Kenapa perempuan, dan selalu perempuan yang menjadi korban ketidak adilan
selama ini? Menurut agama terlebih, padahal tuhan menciptakan mahluk dengan 2
jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
Realita yang terjadi selama ini seolah mengartikan bahwa tuhan berjenis
kelamin laki-laki, banyak pembatasan untuk perempuan mulai dari bagaimana
perempuan berpakaian, perempuan dalam berkreasi, perempuan menyuarakan hak nya,
dan juga perempuan dalam menentukan pilihan. Semua itu dibatasi atas nama aurat
perempuan, kenapa itu hanya untuk perempuan dan tidak berlaku kepada laki-laki?.
Meskipun di dalam al-Qur’an telah dijelaskan dalam (Q. S. Al-Hujurat ; 13)
yang artinya sesungguhnya orang yang paling mulia dihadapan tuhan ialah orang
yang paling bertakwa ”. Kemudian (Q. S. Al-Ahzab ; 35) di dalam ayat tersebut
juga menegaskan kesetaraan, kedudukan hak, dan tanggung jawab manusia laki-laki
dan perempuan dihadapan allah. Akan tetapi keberadaan ayat-ayat yang
menjelaskan tentang kesetaraan tersebut seolah diplintir oleh para pemuka agama
yang notabene adalah laki-laki, dengan mengaburkan keberadaan ayat-ayat
tersebut. Dan kemudian muncul-lah pemaknaan yang hingga saat ini mendarah
daging di masyarakat yakni pola relasi ”istri taat pada suami” dimana segala
tindakan istri harus berdasarkan izin ataupun restu suami. Dengan asumsi agar istri
(perempuan) mudah mendapatkan surga.
Dari pemahaman yang kerdil dan tanpa penjelasan yang konkret itulah
kekerasan terhadap perempuan terus menerus terjadi, kemudian dibarengi dengan
peraturan negara yang memposisikan perempuan dalam ranah domistik saja yakni
ibu rumah tangga dimana secara ruang gerak tidak sebebas suami (laki-laki) sedangkan
suami (laki-laki) sebagai pencari nafkah yang mana merupakan ranah publik
sehingga ruang geraknya lebih luas. Hal itu terus menerus terjadi dengan asumsi
tujuannya untuk memulyakan perempuan. Padahal didalam agama sebenarnya tidak
seperti itu, memulyakan perempuan bukan berarti membatasi ruang gerak perempuan
akan tetapi lebih menghargai hak-hak perempuan.
Maka dari itu jika budaya itu seperti itu terus menerus dipercaya dengan
dalih agama, akan sangat disayangkan karena nasib perempuan hanya akan
diposisikan sebagai koncowingkingking dan kekerasan terhadap perempuan akan
terus terjadi, seakan tuhan itu berjenis kelamin laki-laki karena dalam
kehidupan sehari-hari hanya perempuan yang dieksploitasi haknya atas nama agama. Sedangkan
laki-laki bisa melakukan apa saja tanpa ada pembatasan dari agama dan budaya. (Em/WCC
Jombang)