya impunitas pada pelaku kekerasan serta minimnya komitmen implementasi UU TPKS

 

Bahwa Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu WCC Jombang menyampaikan sikap kepada pemerintah, DPRD, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang berwenang untuk menjalankan rekomendasi :

1.      Pemerintah Daerah 

a.   Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Anak 

1.  Memperkuat peran Organisasi Masyarakat melalui sinergi dan kolaborasi dalam program pencegahan, penanganan, perlindungan dan  pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender serta meningkatkan mekanisme koordinasi dan evaluasi jaringan stakeholder 

2.  Memperkuat sinergitas Pemerintah dan Lembaga layanan berbasis masyarakat (termasuk layanan berbasis komunitas) Pasca Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah PPA 

3.   Meningkatkan akses layanan integratif terhadap korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di tingkat desa sampai kabupaten dari pencegahan, penanganan, sampai pada pemulihan

4.  Optimalisasi mekanisme penyelenggaraan layanan shelter berbasis pemerintah (keamanan tempat, ketersediaan tenaga ahli)

5.  Mendorong sinergitas antara Pemerintah daerah dengan organisasi  Profesi / Lembaga berbasis Masyarakat untuk mengawal implementasi Perda dan Perbup tentang peraturan penyelenggaraan perlindungan Perempuan dan anak dan peraturan Bantuan Hukum dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus. 

b.   Dinas Kesehatan

1.    Menyediakan layanan kesehatan, yang diselenggarakan, terbebas dari tindakan diskriminasi terutama diskriminasi kepada kelompok rentan dalam isu kesehatan reproduksi dan seksual.

2.  Peningkatan kapasitas bagi kader posyandu di desa tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi sebagai bahan edukasi pada masyarakat

c.    Dinas Pendidikan & Kebudayaan 

Mengintegrasikan materi pendidikan hak kesehatan reproduksi dan seksual sebagai bagian dari pendidikan seksualitas yang komprehensif, dalam kurikulum pendidikan lokal pada setiap jenjang pendidikan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap hak dan kesehatan reproduksi dan seksual, termasuk sebagai upaya pencegahan dini kasus-kasus kekerasan seksual terhadap remaja dan hal lainnya yang menyangkut hak reproduksi dan seksual.

d.   Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa

1.  Optimalisasi peran-peran kelembagaan di desa untuk penyelenggaraan layanan komprehensif di tingkat desa (BPD, PKK, Puskesos, Forum Anak Desa, Posyandu Remaja, Karang Taruna, dll)

2.   Mendorong desa untuk optimal dalam pelaksanaan Desa Ramah Perempuan Peduli Anak sebagai implementasi Perda 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender

e.    Dinas Sosial

1.      Penguatan pada sumber daya pada puskesos terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat penyelenggaraan layanan perempuan korban

2.      Penguatan ekonomi melalui pelatihan atau bantuan modal bagi perempuan korban kekerasan

f.     DPRD

1.        Meningkatkan dukungan anggaran  responsif gender 

2.     Melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Perda Kabupaten Jombang No.11 tahun 2020 tentang Pengarusutamaan gender

3.   Revisi Perda No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan & Anak. 

g.    Bupati

1.     Memastikan tersedianya Sarana Prasarana LPKA, LPKS, RPKA, dan LPAS di Kabupaten Jombang untuk mendukung implementasi Peraturan Bupati tentang Kabupaten Layanan Anak

2.   Revisi Perbup Bantuan Hukum di 2023  (Memasukan PBH, ABH dan kelompok rentan lainnya sebagai salah satu prioritas penerima layanan hukum)

3.     Meningkatkan akses layanan integratif untuk Penyelenggaraan Layanan Kesehatan Seksual Reproduksi ditingkat desa melalui Posyandu Remaja, ditingkat kecamatan melalui optimaliasi layanan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di puskesmas serta ditingkat kabupaten   membangun keterpaduan layanan di Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas PPKBPPA  melalui Peraturan Bupati.

h.   Kemenag

1.    Memberikan peningkatan kapasitas bagi tenaga pendidik untuk dapat mengimplementasikan Peraturan Menteri Agama No 73 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

2.  Melakukan pengawasan terhadap implementasi Peraturan Menteri Agama No 73 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

2.    Mendorong adanya Peningkatan Kapasitas APH (Hakim, Jaksa, Polisi advokat) dan Paralegal untuk mewujudkan layanan yang berkeadilan Gender 

3.      Melibatkan tokoh agama dalam kampanye anti kekerasan dan penanggulangan HIV-AIDS


Read more...

