Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat. Tidak
hanya pada perempuan dewasa namun juga pada anak-anak. Mulai dari Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam hal ini baik Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
maupun Kekerasan Terhadap Anak (KTA) secara fisik, psikis, seksual, maupun
penelantaran. Sementara pada anak, dimana dalam hal ini yang dimaksud anak
adalah mereka yang berada pada rentang usia 0-18 tahun, kekerasan seksual yang
dilakukan oleh orang-orang terdekat menjadi hantu tersendiri yang mengusik
ketenangan mereka dalam menjalankan fase anak dan remaja. Dimana dalam
fase-fase tersebut mereka punya tanggung jawab berupa tugas perkembangan yang
menuntut adanya peran orangtua dan sekitar.
Sepanjang tahun 2017 Women’s Crisis Center Jombang mencatat
sebanyak 62 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Kabupaten Jombang. Dari
jumlah tersebut sebanyak 19 kasus adalah KDRT sementara sisanya sebanyak 43
kasus yang terbagi dalam 37 kekerasan seksual pada perempuan anak serta 6 kasus
perempuan dewasa. Munculnya angka ini sudah seharusnya menjadikan kita ikut
prihatin serta mau turut serta dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan. Angka
kekerasan terhadap perempuan yang muncul diatas, tidak lantas selesai begitu
saja, namun masih ada hal-hal yang harus menjadi tanggung jawab dari semua
kalangan, baik pemerintah beserta jajarannya, tokoh masyarakat, tokoh agama,
serta masyarakat sendiri untuk terlibat aktif dalam proses maupun dampak yang
dialami perempuan korban kekerasan. Hal-hal yang dimaksud disini misalnya
proses hukum, keberlanjutan pendidikan bagi korban yang masih berstatus anak, pemberdayaan
untuk perekonomian, karena tidak sedikit
perempuan korban kekerasan dalam hal ini KDRT yang bergantung secara
finansial pada suami yang notabene adalah pelaku.
Kasus- kasus yang dialami oleh perempuan
korban membawa dampak bagi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Membincang
masalah dampak misalnya, tidak hanya berhenti pada luka-luka, hamil, atau seperti
yang sering kita temui semata. Pasalnya dampak-dampak yang dialami oleh korban
menyerang berbagai sisi dari kehidupan korban. Baik secara fisik, psikis,
seksual, social, maupun ekonomi. Tidak jarang pula dampak tersebut juga harus
ditanggung oleh keluarga dari perempuan korban. Dimana kondisi ini justru akan
semakin memperburuk kesehatan psikis korban. Jika diklasifikasikan ada beberapa
dampak yang dialami oleh perempuan korban kekerasan.
Berdasarkan jangka waktunya dampak terbagi menjadi 2 kategori yaitu
Dampak Jangka Pendek (Immediate Impact) merupakan dampak yang dirasakan
untuk jangka waktu yang sebentar. Bisa beberapa jam atau beberapa hari.
Contohnya adalah luka-luka fisik, marah, jengkel, keguguran, dll. Sementara
selanjutnya adalah Dampak Jangka Panjang (Long Term Impact) Yaitu dampak
yang dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Bisa beberapa beberapa bulan,
tahunan, atau bahkan seumur hidup.
Contohnya adalah Cacat fisik, gangguan jiwa, PMS, gangguan syaraf.
Sementara itu jika kita pilah berdasarkan jenis kekerasan itu
sendiri misalnya, baik KDRT maupun kekerasan seksual, maka akan semakin banyak
hal yang harus ditanggung oleh perempuan korban kekerasan. Mulai dampak fisik yaitu
dampak yang dapat dilihat secara nyata adanya perbedaan yang muncul setelah
perempuan mengalami kekerasan. Dalam hal ini WCC Jombang mencatat 9, 67% yang
mengalami dampak fisik berupa luka-luka, cedera, lebam-lebam, cacat dll.
