Wednesday, August 20, 2025

Mengurai Praktik Korupsi :Dari Melawan Hukum Hingga Pencucian Uang dan Implikasinya Terhadap Perempuan

0 comments

 

Provinsi Jawa Timur tercatat menduduki peringkat pertama jumlah kasus korupsi di Indonesia, hingga 5 Desember 2024 Komisi Pemberatasan Korupsi mencatat  ada sebanyak 156 Kasus korupsi yang terjadi di Jawa Timur. Fakta ini mengundang pertanyaan penting: mengapa justru Jawa Timur, bukan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, yang menempati posisi teratas? Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menengok kembali dasar hukum dan mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.


Kasus tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penanganannya melibatkan lembaga khusus bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Kejaksaan dan Kepolisian.


Dalam praktik peradilan, hakim kerap menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 2 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara dapat dipidana minimal 4 tahun penjara. Artinya, siapa pun, sekalipun bukan pegawai negeri, dapat dijerat dengan pasal ini. Sedangkan Pasal 3 mengatur tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau pemegang jabatan dengan ancaman minimal 1 tahun penjara.


Ketentuan ini menimbulkan persoalan: hukuman yang lebih ringan justru diberikan kepada pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya, padahal posisi mereka strategis dan berimplikasi luas. Untuk itu, hakim sering melakukan elaborasi pasal agar dapat menjatuhkan hukuman yang lebih proporsional kepada pelaku korupsi.


Dalam definisi undang-undang, pegawai negeri mencakup setiap orang yang menerima gaji dari negara. Sementara itu, penyalahgunaan wewenang berarti menggunakan kekuasaan tidak sesuai tujuan yang semestinya. Korupsi pun tidak hanya diartikan sebagai perbuatan yang secara langsung merugikan keuangan negara, melainkan juga mencakup tindakan lain, seperti praktik jual beli jabatan atau penerimaan manfaat yang tidak sah oleh pejabat negara.


Dengan demikian, korupsi merupakan masalah serius yang bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak tatanan pemerintahan. Ketimpangan dalam ancaman hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 seharusnya menjadi perhatian serius, agar penegakan hukum benar-benar adil dan tidak memberi celah bagi pejabat untuk lolos dengan hukuman ringan.


Menarik untuk dicatat bahwa tidak semua pasal dalam UU Tipikor mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara. Beberapa pasal menekankan perilaku penyelenggara negara, seperti larangan menerima manfaat tertentu. Contoh nyata adalah insentif pegawai pajak yang dipungut oleh Bupati untuk kepentingan pribadi, meskipun tidak ada kerugian negara yang jelas.


Korupsi di tingkat desa menjadi salah satu kasus terbanyak, terutama di provinsi dengan jumlah desa yang banyak seperti Jawa Timur. Selain itu, korupsi dalam perbankan dan dana bergulir juga sering terjadi, terutama di kalangan masyarakat miskin yang paling dirugikan dalam praktik korupsi ini.


Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Audit BPK menjadi satu-satunya hasil audit yang tidak bisa dikesampingkan oleh hakim. KPK dan Kejaksaan memiliki fokus yang berbeda, di mana KPK lebih menekankan perilaku penyelenggara negara, sedangkan Kejaksaan lebih pada kerugian keuangan negara. Namun, banyak putusan Tipikor yang tidak dieksekusi, menimbulkan persepsi buruk di masyarakat.


Sanksi dalam UU Tipikor mencakup pidana pokok, denda, dan pidana tambahan seperti uang pengganti dan pembatasan hak politik. Pidana korporasi juga dapat dikenakan, termasuk pencabutan izin usaha. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi tidak hanya berfokus pada individu, tetapi juga pada entitas korporasi.


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), terdapat berbagai bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi. Beberapa di antaranya adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kerugian negara atau penyalahgunaan kewenangan, suap dan gratifikasi yang mengganggu integritas pejabat publik, serta pemaksaan yang dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan, termasuk paksaan psikis. Selain itu, korporasi juga dapat dijerat dalam perkara Tipikor, dengan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha. Bahkan, aliran uang hasil korupsi sering diproses menggunakan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) untuk menjerat pelaku.


Korupsi merupakan kejahatan yang merusak asas usaha bersama dalam perekonomian Indonesia. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari tindak pidana, sehingga UU Tipikor berfungsi sebagai lex specialis yang mampu menembus aturan hukum lain demi pemberantasan korupsi. Dengan demikian, melawan korupsi bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan untuk menindas masyarakat yang lemah.

 

Perempuan, Kekuasaan dan Korupsi


Korupsi bukan hanya sebuah perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara semata, namun tindakan korupsi juga dapat diartikan sebuah perbuatan penyalahgunaan wewenang. Korupsi selama ini sering dipandang sebagai persoalan identik dengan kekuasaan politik, birokrasi, atau dunia usaha yang kental dengan dominasi kaum laki-laki. Namun, apabila ditelisik lebih jauh, perempuan juga tidak lepas dari lingkaran korupsi, baik sebagai korban, pihak yang terdampak, maupun dalam kasus tertentu sebagai pelaku.


Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2006 hingga 11 Agustus 2025 tercatat sebanyak 159 perempuan tersangkut masalah korupsi, baik itu terlibat secara langsung atau tidak langsung. Posisi perempuan dalam lingkaran korupsi memperlihatkan kompleksitas relasi kuasa, ketidakadilan gender, serta dampaknya yang meluas pada kehidupan sosial.


Secara data perempuan yang menjadi pelaku korupsi memang tidak sebanyak laki-laki. Namun, ketika perempuan terjerat kasus korupsi, dampaknya seringkali menjadi lebih berat. Selain proses hukum, perempuan seringkali menghadapi stigma yang sangat tajam, karena masyarakat masih melekatkan stereotipe bahwa perempuan harus memiliki karakter sabar, menjunjung tinggi nilai kejujuran, tahan dengan materi dan tahan dengan cobaan, perempuan harus mempunyai moral yang baik.


Keterlibatan perempuan dalam lingkaran korupsi bisa jadi disebabkan oleh sikap yang tidak kritis dari perempuan sehingga ikut terjerumus dalam praktik korupsi, dan kelompok perempuan yang masuk dalam lingkaran kekuasaan sangat rentan untuk ikut terjerumus. Selain itu hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem kekuasaan yang masih sangat patriarki. (Ay/Ziya/Moen)

0 comments:

Post a Comment