Sunday, December 9, 2018

KOTA SANTRI MENDORONG DISAHKANNYA RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL


Predikat kota santri yang disandang oleh Kabupaten Jombang nyatanya tidak serta merta membuat penduduk kota ini menyadari tentang bagiamana menghargai sesama. Terlebih menghargai  serta memanusiakan manusia, khususnya perempuan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun. Catatan WCC Jombang dalam kurun waktu tahun 2015 hingga Oktober 2018, ada 250 perempuan yang ada di Jombang mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan ibarat gunung es, dimana hanya puncaknya saja yang terlihat sementara dasar dari gunung yang justru lebih besar tidak Nampak. Ini artinya masih banyak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih belum terlaporkan dengan berbagai alasan.
Dari 250 kasus kekerasan terhadap perempuan  yang terjadi di Jombang ini didominasi oleh kekerasan seksual dengan prosentase 61,6%. Kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak perempuan dari usia PAUD sampai SLTA serta perempuan dewasa. Mirisnya lagi 12% jumlah pelaku justru berada pada tempat yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak yaitu sekolah. Angka-angka ini semakin membuktikan bagaimana tidak amannya kota ini dari tahun ke tahun-tahun bagi perempuan disegala lini.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan korban membawa berbagai dampak bagi kehidupan korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Membincang masalah dampak, tidak hanya berhenti pada luka-luka, hamil, atau seperti yang sering kita temui semata. Pasalnya dampak-dampak yang dialami oleh korban menyerang berbagai sisi dari kehidupan korban. Baik secara fisik, psikis, seksual, social, maupun ekonomi. Tidak jarang pula dampak yang dialami oleh korban juga harus ditanggung oleh keluarga dari perempuan korban. Dimana kondisi ini justru akan semakin memperburuk kesehatan psikis korban.
Temuan WCC Jombang pada tahun 2017 berbagai dampak dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual. Diantaranya adalah dampak terhadap alat reproduksi atau dampak seksual (67,74%).   Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan anak korban kekerasan seksual, namun juga pada perempuan dewasa yang sudah menikah, . Dampak-dampak yang muncul adalah kehamilan yang tidak diinginkan bagi perempuan yang masih berusia anak, pernikahan paksa,  resiko kematian dalam melahirkan karena masih pada usia yang belum siap secara keseluruhan untuk hamil. Tidak hanya itu akses untuk memperoleh kesehatan bagi perempuan anak korban kekerasan seksual yang dirasa sulit. Dalam beberapa korban akan memilih menggunakan jasa bidan delima dari pada bidan yang disediadakan oleh desa karena proses admnistrasi yang dianggap sulit jika menggunakan fasilitas pemerintah.
Dampak berikutnya yang butuh proses dan waktu yang cukup panjang baik dalam pengamatan maupun pemulihan adalah dampak Psikis. Dimana  dampak ini tidak bisa dilihat secara langsung, melainkan harus ada pengamatan terlebih dahulu terkait, tingkah laku dan emosi yang dimunculkan setelah perempuan mengalami kekerasan. WCC Jombang mencatat sebanyak 91,93% perempuan korban kekerasan mengalami dampak psikis. Dalam hal ini temuan dilapangan dampak psikis yang muncul diantaranya adalah insomnia, perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, menjadi pribadi yang agresif secara verbal, rendah diri, menutup diri, menjadi pribadi yang pemalu, penakut, underestimate, motivasi diri yang rendah, serta menjadikan korban bergantung pada orang-orang yang disekitar. Sementara  pada perempuan dewasa yang mengalami marital rape membuat mereka sangat rendah diri.
Dampak Sosial (48,38%), menjadi dampak selanjutnya dimana dampak ini adalah dampak yang tidak hanya dialami oleh korban saja, melaikan juga keluarga korban. Misalnya disalahkan oleh masyarakat, pelabelan negatif, digunjing, dikucilkan, tidak diperbolehkan berbuhubungan dengan dunia luar oleh keluarga, terpisah dari keluarga (dipanti), pindah paksa sekolah, atau bahkan beberapa diminta untuk mengundurkan diri, bahkan keluarga harus pindah rumah manakala pelaku dan korban berada dalam satu wilayah desa.
Fakta-fakta diatas menjadi bukti yang sangat kuat bagaimana kondisi perempuan korban kekerasan seksual yang ada di Jombang. Jika ditarik lebih luas lagi masih banyak perempuan di negeri ini yang bernasib tidak jauh dengan perempuan korban yang ada di Jombang. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan 2.979 perempuan mengalami kekerasan seksual. Hal ini menjadi kekerasan tertinggi kedua yang dialami oleh perempuan di ranah privat. Sementara itu pada ranah publik/komunitas kekerasan seksual menjadi primadona kekerasan terhadap perempuan (2.670).
Adanya kondisi ini sudah sepatutnya membuat kita semua gelisah, membuat kita harus segera bangun dan membawa perubahan bagi kondisi ini. Hadirnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) setidaknya membawa aroma angin segar bagi perempuan korban kekerasan seksual. Berbagai kebutuhan korban mulai dari penanganan sampai pada pemulihan bagi korban dimana selama ini masih minim untuk diakomodir, nah adanya UU ini menjadi salah satu solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut. Termasuk didalam salah satu pasal dalam UU ini menegaskan  adanya ganti rugi yang harus diberikan oleh pelaku pada korban serta masih banyak lagi hal-hal yang menyangkut kebutuhan dan hak-hak korban yang ditegaskan dalam RUUPKS ini.
Pertanyaannya adalah kapan RUUPKS ini menjadi aroma angin segar yang nyata bagi perempuan korban kekerasan seksual???  Pasalnya kita semua mengetahui bahwa tahun 2016 RUUPKS ini menjadi salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Namun faktanya sampai detik ini RUUPKS ini masih menjadi RUU, belum menjadi UU yang benar-benar melindungi dan mengakomodir kebutuhan perempuan korban kekerasan seksual. Ini artinya negara kita masih belum mampu mewujudkan perlindungan bagi semua masayarakat Indonesia, terutama perempuan. Ketika RUU ini tidak segera disahkan maka secara tidak langsung negara dalam hal ini pemerintah ikut melanggengkan kekerasan seksual.
Kita hanya perlu ingat bahwa teman perempuan kita, saudara perempuan kita, adik perempuan kita, ibu kita, istri kita atau bahkan kamu sendiri bisa menjadi korban dari kekerasan seksual. Mari gerak bersama mendorong DPR RI segera mengesahkan RUUPKS ini sebagai perwujudan bahwa negara memang hadir dan melindungi korban.


By Novita Novelis