Tuesday, February 15, 2022

Launching Catatan Tahunan Wcc Jombang 2021: Stop Impunitas Bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Sepanjang tahun 2021, WCC Jombang menerima 83 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari 83 kasus kekerasan Terhadap Perempuan yang ditangani WCC Jombang sebanyak 41 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 6 Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 39 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan pelaku adalah suami dan 2 kasus pelaku adalah ayah. Selanjutnya 41 kasus merupakan kekerasan seksual. Terdiri dari 14 Kasus Perkosaan, 12 kasus pelecehan seksual dan 12 kasus kekerasan dalam pacaran, 2 kasus incest dan 1 kasus trafficking dan 1 kasus pidana umum.


Berbagai tantangan dalam proses penanganan kasus perempuan. Mulai pada tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan. Dari 41 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang sebanyak 17 kasus berujung pada perceraian. 35 korban mengalami kekerasan psikis, 39 korban mengalami penelantaran, 4 korban mengalami marital rape, serta 21 korban mengalami kekerasan fisik. Sepanjang 2021 terdapat 3 kasus KDRT yang masuk ke ranah pidana namun hanya 2 kasus yang selesai pada proses putusan, sementara 1 kasus harus berhenti karena keterbatasan bukti. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa. Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggungjawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali pada kasus penelantaran, korban akan memilih jalur perdata (cerai gugat). Pilihan ini justru mengabaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, beberapa permasalahan pasca putusan cerai seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa bantuan mantan suami.


Sebanding dengan perempuan korban KDRT beragam tantangan juga dihadapi oleh 41 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Diantaranya 9 kasus masih dalam proses penanganan, 18 kasus sudah putusan pengadilan. 3 kasus proses hukum tidak berlanjut karena diselesaikan diluar proses hukum, yang mana secara normatif kasus UU Perlindungan anak kasus tidak bisa dicabut. Hal ini disebabkan karena adanya upaya perdamaian antara korban dan pelaku baik dengan pemberian ganti rugi maupun adanya perkawinan anak. Sementara 2 kasus berstatus DPO yang sejak laporan hingga saat ini masih belum ada kejelasan hukum.  Selanjutnya terdapat 5 korban tidak bisa menempuh secara hukum karena belum diakomodir oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sehingga penting untuk mendukung pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang mengakomodir ragam bentuk kekerasan seksual tidak terkecuali eksploitasi seksual jika korbannya berusia dewasa.


Kompleksitas kebutuhan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan harus berbanding lurus dengan sinergisitas seluruh stakeholder yang ada di Kabupaten Jombang.  Fakta yang ada justru masih ditemui kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual belum mendapat perlindungan secara komprehensif. Akses dipusat kota membuat korban sulit mengakses layanan yang menjadi kebutuhannya. Diantaranya program pemulihan trauma psikologis, pemulihan medis, jaminan penegakkan hukum, reintegrasi sosial dari pemerintah yang seharusnya didapatkan korban serta adanya upaya impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual juga masih banyak ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran membangun manusia yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban.


Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta Perbub Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan adalah bukti bahwa Regulasi yang dirasa komprehensif dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya sudah dimiliki oleh Kabupaten Jombang. Namun nyatanya regulasi-regulasi tersebut belum mampu mencapai komprehensifitas dalam implementasinya. Maka optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak harus dibarengi dengan penguatan pengetahuan, peningkatan kebijakan dan anggaran,  penguatan kelembagaan serta sosialisasi di masyarakat.


Ragam situasi dan tantangan dalam penanganan kasus sepanjang 2021 memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan masih sangat minim. Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2021 dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik, karena beberapa hal dibawah ini:


1.   Belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan, dimana salah satunya adalah masih ditemukan adanya impunitas pada pelaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual

2.   Belum disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sementara RUU ini diperlukan dalam rangka mengakomodir kekosongan hukum dalam rangka terselenggaranya jaminan perlindungan korban

3.     Banyaknya hambatan dalam pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergisitas antar stake holder dalam upaya penyelenggaraan pelindungan perempuan korban kekerasan


Bahwa Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. oleh karena itu WCC Jombang menuntut pemerintah, DPRD, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang berwenang untuk :


   Meningkatkan akses layanan integratif terhadap korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di tingkat desa sampai kabupaten dari pencegahan, penanganan, sampai pada pemulihan

      Memperkuat sinergitas Pemerintah dan Lembaga layanan berbasis masyarakat (termasuk layanan berbasis komunitas)

  Mendorong adanya Pendidikan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi pada setiap jenjang Pendidikan termasuk pada Pendidikan Sekolah Luar Biasa

     Penguatan pada sumber daya pada puskesos terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat penyelenggaraan layanan perempuan korban

         Optimalisasi peran-peran kelembagaan di desa untuk penyelanggaraan layanan komprehensif di tingkat desa (BPD, PKK, Puskesos, Forum Anak Desa, Posyandu Remaja, Karang Taruna, dll)

         Penguatan ekonomi melalui pelatihan atau bantuan modal bagi perempuan korban kekerasan

         Meningkatkan Support anggaran  responsif gender oleh pemerintah daerah maupun pusat

      Optimalisasi mekanisme penyelanggaran layanan shelter berbasis pemerintah (keamanan tempat, ketersediaan tenaga ahli)

         Melibatkan tokoh agama dalam kampanye anti kekerasan

     Mendukung dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual sesuai dengan 6 elemen kunci sebagai jawaban atas kebutuhan payung hukum yang mengakomodir ragam bentuk kekerasan seksual