Orangtua
pasti memiliki harapan-harapan terhadap anak-anaknya. Sejak kanak-kanak
berusaha memberikan yang terbaik, menginjak remaja berupaya mencarikan
pendidikan yang tepat sebagai bekal masa dewasa. Namun dalam beberapa kondisi
banyak remaja yang merasa memiliki relasi yang tidak baik dengan orangtua. Hal
ini berdampak pada pemilihan teman pergaulan. Seperti kasus yang menimpa remaja
berusia 16 tahun yang didampingi WCC, sebut saja nama Jingga (nama samaran).
Bersahabat baik dengan dua sahabatnya (Vindi dan Vira). Jingga dikenalkan Vindi
kepada teman dari kekasihnya (Ega) yang pada akhirnya emereka berpacaran. Tidak
lama berpacaran, pasangan remaja ini membuat janji untuk bertemu hingga pada
akhirnya terjadi hubungan seksual. Berbagai cara dilakukan untuk menggagalkan
keinginan Ega, namun dengan kekuatan fisik yang tidak sekuat yang dimiliki
laki-laki, Jingga tidak berdaya.
Setelah
mengetahui kejadian tersebut, spontan ibu Jingga marah. Hal ini semakin membuat
Jingga merasa bersalah dan ingin meninggalkan rumah. Ibu Jingga berusaha keras
untuk mencoba mencari perlindungan untuk anaknya. Hingga akhirnya Ibu Jingga
membawa Jingga ke WCC. Dengan segera upaya yang dilakukan adalah konseling
korban (Jingga) dengan mendengarkan dan mengamati pernyataan verbal maupun non
verbalnya. Dengan mengetahui kronologi kejadian dan kondisi korban, tim
pendampingan WCC Jombang (konselor) memberikan informasi dan penguatan secara
psikologis bagi korban. Ibu korban menginginkan adanya proses hukum untuk penyelesaian
masalah anaknya. Maka tim WCC melakukan pendampingan korban ke UPPA Polres
Jombang untuk melakukan pelaporan dan BAP (Berita Acara Pidana).
Beberapa
kali korban dan orangtua diminta keterangan oleh tim penyidik. Menjadi masa
sulit bagi Jingga ketika sahabat-sahabatnya memberi keterangan yang seolah
tidak memahami kondisi Jingga dalam kesaksian. Menyalahkan Jingga bahkan di
sekolah mulai menjaga jarak dan tidak ada tegur sapa. Dan semakin menjadi sulit
ketika kasus Jingga sampai terdengar oleh pihak sekolah. Beberapa guru memberi
support kepada Jingga namun juga terdapat guru yang menyalahkan Jingga.
Ketika
ada kesempatan bertemu antara tim pendampingan WCC (konselor) dengan korban
(Jingga) maka konselor berusaha mengggali informasi dan mencoba memahami
kondisi dan perasaan korban. Dengan informasi yang didapat, konselor berusaha
memberikan dukungan/ penguatan agar berani dan bersikap asertif kepada guru
serta teman-temannya. Konselor bersama dengan Ibu korban memahamkan bagaimana
pengaruh teman bergaul, menguatkan agar korban tidak berfokus pada masalah,
namun sekarang yang bisa dilakukan adalah tetap menyibukkan diri dengan hal-hal
positif.
Sampai
saat ini, proses hukum sedang berjalan. Banyak intervensi yang diberikan oleh
tim penyidik kepada Jingga dan ibunya. Pertanyaan dan pernyataan yang tidak
memihak kepada korban sering membuat kecewa Jingga dan Ibunya. Namun apapun
itu, Ibu korban sangat siap dan lantang membela hak anaknya. Karena pelaku
masih anak-anak (menurut UU PA nomor 23 tahun 2002) maka tim WCC memahamkan
adanya restorative justice (pemberian
hukuman 2/3 dari putusan pidana)untuk pelaku anak.
Dengan
latar belakang relasi orangtua dan anak yang memang diakui kurang baik, hal ini
juga menjadi introspeksi bagi orangtua dan anak untuk lebih menjaga pola
komunikasi antara mereka. Kasus yang menimpa Jingga pada akhirnya menjadi
pengalaman berharga bagi Jingga, keluarga dan bagi kita tim pendampingan WCC
Jombang. Berharap tidak terjadi bagi remaja dan para orangtua yang lain.