Monday, January 29, 2024

Kerangka Hukum Legal Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan

        Dalam konteks dinamika hukum alam, tindakan aborsi menjadi titik perdebatan antara dua perspektif utama: pendukung moral hukum alam dan para advokat feminist legal theory. Kedua pihak berusaha memberikan interpretasi dan pemaknaan yang berbeda terhadap arti dari perbuatan aborsi, memunculkan ketegangan antara hak reproduksi yang diperjuangkan oleh kaum feminis dan prinsip moral yang mendasari hukum alam.  Hak Kesehatan Seksual Reproduksi dari perspektif feminist legal theory, khususnya dalam konteks relasi gender, berhadapan dengan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh prinsip Hukum Alam, hal ini menegaskan pada pandangan bahwa  hak terkait kesehatan seksual dan reproduksi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia, sementara pendukung hukum alam memandang bahwa  hak untuk mendapatkan layanan aborsi aman bagi korban perkosaan yang secara tergas di atur dalam  60 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 31 ayat (1) dan (2)  dalam  PP No. 61 tentang Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi serta dalam Pasal 299 KUHP dianggap  sebagai pelanggaran terhadap prinsip moral yang melandasi tatanan alam.

Pertentangan semakin kompleks ketika nilai-nilai Teologi Islam turut diperhitungkan. Teologi Islam menyediakan kerangka etis yang kaya terkait perilaku aborsi. Nilai-nilai ini, seringkali tumpang tindih dengan argumen moral hukum alam, menciptakan suatu dinamika yang kompleks dalam menilai perbuatan aborsi dari sudut pandang etika dan agama. Dengan perdebatan antara pendukung hak reproduksi feminis, nilai-nilai moral dalam hukum alam, dan pandangan etis dari Teologi Islam, tindakan aborsi menjadi pusat perhatian dalam diskursus hukum dan moral yang mencerminkan pluralitas nilai dan perspektif dalam masyarakat.

Situasi aborsi di Indonesia tidak banyak terlaporkan secara sistematis, dikarenakan kebijakan aborsi di Indonesia yang masih mengatur segala aspek aborsi mulai dari perbuatan, pemberian informasi hingga layanan dengan pendekatan pemidanaan. Tulisan ini disusun berdasarkan catatan penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Women’s Crisis Center Jombang  berangkat dari pengalaman korban dan pendamping studi lapangan yang dilakukan oleh penulis di Afrika Barat pada Juni 2023 melalui kunjungan dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber dari tenaga kesehatan  di Republik Benin serta berbasis informasi pengalaman pendampingan kasus perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan oleh Women’s Crisis Center Jombang.

ABPF (Association Béninoise pour la Promotion de la Famille) merupakan lembaga penyedia layanan masyarakat, di Republik Benin Afrika Barat, yang fokus  memberikan pelayanan kesehatan  kepada masyarakat dari berbagai latar belakang Klinik APBF mayoritas diakses oleh masyarakat miskin, terpinggirkan dan dikucilkan secara sosial. 

Pada jumat 14 juni 2023, melalui dukungan program Right Here Right Now 2 - penulis berkesempatan mengunjungi ABPF dalam kegiatan studi lapangan untuk memahami ragam permasalahan dan praktik penyelenggaraan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi di Negara tersebut. Ditengah minimnya sarana prasarana dan infrastruktur pelayanan kesehatan di negara tersebut, ABPF hadir membangun responsifitas layanan melalui pengoperasian layanan kebidanan dan antenatal care berbasis masyarakat yang efektif di 16 desa, namun secara mekanisme masih dilakukan dengan cara konvensional melalui dukun bersalin dan tenaga kesehatan sukarela.

Strategi ABPF dalam mengaktivasi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Negaranya adalah dengan melibatkan ratusan anak muda sebagai distributor berbasis komunitas (CBD) dan pendidik sebaya.  Sebagai salah satu sarana Pendidikan Seksualitas Komprehensif (CSE), APBF melalui penyediaan informasi kesehatan seksual dan reproduksi, kondom, dan layanan konseling kepada kaum muda.