Mozaik Pendampingan Kasus Kekerasan Berbasis Gender 2022

 

 Dokumen foto kegiatan pendampingan pemeriksaan korban di kepolisian

“Di usia 8 tahun, seorang anak perempuan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tetangganya. Orang tua korban memutuskan untuk melaporkan kasus korban dan mengharuskan korban memberikan keterangan di usianya yang masih senang bermain. Selain itu para saksi yang dihadirkan juga berusia sepantaran dengan korban. Seperti yang telah kita ketahui bahwa proses pemeriksaan di kantor polisi memakan waktu yang lama, hal tersebut membuat korban dan para saksi yang masih usia anak mudah jenuh, bosan, bahkan sulit memberikan keterangan dengan jelas karena mereka suka berlarian, berteriak dan bermain. Kemudian untuk memudahkan korban dan saksi menjelaskan tentang tempat kejadian perkara (TKP), penyidik meminta mereka untuk menggambar di papan”.(Enha - Pendamping)

 

Dokumen foto kegiatan pendampingan sidang online

 

“Waktu itu saya berumur 16 tahun dan bertemu dengan dia yang berusia 25 tahun (pelaku), dia mengajak saya untuk pacaran dan saya pun menyukainya. Tapi kemudian saya dibawa ke dunia gelapnya. Dia bermain dengan narkotika, dia bahkan mengajak saya untuk melakukan pencurian motor, dia juga memaksa saya untuk melakukan hubungan seksual hingga saya hamil, dan yang lebih menyakitkan adalah mengetahui kenyataan bahwa dia ternyata sudah memiliki istri, artinya selama ini saya telah dibohongi. Ketika ia ditangkap polisi karena kejahatannya terungkap, saya pun terseret. Namun berkat perjuangan orang tua saya dan kondisi saya yang hamil, saya tidak sampai masuk sel tahanan. Kondisi saya yang hamil tua membuat saya diperbolehkan menjalani sidang di rumah secara online dengan bantuan pendampingan dari WCC Jombang”(Ilustrasi kasus KDP)

 


Dokumen foto kegiatan konsultasi hukum dan pembinaan psikologis di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Jombang

“ Di usia 17 tahun, saya mengalami kehamilan  tidak di inginkan oleh pacar saya dan terpaksa tidak lagi melanjutkan sekolah dan berhenti dikalas 3 SMA. Sayapun menikah secara siri diusia yang masih sangat muda, hingga anak saya berusia 8 bulan status pernikahan kita masih dibawah tangan. Kami hidup dalam kesulitan secara ekonomi, suami saya yang minim skill dan keterampilan membuatnya terbiasa melakukan tindak pidana pencurian motor. Pada siang hari saya diajak membeli susu bayi kami  kemudian saya diberhentikan di suatu tempat dan tidak ada pilihan lain,  saya pun terpaksa mengabaikan perilaku suami yang melanggar hukum. namun tidak lama berselang dari perubahan tersebut saya pun di jemput paksa oleh pihak kepolisian dengan dugaan turut serta melakukan pencurian motor. Saya harus berhadapan dengan hukum meninggalkan anak yang masih dalam pengasuhan  dan membutuhkan ASI Ekslusif. Selama di Lapas tidak ada yang bisa saya lakukan selain berdoa dan  terus menangis dan menyesali segala apa yang terjadi pada hidup saya. (N (19 Th) - Ilustrasi  Warga Binaan Pemasyarakatan Perempuan - Lapas Jombang)




Dokumentasi foto kegiatan mediasi di Polres Jombang

“Awalnya saya hanya berkonflik dengan suami saya. Saya pernah melaporkan suami saya yang berprofesi sebagai polisi atas tindakan KDRT, setelah dia memukuli saya hingga saya mengalami Cedera Otak Ringan (COR). Dia sempat masuk ke sel tahanan dan ketika dia keluar, kami memutuskan untuk bercerai. Dia membawa ketiga anak laki-laki saya dan saya selalu dihalangi untuk bertemu dengan mereka. Saya dekat dengan anak-anak saya, mereka juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari suami saya yang juga ayah kandung mereka (dicaci-maki, dibentak, ditampar, dipukul, dianiaya ketika sakit). Namun setalah lama tidak bertemu, tiba-tiba anak-anak saya berubah dan mereka membenci saya, bahkan anak pertama saya melaporkan saya atas tindak KDRT karena saya ingin mengambil anak ketiga yang masih berusia 3 tahun. Saat mediasi di kantor Polisi, anak saya mengatakan akan mencabut laporannya dengan syarat saya harus menyerahkan hak asuh anak ketiga pada mantan suami saya/ayahnya. Padahal berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama, hak asuh anak ketiga yang berusia 3 tahun jatuh ke tangan saya. Saya tidak sepakat jika harus menyerahkan pengasuhan anak  pada mantan suami karena khawatir dengan pengaruh buruk lingkungannya. Kini saya pasrah, anak saya tetap akan melanjutkan laporanya. Kalaupun nanti saya masuk sel tahanan, saya terima dengan ikhlas karena saya paham bahwa itu bukan kemauan anak saya sendiri melainkan suruhan mantan suami. Saya akan tetap menyayangi anak-anak saya, merindukan mereka dan mendo`akan yang terbaik untuk mereka.”( Ilustrasi Suara korban KDRT )

Read more...