Provinsi Jawa Timur tercatat menduduki peringkat
pertama jumlah kasus korupsi di Indonesia, hingga 5 Desember 2024 Komisi Pemberatasan
Korupsi mencatat ada sebanyak 156 Kasus
korupsi yang terjadi di Jawa Timur. Fakta ini mengundang pertanyaan penting:
mengapa justru Jawa Timur, bukan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang
menempati posisi teratas? Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menengok
kembali dasar hukum dan mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Kasus tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Penanganannya melibatkan lembaga khusus bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Kejaksaan dan Kepolisian.
Dalam praktik peradilan, hakim kerap menggunakan Pasal
2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 2 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara dapat dipidana minimal 4
tahun penjara. Artinya, siapa pun, sekalipun bukan pegawai negeri, dapat
dijerat dengan pasal ini. Sedangkan Pasal 3 mengatur tindak pidana korupsi
berupa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau pemegang jabatan dengan
ancaman minimal 1 tahun penjara.
Ketentuan ini menimbulkan persoalan: hukuman yang
lebih ringan justru diberikan kepada pejabat yang menyalahgunakan
kewenangannya, padahal posisi mereka strategis dan berimplikasi luas. Untuk
itu, hakim sering melakukan elaborasi pasal agar dapat menjatuhkan hukuman yang
lebih proporsional kepada pelaku korupsi.
Dalam definisi undang-undang, pegawai negeri mencakup
setiap orang yang menerima gaji dari negara. Sementara itu, penyalahgunaan
wewenang berarti menggunakan kekuasaan tidak sesuai tujuan yang semestinya.
Korupsi pun tidak hanya diartikan sebagai perbuatan yang secara langsung
merugikan keuangan negara, melainkan juga mencakup tindakan lain, seperti
praktik jual beli jabatan atau penerimaan manfaat yang tidak sah oleh pejabat
negara.
Dengan demikian, korupsi merupakan masalah serius yang
bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak tatanan
pemerintahan. Ketimpangan dalam ancaman hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 seharusnya
menjadi perhatian serius, agar penegakan hukum benar-benar adil dan tidak
memberi celah bagi pejabat untuk lolos dengan hukuman ringan.
Menarik untuk dicatat bahwa tidak semua pasal dalam
UU Tipikor mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara. Beberapa pasal
menekankan perilaku penyelenggara negara, seperti larangan menerima manfaat
tertentu. Contoh nyata adalah insentif pegawai pajak yang dipungut oleh Bupati
untuk kepentingan pribadi, meskipun tidak ada kerugian negara yang jelas.
Korupsi di tingkat desa menjadi salah satu kasus
terbanyak, terutama di provinsi dengan jumlah desa yang banyak seperti Jawa
Timur. Selain itu, korupsi dalam perbankan dan dana bergulir juga sering
terjadi, terutama di kalangan masyarakat miskin yang paling dirugikan dalam
praktik korupsi ini.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di
Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Audit BPK menjadi satu-satunya hasil
audit yang tidak bisa dikesampingkan oleh hakim. KPK dan Kejaksaan memiliki
fokus yang berbeda, di mana KPK lebih menekankan perilaku penyelenggara negara,
sedangkan Kejaksaan lebih pada kerugian keuangan negara. Namun, banyak putusan
Tipikor yang tidak dieksekusi, menimbulkan persepsi buruk di masyarakat.
Sanksi dalam UU Tipikor mencakup pidana pokok, denda,
dan pidana tambahan seperti uang pengganti dan pembatasan hak politik. Pidana
korporasi juga dapat dikenakan, termasuk pencabutan izin usaha. Hal ini
menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi tidak hanya berfokus pada
individu, tetapi juga pada entitas korporasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),
terdapat berbagai bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi. Beberapa di
antaranya adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kerugian negara
atau penyalahgunaan kewenangan, suap dan gratifikasi yang mengganggu integritas
pejabat publik, serta pemaksaan yang dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan,
termasuk paksaan psikis. Selain itu, korporasi juga dapat dijerat dalam perkara
Tipikor, dengan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha. Bahkan, aliran
uang hasil korupsi sering diproses menggunakan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian
Uang) untuk menjerat pelaku.
Korupsi merupakan kejahatan yang merusak asas usaha
bersama dalam perekonomian Indonesia. Negara tidak boleh mengambil keuntungan
dari tindak pidana, sehingga UU Tipikor berfungsi sebagai lex specialis
yang mampu menembus aturan hukum lain demi pemberantasan korupsi. Dengan
demikian, melawan korupsi bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga
memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan untuk menindas masyarakat yang lemah.
Perempuan,
Kekuasaan dan Korupsi
Korupsi bukan hanya sebuah
perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara semata, namun tindakan korupsi
juga dapat diartikan sebuah perbuatan penyalahgunaan wewenang. Korupsi selama
ini sering dipandang sebagai persoalan identik dengan kekuasaan politik,
birokrasi, atau dunia usaha yang kental dengan dominasi kaum laki-laki. Namun,
apabila ditelisik lebih jauh, perempuan juga tidak lepas dari lingkaran
korupsi, baik sebagai korban, pihak yang terdampak, maupun dalam kasus tertentu
sebagai pelaku.
Berdasarkan catatan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2006 hingga 11 Agustus 2025 tercatat
sebanyak 159 perempuan tersangkut masalah korupsi, baik itu terlibat secara
langsung atau tidak langsung. Posisi perempuan dalam lingkaran korupsi
memperlihatkan kompleksitas relasi kuasa, ketidakadilan gender, serta dampaknya
yang meluas pada kehidupan sosial.
Secara data perempuan yang
menjadi pelaku korupsi memang tidak sebanyak laki-laki. Namun, ketika perempuan
terjerat kasus korupsi, dampaknya seringkali menjadi lebih berat. Selain proses
hukum, perempuan seringkali menghadapi stigma yang sangat tajam, karena
masyarakat masih melekatkan stereotipe bahwa perempuan harus memiliki karakter
sabar, menjunjung tinggi nilai kejujuran, tahan dengan materi dan tahan dengan
cobaan, perempuan harus mempunyai moral yang baik.
Keterlibatan perempuan dalam
lingkaran korupsi bisa jadi disebabkan oleh sikap yang tidak kritis dari
perempuan sehingga ikut terjerumus dalam praktik korupsi, dan kelompok
perempuan yang masuk dalam lingkaran kekuasaan sangat rentan untuk ikut
terjerumus. Selain itu hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem kekuasaan yang
masih sangat patriarki. (Ay/Ziya/Moen)

0 comments:
Post a Comment