Tulisan ini
dibuat dengan tujuan untuk mendukung dan menyuarakan pemenuhan hak korban untuk
mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk
kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.
Oleh : Ana Abdillah (Direktur Women’s Crisis Center Jombang
Seorang guru berinisial DH (57 tahun)
di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi
Gorontalo, diduga melakukan tindak pidana seksual kepada seorang murid
perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya
video yang merekam dugaan asusila oknum guru terhadap siswa didiknya.
Dampak pasca tersebarnya video
tersebut menjadi pukulan serius bagi dunia Pendidikan, namun sangat disayangkan berbagai stigma, hinaan,
cacian terus ditujukan kepada korban secara terus menerus. Bahkan di masyarakat
masih menguat persepsi bahwa anak dalam video tersebut tidak pantas disebut
sebagai “korban” seolah membangun persepsi yang keliru bahwa hubungan
keadaan
antara guru dan murid karena persoalan
asmara dan suka-sama suka.
Berbagai komentar diskriminatif yang
diproduksi masyarakat melalui akun sosial medianya menunjukan betapa minimnya
pemahaman Masyarakat kita dalam memahami akar permasalahan kekerasan seksual.
Hanya melalui satu publikasi akun gossip saja berbagai persepsi keliru memuat
beragam pandangan diantaranya, menikahkan anak korban dengan pelaku, persepsi
bahwa disebut sebagai korban hanya apabila ada paksaan, ada yang teriak minta
tolong, gak sampe terjadi berulang bahkan yang paling jahat adalah komentar
agar korban dipenjara serta ajakan untuk tidak melihat background anak yang masih dibawah umur, yatim piatu, fatherless
untuk membela korban. Sungguh persepsi menyesatkan tersebut apabila terus dibiarkan tumbuh subur di pikiran kebanyakan
orang justru akan terus membuat budaya hukum kita ada dalam bayang-bayang nilai
patriarki. Ancaman terhadap kerja-kerja perubahan sistem pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan seksual di satuan Pendidikan akan terasa berat
bahkan mungkin akan melemahkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk
menghapus segala bentuk kekerasan seksual.
Lalu bagaimana sesungguhnya cara kita
memahami akar permasalahan kasus guru
dan murid yang terjadi di Gorontalo ?
Kita pahami bersama bahwa Kekerasan
Seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) dan kejahatan kekuasaan. Sehingga oknum guru dalam hal ini
membutuhkan cara untuk mengontrol dan mengendalikan korban untuk menuruti
maksud jahatnya dengan memanipulasi keadaan yakni tipu daya, bujuk rayu salah
satunya dijanjikan akan dibiayai sekolahnya.
Lalu apakah caranya harus dengan
Kekerasan fisik, ancaman, intimidasi ?
Oh tentu saja tidak.. perbuatan
manipulatif yang dilakukan oknum guru dan murid wajib dipandang sebagai
kejahatan karena relasi kuasa yang tidak seimbang ditambah lemahnya fungsi
pengawasan sekolah. Guru adalah figur otoritas yang dipercaya untuk membimbing,
mendidik, melindungi dan menjadi teladan
bagi anak-anak. Namun, ketika guru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan
kejahatan seperti kekerasan seksual, maka ia tidak hanya menghancurkan masa
depan anak tersebut tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem
pendidikan secara keseluruhan.
Apa yang terjadi pada anak korban salah
satunya dikontribusikan karena kegagalan sistem di satuan Pendidikan dalam
merespon sinyal tanda bahaya saat korban menceritakan kepada orang terdekatnya
tentang kondisi perasaan tidak nyaman saat oknum guru menyentuh salah satu
bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga
menangis, trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru. Bahkan Menurut
Kasubdit Penmas Bidang Humas Polda Gorontalo, Kompol Henny Muji Rahayu yang
menangani kasus ini menjelaskan bahwa korban sempat merasa risih dan mencoba
menolak hingga melakukan perlawanan, namun karena perilaku manipulatif melalui
bujuk rayu oknum guru, akhir kekerasan seksual bisa terjadi berulang.
