Sunday, March 26, 2023

Press Release "Kekerasan Seksual Sudah Jadi Pandemi; Sudahkan Pendidikan Seksual Komprehensif Jadi Solusi?"

 PRESS RELEASE

 Kekerasan Seksual Sudah jadi Pandemi ;

Sudahkah Pendidikan Seksualitas Komprehensif jadi solusi ?

 

Jombang, 02 Maret 2023

 

Sepanjang tahun 2022, WCC Jombang menerima 86 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis Gender. Dari 86 kasus yang ditangani WCC Jombang sebanyak 38 Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terdiri dari 2 Kasus kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan 36 kasus Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan pelaku adalah suami dan 2 kasus pelaku adalah ayah. Selanjutnya 46 kasus merupakan kekerasan seksual. Terdiri dari 15 kasus perkosaan, 9 kasus pelecehan seksual dan 19 kasus kekerasan dalam pacaran, 3 kasus incest dan 1 kasus trafficking dan 1 kasus pidana umum. Dari 86 kasus, sebanyak 21 kasus teridentifikasi terjadi merupakan kasus seksual berbasis elektronik di ranah online dan 3 kasus korban merupakan disabilitas. 

Dari 41 Kasus KDRT yang diterima WCC Jombang sebanyak 14 kasus berujung pada perceraian dan 1 kasus harus bersengketa dalam permohonan hak asuh anak. Dalam lingkup keluarga, 32 korban mengalami kekerasan psikis, 29 korban mengalami penelantaran, 4 korban mengalami marital rape, serta 18 korban mengalami kekerasan fisik. Sepanjang 2022 terdapat 2 kasus KDRT yang didampingi WCC dan dilaporkan ke kepolisian, namun tidak ada satupun kasus  KDRT yang dilaporkan selesai pada proses putusan di Pengadilan Negeri Jombang. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa. Beberapa korban yang lain, tidak bisa menuntut pertanggungjawaban pelaku untuk memenuhi kewajibannya sehingga seringkali pada kasus penelantaran, korban akan memilih jalur perdata (cerai gugat). Pilihan ini justru mengabaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Beberapa permasalahan pasca putusan cerai seringkali membuat perempuan harus menanggung sendiri kebutuhan anak tanpa bantuan mantan suami.  

Sebanding dengan perempuan korban KDRT beragam tantangan juga dihadapi oleh 46 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 31 korban merupakan usia anak yang mengalami kekerasan seksual, dimana 15 perkara yang diadili di pengadilan sudah putusan, 5 korban  masih menjalani proses hukum, 1 korban terkendala proses pembuktian yang membuat laporannya terancam  dihentikan, 2 korban pelakunya masih DPO, 1 korban berakhir damai secara kekeluargaan, 5 korban memilih tidak melalui proses hukum. 

Dari 46 kasus kekerasan seksual sebanyak 15 korban berusia diatas 18 tahun (dewasa) namun 10 korban usia dewasa yang memutuskan untuk tidak melapor karena tantangan sukarnya implementasi UU TPKS, beberapa kasus dialami NY (31) seorang ibu tunggal yang diperkosa tetangganya sampai hamil yang berupaya melaporkan kasusnya namun diancam pasal perzinahan. Situasi berat juga menimpa SR (24) bernuansa KBGE (Kekerasan Berbasis Gender Elektronik) di mana identitas pelaku tidak diketahui, N (35) korban disabilitas mental yang alami perkosaan hingga hamil, melahirkan dan direncanakan akan dilakukan sterilisasi. Problem struktural ini diperkuat dengan masih minimnya komitmen stakeholder dalam mengimplementasikan UU No 12 Tahun 2022 tentang  Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual sebagai jawaban kekosongan hukum selama ini.

Sementara dilematika dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak diantaranya minimnya pemahaman orangtua bahkan tenaga pendidik dalam mengupayakan  penyelesaian permasalahan anak. Banyak orang dewasa yang menjadikan “kawin anak” sebagai solusi penyelesaian kasus kekerasan seksual, hal ini tidak berbanding lurus dengan Edukasi Hak Kesehatan Seksual Reproduksi terhadap anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. UU  Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa “Tidak ada Restorative justice dalam penanganan  kasus kekerasan seksual”. 

Kasus kekerasan seksual sudah jadi pandemi, sementara kebijakan yang ada di tingkat daerah belum cukup untuk membangun integrasi layanan, bahkan dukungan kebijakan penyelenggaraan layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi di satuan institusi pendidikan masih belum menjadi prioritas sebagai bagian dari membangun perubahan sistem dalam upaya pencegahan kasus kekerasan seksual. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran membangun layanan yang responsif dan berkeadilan gender tidak cukup jika hanya didasarkan pada upaya-upaya parsial tanpa menyentuh substansi bagaimana membangun sistem yang berpihak pada pemenuhan hak-hak korban. 

Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender, Perda Nomor 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta Perbub Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan Korban Kekerasan adalah bukti bahwa Regulasi yang dirasa komprehensif dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan dan kelompok rentan lainnya sudah dimiliki oleh Kabupaten Jombang. Namun nyatanya regulasi-regulasi tersebut belum mampu mencapai komprehensifitas dalam implementasinya. Maka optimalisasi kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak harus diselaraskan melalui penguatan APH, Civitas Akademika, Lembaga layanan pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem pencegahan untuk mendukung kualitas layanan melalui Edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi melalui penguatan pengetahuan, perumusan kebijakan dan dukungan anggaran serta penguatan infrastruktur kelembagaan dan sumberdaya manusia.  

