Sunday, September 29, 2024

Memahami Akar Kekerasan Seksual di Balik Tirani Otoritas Oknum guru di Gorontalo

 

Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mendukung dan menyuarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.




 
Oleh : Ana Abdillah (Direktur Women’s Crisis Center Jombang


Seorang guru berinisial DH (57 tahun) di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak pidana seksual kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru terhadap siswa didiknya.


Dampak pasca tersebarnya video tersebut menjadi pukulan serius bagi dunia Pendidikan,  namun sangat disayangkan berbagai stigma, hinaan, cacian terus ditujukan kepada korban secara terus menerus. Bahkan di masyarakat masih menguat persepsi bahwa anak dalam video tersebut tidak pantas disebut sebagai “korban” seolah membangun persepsi yang keliru bahwa hubungan keadaan antara guru dan murid  karena persoalan asmara dan suka-sama suka.


Berbagai komentar diskriminatif yang diproduksi masyarakat melalui akun sosial medianya menunjukan betapa minimnya pemahaman Masyarakat kita dalam memahami akar permasalahan kekerasan seksual. Hanya melalui satu publikasi akun gossip saja berbagai persepsi keliru memuat beragam pandangan diantaranya, menikahkan anak korban dengan pelaku, persepsi bahwa disebut sebagai korban hanya apabila ada paksaan, ada yang teriak minta tolong, gak sampe terjadi berulang bahkan yang paling jahat adalah komentar agar korban dipenjara serta ajakan untuk tidak melihat background anak yang masih dibawah umur, yatim piatu, fatherless untuk membela korban. Sungguh persepsi menyesatkan tersebut apabila terus  dibiarkan tumbuh subur di pikiran kebanyakan orang justru akan terus membuat budaya hukum kita ada dalam bayang-bayang nilai patriarki. Ancaman terhadap kerja-kerja perubahan sistem pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di satuan Pendidikan akan terasa berat bahkan mungkin akan melemahkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menghapus segala bentuk kekerasan seksual.


Lalu bagaimana sesungguhnya cara kita memahami akar permasalahan  kasus guru dan murid yang terjadi di Gorontalo ?


Kita pahami bersama bahwa Kekerasan Seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan kekuasaan. Sehingga oknum guru dalam hal ini membutuhkan cara untuk mengontrol dan mengendalikan korban untuk menuruti maksud jahatnya dengan memanipulasi keadaan yakni tipu daya, bujuk rayu salah satunya dijanjikan akan dibiayai sekolahnya.


Lalu apakah caranya harus dengan Kekerasan fisik, ancaman, intimidasi ?


Oh tentu saja tidak.. perbuatan manipulatif yang dilakukan oknum guru dan murid wajib dipandang sebagai kejahatan karena relasi kuasa yang tidak seimbang ditambah lemahnya fungsi pengawasan sekolah. Guru adalah figur otoritas yang dipercaya untuk membimbing, mendidik, melindungi  dan menjadi teladan bagi anak-anak. Namun, ketika guru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual, maka ia tidak hanya menghancurkan masa depan anak tersebut tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan.


 Apa yang terjadi pada anak korban salah satunya dikontribusikan karena kegagalan sistem di satuan Pendidikan dalam merespon sinyal tanda bahaya saat korban menceritakan kepada orang terdekatnya tentang kondisi perasaan tidak nyaman saat oknum guru menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis, trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru. Bahkan Menurut Kasubdit Penmas Bidang Humas Polda Gorontalo, Kompol Henny Muji Rahayu yang menangani kasus ini menjelaskan bahwa korban sempat merasa risih dan mencoba menolak hingga melakukan perlawanan, namun karena perilaku manipulatif melalui bujuk rayu oknum guru, akhir kekerasan seksual bisa terjadi berulang.


Apa yang terjadi pada oknum guru biasa disebut sebagai perilaku child grooming sebagai bagian dari Tindakan sexual grooming  yaitu strategi sistematis seseorang dalam membangun kepercayaan seorang, yang biasanya masih anak-anak atau remaja. Tindakan tersebut bertujuan untuk memanipulasi atau memaksa korban agar terlibat dalam aktivitas seksual dan membuat korban terjebak dalam keadaan eksploitatif. Pelaku grooming akan mencari celah dalam kerentanan anak secara bertahap yang meruntuhkan atau melanggar batasan mereka. Sambil membangun kendali dan melakukan pelecehan seksual, pelaku juga meyakinkan lingkungan sekitar bahwa anak atau remaja tersebut aman dalam pengawasannya.


Dalam KUHP lama yang terbilang sangat jadul sekali, dalam pasal 294 ayat (1) mengatur norma “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaan dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” . Norma jadul ini tentu saja tidak mewajibkan ada unsur “Kekerasan” dan “Ketiadaan persetujuan”.


Hubungan Keadaan yang terjadi pada oknum guru dan murid telah gagal dimitigasi oleh satuan pendidikan dan terus terjadi secara berulang yang membuat korban merasa kesulitan sendiri untuk bisa lepas dari keadaan manipulatif  yang melingkarinya bahkan lebih parah lagi, ketika kasus seperti ini muncul, sering kali korban justru mendapatkan tekanan, bukan dukungan. Kasus di Gorontalo ini memperlihatkan kepada kita betapa rentannya posisi anak-anak ketika berada di bawah asuhan orang yang seharusnya mereka percayai.


Kepercayaan besar yang diberikan kepada guru menjadikan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan siswa. Siswa menganggap guru sebagai panutan dan sering kali merasa takut atau tidak berdaya untuk melawan ketika mereka merasa tidak aman. Guru harus dibangun perspektif dan keberpihakannya kepada korban, tidak hanya dengan pengajaran soal mata pelajaran, tetapi juga soal batas-batas yang jelas dalam hubungan profesional dengan siswa. sehingga setiap guru memahami tanggung jawab moral dan hukum mereka.


Hingga tulisan ini dibuat, didapati informasi bahwa korban telah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, padahal salah satu kegagalan sistem adalah pihak sekolah yang tidak melakukan fungsi  pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya apalagi peristiwa ini terjadi dua tahun lamanya. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa dalam hal ini sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal kejadian tersebut murni tindak pidana kekerasan seksual  terhadap anak di bawah umur yang membutuhkan perlindungan Hukum dan dukungan psikologis.


Satuan Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, malah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual, secara tersembunyi. Kasus di Gorontalo ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyoroti kelemahan dalam sistem perlindungan anak dan mendesak adanya perubahan yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan Pendidikan.


Pendidikan Kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) bukan hanya tentang mengajarkan tentang anatomi atau reproduksi, tetapi juga tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari kekerasan seksual, mengenali tanda-tanda pelecehan, dan berani melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak memiliki kekuatan untuk melawan jika mereka menjadi korban. Mari dukung dan terus suarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.



Share via whatsapp