Apa yang terjadi pada oknum guru
biasa disebut sebagai perilaku child grooming
sebagai bagian dari Tindakan sexual grooming yaitu strategi
sistematis seseorang dalam membangun kepercayaan seorang, yang biasanya masih
anak-anak atau remaja. Tindakan tersebut bertujuan untuk memanipulasi atau
memaksa korban agar terlibat dalam aktivitas seksual dan membuat korban
terjebak dalam keadaan eksploitatif. Pelaku grooming akan mencari celah dalam kerentanan anak secara
bertahap yang meruntuhkan atau melanggar batasan mereka. Sambil membangun
kendali dan melakukan pelecehan seksual, pelaku juga meyakinkan lingkungan
sekitar bahwa anak atau remaja tersebut aman dalam pengawasannya.
Dalam KUHP lama yang terbilang sangat
jadul sekali, dalam pasal 294 ayat (1) mengatur norma “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang
yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaan dianya yang
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” . Norma
jadul ini tentu saja tidak mewajibkan ada unsur “Kekerasan” dan “Ketiadaan
persetujuan”.
Hubungan Keadaan yang terjadi pada
oknum guru dan murid telah gagal dimitigasi oleh satuan pendidikan dan terus
terjadi secara berulang yang membuat korban merasa kesulitan sendiri untuk bisa
lepas dari keadaan manipulatif yang
melingkarinya bahkan lebih parah lagi, ketika kasus seperti ini muncul, sering
kali korban justru mendapatkan tekanan, bukan dukungan. Kasus di Gorontalo ini
memperlihatkan kepada kita betapa rentannya posisi anak-anak ketika berada di
bawah asuhan orang yang seharusnya mereka percayai.
Kepercayaan besar yang diberikan
kepada guru menjadikan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan
siswa. Siswa menganggap guru sebagai panutan dan sering kali merasa takut atau
tidak berdaya untuk melawan ketika mereka merasa tidak aman. Guru harus
dibangun perspektif dan keberpihakannya kepada korban, tidak hanya dengan
pengajaran soal mata pelajaran, tetapi juga soal batas-batas yang jelas dalam
hubungan profesional dengan siswa. sehingga setiap guru memahami tanggung jawab
moral dan hukum mereka.
Hingga tulisan ini dibuat, didapati
informasi bahwa korban telah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap
mencemarkan nama baik sekolah. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, padahal
salah satu kegagalan sistem adalah pihak sekolah yang tidak melakukan fungsi pengawasan dengan baik terhadap guru dan
siswanya apalagi peristiwa ini terjadi dua tahun lamanya. Kondisi tersebut
semakin menegaskan bahwa dalam hal ini sekolah hanya mengacu kepada aturan tata
tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus
dikeluarkan. Padahal kejadian tersebut murni tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur yang
membutuhkan perlindungan Hukum dan dukungan psikologis.
Satuan Pendidikan yang seharusnya
menjadi tempat yang aman bagi siswa, malah menjadi tempat terjadinya kekerasan
seksual, secara tersembunyi. Kasus di Gorontalo ini seharusnya menjadi momentum
bagi kita untuk menyoroti kelemahan dalam sistem perlindungan anak dan mendesak
adanya perubahan yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual di satuan Pendidikan.
Pendidikan Kesehatan reproduksi dan
seksualitas (PKRS) bukan hanya tentang mengajarkan tentang anatomi atau
reproduksi, tetapi juga tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari
kekerasan seksual, mengenali tanda-tanda pelecehan, dan berani melaporkan
kejadian kepada pihak yang berwenang. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak
dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak memiliki kekuatan untuk
melawan jika mereka menjadi korban. Mari dukung dan terus suarakan pemenuhan
hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara
berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.