Dampak berikutnya yang butuh proses dan waktu yang cukup panjang
adalah dampak Psikis. Dimana dampak ini
tidak bisa dilihat secara langsung, melainkan harus ada pengamatan terlebih
dahulu terkait, tingkah laku dan emosi yang dimunculkan setelah perempuan
mengalami kekerasan. WCC Jombang mencatat sebnayak 91,93% perempuan korban
kekerasan mengalami dampak psikis. Dalam hal ini temuan dilapangan dampak
psikis yang muncul diantaranya adalah insomnia, perasaan bersalah dan
menyalahkan diri sendiri, menjadi pribadi yang agresif secara verbal, rendah
diri, menutup diri, menjadi pribadi yang pemalu, penakut, underestimate,
motivasi diri yang rendah, serta menjadikan korban bergantung pada orang-orang
yang disekitar. Sementara pada perempuan
dewasa yang mengalami marital rape membuat mereka sangat rendah diri.
Dampak selanjutnya yaitu dampak terhadap alat reproduksi atau dampak
seksual (67,74%). Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan
anak korban kekerasan seksual, namun juga pada perempuan dewasa yang sudah
menikah, . Dampak-dampak yang muncul adalah kehamilan yang tidak diinginkan
bagi perempuan yang masih berusia anak, pernikahan paksa, resiko kematian dalam melahirkan karena masih
pada usia yang belum siap secara keseluruhan untuk hamil. Tidak hanya itu akses
untuk memperoleh kesehatan bagi perempuan anak korban kekerasan seksual yang
dirasa sulit. Dalam beberapa korban akan memilih menggunakan jasa bidan delima
dari pada bidan yang disediadakan oleh desa karena proses admnistrasi yang
dianggap sulit jika menggunakan fasilitas pemerintah.
Dampak Sosial (48,38%), menjadi dampak selanjutnya dimana dampak
ini adalah dampak yang tidak hanya dialami oleh korban saja, melaikan juga
keluarga korban. Misalnya disalahkan oleh masyarakat, pelabelan negatif, digunjing,
dikucilkan, tidak diperbolehkan berbuhubungan dengan dunia lua oleh keluarga,
terpisah dari keluarga (dipanti), pindah paksa sekolah, atau bahkan beberapa
diminta untuk mengundurkan diri, bahkan keluarga harus pindah rumah manakala
pelaku dan korban berada dalam satu wilayah desa.
Dampak yang tidak kalah penting adalah dampak ekonomi (14,51%). Merupakan
dampak yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup (materi). Contohnya
adalah tidak ada penghasilan, kehilangan pekerjaan, serta kurang terpenuhinya
kebutuhan.
Dampak-dampak yang muncul dari
kekerasan yang dialami oleh korban ini menuntut adanya penanganan khusus. Jika
dampak ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti
menjadi cikal bakal munculnya kekerasan baru yang dialami oleh korban atau
berkebalikan yaitu korban kekerasan berkemungkinan menjadi pelaku kekerasan.
Dalam social learning theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura menyatakan
bahwa faktor sosial dan kognitif serta factor pelaku memainkan peran penting
dalam pembelajaran. Jika merujuk pada teori ini apa yang dialami korban,
bagaimana sosial memandang korban itu sendiri, serta pola pikir dari korban
yang mana selama ini pola pikir juga berkaitan dengan pola asuh, pendidikan,
atau lingkungan sosialnya sendiri ikut berkontribusi dalam menyumbang pada
kognitifnya. Ketika ditelisir apa yang
dialami korban dan bagaimana pola pikirnya serta masyarakat yang tidak
mendukung korban dalam artian memberikan pelabelan, ataupun mengucilkan korban
maka sangat dimungkinkan bahwa korban akan menjadi pelaku.
Tugas kita bersama saat ini adalah mau mengambil peran sebagai apa
ketika harus berhadapan atau melihat kekerasan terhadap perempuan ada di depan
kita? Akan kah kita biarkan sampai muncul disuatu saat nanti korban tersebut
menjadi korban lagi atau justru muncul dalam wajah pelaku?
By : Novita Novelis