Sarana tersebut tentu saja jauh berbeda dengan situasi di Indonesia yang masih menguat ke’tabu’annya ketika mengenalkan informasi jenis kontrasepsi kepada remaja sebagai sebagaian dari pendidikan seksualitas komprehensif sejak usia dini. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan undang-undang yang melarang untuk mempromosikan alat kontrasepsi berdasarkan ketentuan Pasal 534 KUHP, walaupun terdapat pengecualian tertentu yang berlaku kepada tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terlatih untuk menyampaikan informasi mengenai alat kontrasepsi sebagai salah satu sarana untuk mencegah HIV/AIDS.  Pada Pasal 28 UU Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKDPK) yang memberikan legitimasi kepada tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlatih untuk mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi kepada masyarakat. Sehingga kerangka Hukum positif di Indonesia masih sangat restriktif (membatasi) dan tabu memandang problem Keadilan Reproduktif  bersama dengan keadilan sosial.

Republik Benin merupakan Negara dengan  jumlah populasi anak muda dan termasuk populasi dengan angka anak muda terbanyak di dunia, hal ini menjadi tantangan Negara untuk menghadapi bonus demografi pada konsidi lingkar kemiskinan yang menguat. Hal tersebut tentu saja akan menjadi bencana besar yang melanda negara tersebut, ketika tidak digencarkan program pembangunan manusia dengan memberdayakan perempuan dan anak perempuan melalui peningkatan akses kesehatan, pendidikan dan keterampilan mereka untuk memberi mereka kekuatan pengambilan keputusan yang lebih besar.

Negara dengan luas 112.760 Km2 (43.537 mil persegi), memiliki jumlah penduduk 13.727.722 [1] dengan usia rata-rata di Benin adalah 17,6 tahun. Benin sebagai salah satu Negara termiskin di Afrika telah dihadapkan kondisi tingginya angka kelahiran hidup dan rendahnya kualitas layanan kesejahteraan sosial yang difasilitasi oleh negara.  

 Penulis  mendokumentasikan temuan data saat  wawancara  dengan salah satu tenaga kesehatan di APBF, dengan menghimpun jumlah data perempuan yang mengalami kehamilan tidak di inginkan untuk akses layanan aborasi aman. Sebagai pusat layanan kesehatan masyarakat di negara benin, setiap bulannya paling sedikit 50 perempuan datang ke ABPF untuk mengakses layanan konseling Kehamilan Tidak Di inginkan (KTD) sebagai tahap proses layanan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan save aborsi aman, mayoritas akar permasalahan KTD yakni dipicu permasalahan kekerasan seksual dengan rata-rata klien usia 19 - 23 tahun, namun sayangnya karena keterbatasan waktu, penulis belum berhasil mengidentifikasi angka kasus kekerasan seksual yang didampingi ABPF sepanjang satu tahun terakhir.[2]

Namun permasalahan sistem kesehatan di negara Republik Benin masih  sangat pincang dalam pelaksanaannya. Alur saat hendak mengakses layanan di klinik ini : Korban yang datang ke klinik akan di cek kesehatannya, selanjutnya dalam kondisi KTD petugas secara otomatis akan melakukan  cek kesehatan dan mekanisme konseling psikologis untuk penguatan kepada korban dan keluarga klien dalam proses penyelesaian kasusnya, kemudian pihak klinik secara aktif  akan mefasilitasi pertemuan keluarga pelaku dan korban untuk melalui proses mediasi berdasarkan keluarga kedua belah pihak. Mirisnya penyelesaikan kasus kekerasan seksual di negara ini selalu berakhir damai baik dengan atau tanpa adanya pernikahan antara korban dan pelaku. Potensi reviktimisasi tindak pidana akan sangat mungkin berulang dengan orang yang sama atau pun berbeda. Rendahnya angka melek huruf dan minimnya pendidikan seksualitas komprehensif sungguh menjadi tantangan serius yang harus masuk dalam krangka reformasi sistem yang lebih berkeadilan gender di negeri Benin.

