Wednesday, March 21, 2018

BEBAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN


Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat. Tidak hanya pada perempuan dewasa namun juga pada anak-anak. Mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam hal ini baik Kekerasan Terhadap Istri (KTI) maupun Kekerasan Terhadap Anak (KTA) secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran. Sementara pada anak, dimana dalam hal ini yang dimaksud anak adalah mereka yang berada pada rentang usia 0-18 tahun, kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat menjadi hantu tersendiri yang mengusik ketenangan mereka dalam menjalankan fase anak dan remaja. Dimana dalam fase-fase tersebut mereka punya tanggung jawab berupa tugas perkembangan yang menuntut adanya peran orangtua dan sekitar.
Sepanjang tahun 2017 Women’s Crisis Center Jombang mencatat sebanyak 62 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kabupaten Jombang. Dari jumlah tersebut sebanyak 19 kasus adalah KDRT sementara sisanya sebanyak 43 kasus yang terbagi dalam 37 kekerasan seksual pada perempuan anak serta 6 kasus perempuan dewasa. Munculnya angka ini sudah seharusnya menjadikan kita ikut prihatin serta mau turut serta dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan. Angka kekerasan terhadap perempuan yang muncul diatas, tidak lantas selesai begitu saja, namun masih ada hal-hal yang harus menjadi tanggung jawab dari semua kalangan, baik pemerintah beserta jajarannya, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta masyarakat sendiri untuk terlibat aktif dalam proses maupun dampak yang dialami perempuan korban kekerasan. Hal-hal yang dimaksud disini misalnya proses hukum, keberlanjutan pendidikan bagi korban yang masih berstatus anak, pemberdayaan untuk perekonomian, karena tidak sedikit  perempuan korban kekerasan dalam hal ini KDRT yang bergantung secara finansial pada suami yang notabene adalah pelaku.
   Kasus- kasus yang dialami oleh perempuan korban membawa dampak bagi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Membincang masalah dampak misalnya, tidak hanya berhenti pada luka-luka, hamil, atau seperti yang sering kita temui semata. Pasalnya dampak-dampak yang dialami oleh korban menyerang berbagai sisi dari kehidupan korban. Baik secara fisik, psikis, seksual, social, maupun ekonomi. Tidak jarang pula dampak tersebut juga harus ditanggung oleh keluarga dari perempuan korban. Dimana kondisi ini justru akan semakin memperburuk kesehatan psikis korban. Jika diklasifikasikan ada beberapa dampak yang dialami oleh perempuan korban kekerasan.  
Berdasarkan jangka waktunya dampak terbagi menjadi 2 kategori yaitu Dampak Jangka Pendek (Immediate Impact) merupakan dampak yang dirasakan untuk jangka waktu yang sebentar. Bisa beberapa jam atau beberapa hari. Contohnya adalah luka-luka fisik, marah, jengkel, keguguran, dll. Sementara selanjutnya adalah Dampak Jangka Panjang (Long Term Impact) Yaitu dampak yang dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Bisa beberapa beberapa bulan, tahunan, atau bahkan seumur hidup.  Contohnya adalah Cacat fisik, gangguan jiwa, PMS, gangguan syaraf.
Sementara itu jika kita pilah berdasarkan jenis kekerasan itu sendiri misalnya, baik KDRT maupun kekerasan seksual, maka akan semakin banyak hal yang harus ditanggung oleh perempuan korban kekerasan. Mulai dampak fisik yaitu dampak yang dapat dilihat secara nyata adanya perbedaan yang muncul setelah perempuan mengalami kekerasan. Dalam hal ini WCC Jombang mencatat 9, 67% yang mengalami dampak fisik berupa luka-luka, cedera, lebam-lebam, cacat dll.
Dampak berikutnya yang butuh proses dan waktu yang cukup panjang adalah dampak Psikis. Dimana  dampak ini tidak bisa dilihat secara langsung, melainkan harus ada pengamatan terlebih dahulu terkait, tingkah laku dan emosi yang dimunculkan setelah perempuan mengalami kekerasan. WCC Jombang mencatat sebnayak 91,93% perempuan korban kekerasan mengalami dampak psikis. Dalam hal ini temuan dilapangan dampak psikis yang muncul diantaranya adalah insomnia, perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, menjadi pribadi yang agresif secara verbal, rendah diri, menutup diri, menjadi pribadi yang pemalu, penakut, underestimate, motivasi diri yang rendah, serta menjadikan korban bergantung pada orang-orang yang disekitar. Sementara  pada perempuan dewasa yang mengalami marital rape membuat mereka sangat rendah diri.
Dampak selanjutnya yaitu dampak terhadap alat reproduksi atau dampak seksual (67,74%).   Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan anak korban kekerasan seksual, namun juga pada perempuan dewasa yang sudah menikah, . Dampak-dampak yang muncul adalah kehamilan yang tidak diinginkan bagi perempuan yang masih berusia anak, pernikahan paksa,  resiko kematian dalam melahirkan karena masih pada usia yang belum siap secara keseluruhan untuk hamil. Tidak hanya itu akses untuk memperoleh kesehatan bagi perempuan anak korban kekerasan seksual yang dirasa sulit. Dalam beberapa korban akan memilih menggunakan jasa bidan delima dari pada bidan yang disediadakan oleh desa karena proses admnistrasi yang dianggap sulit jika menggunakan fasilitas pemerintah.
Dampak Sosial (48,38%), menjadi dampak selanjutnya dimana dampak ini adalah dampak yang tidak hanya dialami oleh korban saja, melaikan juga keluarga korban. Misalnya disalahkan oleh masyarakat, pelabelan negatif, digunjing, dikucilkan, tidak diperbolehkan berbuhubungan dengan dunia lua oleh keluarga, terpisah dari keluarga (dipanti), pindah paksa sekolah, atau bahkan beberapa diminta untuk mengundurkan diri, bahkan keluarga harus pindah rumah manakala pelaku dan korban berada dalam satu wilayah desa.
Dampak yang tidak kalah penting adalah dampak ekonomi (14,51%). Merupakan dampak yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup (materi). Contohnya adalah tidak ada penghasilan, kehilangan pekerjaan, serta kurang terpenuhinya kebutuhan.
Dampak-dampak yang muncul dari kekerasan yang dialami oleh korban ini menuntut adanya penanganan khusus. Jika dampak ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti menjadi cikal bakal munculnya kekerasan baru yang dialami oleh korban atau berkebalikan yaitu korban kekerasan berkemungkinan menjadi pelaku kekerasan. Dalam social learning theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta factor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Jika merujuk pada teori ini apa yang dialami korban, bagaimana sosial memandang korban itu sendiri, serta pola pikir dari korban yang mana selama ini pola pikir juga berkaitan dengan pola asuh, pendidikan, atau lingkungan sosialnya sendiri ikut berkontribusi dalam menyumbang pada kognitifnya.  Ketika ditelisir apa yang dialami korban dan bagaimana pola pikirnya serta masyarakat yang tidak mendukung korban dalam artian memberikan pelabelan, ataupun mengucilkan korban maka sangat dimungkinkan bahwa korban akan menjadi pelaku.
Tugas kita bersama saat ini adalah mau mengambil peran sebagai apa ketika harus berhadapan atau melihat kekerasan terhadap perempuan ada di depan kita? Akan kah kita biarkan sampai muncul disuatu saat nanti korban tersebut menjadi korban lagi atau justru muncul dalam wajah pelaku?



By : Novita Novelis