Ragam situasi dan tantangan dalam penanganan kasus sepanjang 2022 memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban kekerasan masih sangat minim. Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi optimalisasi layanan yang dilakukan WCC Jombang sepanjang tahun 2021 dapat disimpulkan bahwa kondisi situasi penanganan perempuan korban kekerasan belum membaik, karena beberapa hal dibawah ini: 

 

1.  Banyak hambatan dalam pelaksanaan sistem koordinasi dan sinergitas antar stakeholder dalam upaya penyelenggaraan pelindungan perempuan korban kekerasan 

2.     Minimnya pemahaman orangtua, tenaga pendidik serta tenaga layanan kesehatan dalam  merespon penyelesaian permasalahan hak kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya kekerasan seksual yang berorientasi terhadap pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan

3.  Belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum, khususnya perempuan korban kekerasan, dimana salah satunya adalah masih ditemukan adanya impunitas pada pelaku kekerasan serta minimnya komitmen implementasi UU TPKS

 

Bahwa Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu WCC Jombang menyampaikan sikap kepada pemerintah, DPRD, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang berwenang untuk menjalankan rekomendasi :

1.      Pemerintah Daerah 

a.   Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Anak 

1.  Memperkuat peran Organisasi Masyarakat melalui sinergi dan kolaborasi dalam program pencegahan, penanganan, perlindungan dan  pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender serta meningkatkan mekanisme koordinasi dan evaluasi jaringan stakeholder 

2.  Memperkuat sinergitas Pemerintah dan Lembaga layanan berbasis masyarakat (termasuk layanan berbasis komunitas) Pasca Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah PPA 

3.   Meningkatkan akses layanan integratif terhadap korban melalui optimalisasi layanan yang diselenggarakan Kelembagaan di tingkat desa sampai kabupaten dari pencegahan, penanganan, sampai pada pemulihan

4.  Optimalisasi mekanisme penyelenggaraan layanan shelter berbasis pemerintah (keamanan tempat, ketersediaan tenaga ahli)

5.  Mendorong sinergitas antara Pemerintah daerah dengan organisasi  Profesi / Lembaga berbasis Masyarakat untuk mengawal implementasi Perda dan Perbup tentang peraturan penyelenggaraan perlindungan Perempuan dan anak dan peraturan Bantuan Hukum dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus. 

b.   Dinas Kesehatan

1.    Menyediakan layanan kesehatan, yang diselenggarakan, terbebas dari tindakan diskriminasi terutama diskriminasi kepada kelompok rentan dalam isu kesehatan reproduksi dan seksual.

2.  Peningkatan kapasitas bagi kader posyandu di desa tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi sebagai bahan edukasi pada masyarakat

c.    Dinas Pendidikan & Kebudayaan 

Mengintegrasikan materi pendidikan hak kesehatan reproduksi dan seksual sebagai bagian dari pendidikan seksualitas yang komprehensif, dalam kurikulum pendidikan lokal pada setiap jenjang pendidikan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap hak dan kesehatan reproduksi dan seksual, termasuk sebagai upaya pencegahan dini kasus-kasus kekerasan seksual terhadap remaja dan hal lainnya yang menyangkut hak reproduksi dan seksual.

d.   Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa

1.  Optimalisasi peran-peran kelembagaan di desa untuk penyelenggaraan layanan komprehensif di tingkat desa (BPD, PKK, Puskesos, Forum Anak Desa, Posyandu Remaja, Karang Taruna, dll)

2.   Mendorong desa untuk optimal dalam pelaksanaan Desa Ramah Perempuan Peduli Anak sebagai implementasi Perda 11 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender

e.    Dinas Sosial

1.      Penguatan pada sumber daya pada puskesos terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat penyelenggaraan layanan perempuan korban

2.      Penguatan ekonomi melalui pelatihan atau bantuan modal bagi perempuan korban kekerasan

f.     DPRD

1.        Meningkatkan dukungan anggaran  responsif gender 

2.     Melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Perda Kabupaten Jombang No.11 tahun 2020 tentang Pengarusutamaan gender

3.   Revisi Perda No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan & Anak. 

g.    Bupati

1.     Memastikan tersedianya Sarana Prasarana LPKA, LPKS, RPKA, dan LPAS di Kabupaten Jombang untuk mendukung implementasi Peraturan Bupati tentang Kabupaten Layanan Anak

2.   Revisi Perbup Bantuan Hukum di 2023  (Memasukan PBH, ABH dan kelompok rentan lainnya sebagai salah satu prioritas penerima layanan hukum)

3.     Meningkatkan akses layanan integratif untuk Penyelenggaraan Layanan Kesehatan Seksual Reproduksi ditingkat desa melalui Posyandu Remaja, ditingkat kecamatan melalui optimaliasi layanan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di puskesmas serta ditingkat kabupaten   membangun keterpaduan layanan di Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas PPKBPPA  melalui Peraturan Bupati.

h.   Kemenag

1.    Memberikan peningkatan kapasitas bagi tenaga pendidik untuk dapat mengimplementasikan Peraturan Menteri Agama No 73 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

2.  Melakukan pengawasan terhadap implementasi Peraturan Menteri Agama No 73 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

2.    Mendorong adanya Peningkatan Kapasitas APH (Hakim, Jaksa, Polisi advokat) dan Paralegal untuk mewujudkan layanan yang berkeadilan Gender 

3.      Melibatkan tokoh agama dalam kampanye anti kekerasan dan penanggulangan HIV-AIDS