Tuesday, June 3, 2025

Keadilan Reproduksi Perempuan: Terhambat oleh Politik Anggaran yang Maskulin

0 comments

 

Belum banyak terobosan yang dihasilkan dalam perlindungan korban sesuai harapan publik. Kabinet Merah Putih yang terdiri dari 48 kementerian, lima lembaga negara, dan berbagai staf khusus ini diharuskan menciptakan struktur organisasi yang fokus, ramping, dan lincah sehingga dapat menghasilkan kinerja yang efektif di tengah kebijakan efisiensi anggaran maskulin yang cenderung lebih menekankan pada pengurangan biaya dan penghematan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap pemenuhan hak dasar masyarakat.

Masyarakat mungkin membayangkan dalam waktu kurang dari satu tahun ke depan dapat menikmati layanan administrasi kelahiran, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, bantuan sosial, kematian, dan lainnya dengan mudah dan terjangkau. Namun, melihat situasi Indonesia belakangan ini, bayangan itu terasa gelap gulita, terutama setelah menyaksikan retorika presiden yang merespons isu-isu strategis dan populis tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna dalam merancang kebijakan hukum nasional.

Kebijakan efisiensi anggaran berdampak pada kerja pendampingan perempuan korban kekerasan. Pada 12 Februari 2025, Koran Jawa Pos mempublikasikan 10 kementerian/lembaga dengan pemangkasan terbesar, salah satunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengalami pemangkasan sebesar 62,85%, dari total anggaran Rp 229,91 miliar menjadi Rp 122,22 miliar pada 2025. Saya membayangkan, anggaran yang seharusnya dapat dioptimalkan selama setahun, hanya bisa dimanfaatkan selama enam bulan. Lalu, bagaimana semangat keterpaduan layanan bisa terwujud jika tidak sebanding dengan dukungan politik anggaran?

Lima bulan pemerintahan maskulin Prabowo Subianto yang dimulai sejak 20 Oktober 2024 gagal menunjukkan sisi krusial dalam isu perlindungan. Politik anggaran oleh playmakers seringkali dimanfaatkan secara tidak seimbang. Alih-alih untuk memperkuat partisipasi masyarakat, faktanya realisasi anggaran di level Organisasi Perangkat Daerah (OPD) banyak digunakan untuk memberi pagu anggaran yang mengakomodasi kepentingan “alat negara”. Hal ini saya temukan dalam dokumen rencana Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 13 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025, yang menunjukkan bahwa mayoritas OPD lebih memprioritaskan untuk mengalokasikan anggaran bagi Aparat Penegak Hukum untuk  melakukan pendampingan program OPD.

                Politik anggaran yang tersedia seringkali tidak menjawab permasalahan sistemik yang mencerminkan kebutuhan korban. Sementara pendamping korban masih harus tertatih bekerja untuk kepentingan kelompok rentan dan marginal. Di Kabupaten Jombang Lembaga layanan berbasis masyarakat harus bertahan dalam keterbatasan finansial melunasi kontrakan untuk basecamp layanan dan rumah aman, membayar biaya pendaftaran korban secara mandiri untuk melanjutkan pengobatan difasilitas kesehatan, melakukan dukungan psikososial bagi korban dan orang dengan disabilitas tanpa dukungan finansial pemerintah. Sistem kesehatan dan perlindungan korban yang sakit semacam ini tentu saja menambah beban negara yang menjadikan Indonesia semakin gelap gulita.

 Pasal 41 UU TPKS mewajibkan lembaga penyedia layanan pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keamanan korban sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Pasal 26 UU TPKS juga mengisyaratkan layanan "banyak pintu", yang menjadi peluang sekaligus tantangan dalam mengintegrasikan layanan terpadu melalui pendekatan sistem. Makna "terpadu" berarti menggabungkan elemen-elemen terpisah untuk menciptakan keseluruhan yang harmonis dan saling terkait.

Dalam konteks perlindungan korban, "terpadu" harus diartikan sebagai keterhubungan antar sistem layanan, bukan hanya satu sistem. Persepsi tentang makna terpadu dari perspektif UPTD PPA harus diselaraskan dengan pandangan tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping lembaga layanan masyarakat, serta satuan pendidikan dan perguruan tinggi. Masyarakat, khususnya korban kekerasan, sudah lelah dihadapkan pada kebijakan yang egosentris dan minim partisipasi, serta terbelenggu oleh stigma dan konflik moral dalam budaya. Para korban juga semakin terhimpit oleh struktur pelaksana kebijakan yang tidak lagi memprioritaskan transformasi pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi untuk memutus akar persoalan diskriminasi hak dan ketidakadilan reproduksi yang dihadapi perempuan.

Kebijakan efisiensi anggaran justru memperburuk kondisi korban kekerasan, membatasi layanan, dan menciptakan ketimpangan distribusi anggaran yang lebih mengakomodasi kepentingan aparat negara daripada kebutuhan korban. Untuk mewujudkan struktur organisasi yang fokus dan lincah, pemerintah harus mengintegrasikan sistem layanan sesuai mandat UU TPKS. Ini mencakup pembentukan PPT berbasis rumah sakit di pusat dan daerah, peningkatan kapasitas tenaga layanan dan APH mengenai isu HKSR berbasis gender, HAM, SOGIESC, disabilitas, HIV/AIDS, dan inklusivitas, serta memasukkan standar layanan kesehatan korban dalam peraturan Menteri. Selain itu, perlu ada mekanisme pemantauan yang transparan dan akuntabel, serta revisi Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2025 yang membatasi akses keadilan reproduksi bagi perempuan, khususnya layanan aborsi aman. Efisiensi anggaran harus didasarkan pada upaya mengatasi dampak tindak pidana, dengan politik anggaran yang efektif untuk mendukung kebijakan pembiayaan jaminan kesehatan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual, trafficking dan perkosaan.


0 comments:

Post a Comment