Responsifitas layanan aborsi di Republik Benin, tidak berbanding lurus dengan pelaksanaan sistem hukum di Negara tersebut yang masih sukar dalam pemenuhan hak korban perkosaan atas akses keadilan hukum pada praktiknya sangat jarang kasus yang di identifikasi ABPF bisa diselesaikan melalui proses hukum, sebalikannya dengan Indonesia yang sistem hukumnya masih memungkinkan untuk menghadirkan layanan yang berorientasi pada keadilan reproduktif bagi perempuan di semua aspek kehidupannya.  Lebih-lebih sejak di sahkannya Undang - undang No. 12 Tahun 2022 tindak pidana kekerasan seksual. Layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi perempuan telah diatur dalam UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan pada pasal 4 ayat (1)  menyatakan : “Setiap orang berhak hidup sehat secara fisik, pesikis dan sosial” . Jaminan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi juga di tegaskan dalam PP No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 26 ayat (1) “Setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.”. Hal ini menjadi komitmen negera untuk  menghadirkan layanan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi secara komprehensif, tidak terkecuali hak untuk mendapatkan layanan aborsi bagi korban perkosaan.[3]

Problem struktural dan kultural di Indonesia dalam implementasi aborsi bagi korban perkosaan seringkali menemui kebuntuan dalam mekanisme pelaksanaannya, tidak tersedianya tenaga layanan yang kompeten dan memiliki perspektif penanganan korban serta minimnya fasilitas dan infrastruktur layanan kesehatan yang ditunjuk sebagai pelaksana, seringkali memiliki hambatan akses bagi perempuan korban perkosaan untuk mendapat layanan aborsi aman sebagai bagian dari pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Secara kultural pemenuhan hak atas aborsi  masih menguat keTABUannya, hal ini tidak lepas dari paradigma hukum yang masih belum berorientasi pada pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Stigma dan diskriminasi telah juga dialami korban berinisial M’ 13 tahun di kabupaten Jombang, telah diperkosa oleh seorang pria paruh baya berinisial H’ 58 tahun asal mojowarno, pada saat pelaporan dikepolisian usia kandungan korban 3 minggu. Usia kehamilan yang dihadapi korban saat ini masih memungkinkan untuk membangun sistem layanan kesehatan melalui akses layanan aborsi bagi korban, sebagaimana diatur dalam KUHP yakni tidak lebih dari 6 minggu. Namun kebuntuan koordinasi antar stakeholder dan tidak adanya mekanisme pelaksanaan peraturan yang jelas membuat  membuat korban dan keluarga tidak mendapat dukungan untuk mengakses layanan tersebut. Hal ini membuat korban diusianya yang masih 13 tahun dan baru tiga kali menstruasi terpaksa harus melanjutkan kehamilannya.[4] 

Tidak terpenuhinya hak atas aborsi bagi korban perkosaan  berimplikasi secara fisik pada kesehatan reproduksi korban yang belum siap  menerima kehamilan dapat membahayakan jiwa korban. Perempuan  korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan harus menghadapi resiko hukum, finansial  maupun resiko fisik ketika berusaha mencari akses aborsi. Termasuk jika kemudian memperoleh layanan aborsi tidak aman, akan memberikan resiko finansial, resiko kesehatan atas komplikasi yang mungkin dialami. [5] 

 Secara psikologis kehamilan korban adalah situasi yang sangat di benci dan tidak dinginkan, hal ini tentu saja akan menambah trauma bagi korban seumur hidupnya. Olehkarenanya menurut penulis  kemanfaatan hukum akan sangat sukar di wujudkan  jika pengaturan aborsi bagi korban perkosaan masih bersifat restriktif (dibatasi) dan tidak berorientasi pada pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.

Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis merekomendasikan :

1.    Kementerian Kesehatan harus memberikan respons segera mengenai kebijakan aborsi aman pasca KUHP Baru, dengan segera menyesuaikan Permenkes 3/2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi Aman;

2.     Pemerintah segera menunjuk fasilitas kesehatan yang bisa menyediakan layanan aborsi aman, juga membuka peluang untuk permohonan layanan agar dapat ditunjuk;

3.     Adanya  komitmen lintas kementrian untuk meningkatkan kualitas layanan Hak kesehatan Seksual Reproduksi termasuk mendorong Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi di semua jenjang pendidikan. (AN)


Sumber Artikel:

[1] (https://www.worldometers.info/world-population/benin-population/) diakses pada tanggal 10 November 2023

[2] Wawancara  HR ‘ 44 th tenaga kesehatan ABPF - Benin Afrika Barat pada 14 Juni 2023

[3] Pasal 429 UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

[4] Wawancara dengan orangtua korban , pada 15 November 2015 di Kantor Women’s Crisis Center Jombang

[5] Kerangka Hukum tentang Aborsi Aman; 2023 , Institute for Criminal Justice Reform, hlm. 6