Belum banyak terobosan yang dihasilkan dalam perlindungan korban
sesuai harapan publik. Kabinet Merah Putih yang terdiri dari 48 kementerian,
lima lembaga negara, dan berbagai staf khusus ini diharuskan menciptakan
struktur organisasi yang fokus, ramping, dan lincah sehingga dapat menghasilkan
kinerja yang efektif di tengah kebijakan efisiensi anggaran maskulin yang
cenderung lebih menekankan pada pengurangan biaya dan penghematan tanpa
memperhatikan dampaknya terhadap pemenuhan hak dasar masyarakat.
Masyarakat mungkin membayangkan dalam waktu kurang dari satu tahun
ke depan dapat menikmati layanan administrasi kelahiran, pendidikan, pekerjaan,
kesehatan, bantuan sosial, kematian, dan lainnya dengan mudah dan terjangkau.
Namun, melihat situasi Indonesia belakangan ini, bayangan itu terasa gelap
gulita, terutama setelah menyaksikan retorika presiden yang merespons isu-isu
strategis dan populis tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna dalam
merancang kebijakan hukum nasional.
Kebijakan efisiensi anggaran berdampak pada kerja pendampingan
perempuan korban kekerasan. Pada 12 Februari 2025, Koran Jawa Pos
mempublikasikan 10 kementerian/lembaga dengan pemangkasan terbesar, salah
satunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengalami pemangkasan
sebesar 62,85%, dari total anggaran Rp 229,91 miliar menjadi Rp 122,22 miliar
pada 2025. Saya membayangkan, anggaran yang seharusnya dapat dioptimalkan
selama setahun, hanya bisa dimanfaatkan selama enam bulan. Lalu, bagaimana semangat
keterpaduan layanan bisa terwujud jika tidak sebanding dengan dukungan politik
anggaran?
Lima bulan pemerintahan maskulin Prabowo Subianto yang dimulai sejak
20 Oktober 2024 gagal menunjukkan sisi krusial dalam isu perlindungan. Politik
anggaran oleh playmakers seringkali dimanfaatkan secara tidak seimbang.
Alih-alih untuk memperkuat partisipasi masyarakat, faktanya realisasi anggaran
di level Organisasi Perangkat Daerah (OPD) banyak digunakan untuk memberi pagu
anggaran yang mengakomodasi kepentingan “alat negara”. Hal ini saya temukan
dalam dokumen rencana Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 13 Tahun 2024
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025, yang
menunjukkan bahwa mayoritas OPD lebih memprioritaskan untuk mengalokasikan
anggaran bagi Aparat Penegak Hukum untuk
melakukan pendampingan program OPD.
Politik
anggaran yang tersedia seringkali tidak menjawab permasalahan sistemik yang mencerminkan
kebutuhan korban. Sementara pendamping korban masih harus tertatih bekerja
untuk kepentingan kelompok rentan dan marginal. Di Kabupaten Jombang Lembaga
layanan berbasis masyarakat harus bertahan dalam keterbatasan finansial
melunasi kontrakan untuk basecamp layanan dan rumah aman, membayar biaya
pendaftaran korban secara mandiri untuk melanjutkan pengobatan difasilitas
kesehatan, melakukan dukungan psikososial bagi korban dan orang dengan
disabilitas tanpa dukungan finansial pemerintah. Sistem kesehatan dan
perlindungan korban yang sakit semacam ini tentu saja menambah beban negara
yang menjadikan Indonesia semakin gelap gulita.
Pasal 41 UU TPKS mewajibkan
lembaga penyedia layanan pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keamanan
korban sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Pasal 26 UU TPKS juga
mengisyaratkan layanan "banyak pintu", yang menjadi peluang sekaligus
tantangan dalam mengintegrasikan layanan terpadu melalui pendekatan sistem. Makna
"terpadu" berarti menggabungkan elemen-elemen terpisah untuk
menciptakan keseluruhan yang harmonis dan saling terkait.
Dalam konteks perlindungan korban, "terpadu" harus
diartikan sebagai keterhubungan antar sistem layanan, bukan hanya satu sistem.
Persepsi tentang makna terpadu dari perspektif UPTD PPA harus diselaraskan
dengan pandangan tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping lembaga layanan
masyarakat, serta satuan pendidikan dan perguruan tinggi. Masyarakat, khususnya
korban kekerasan, sudah lelah dihadapkan pada kebijakan yang egosentris dan
minim partisipasi, serta terbelenggu oleh stigma dan konflik moral dalam budaya.
Para korban juga semakin terhimpit oleh struktur pelaksana kebijakan yang tidak
lagi memprioritaskan transformasi pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan
reproduksi untuk memutus akar persoalan diskriminasi hak dan ketidakadilan
reproduksi yang dihadapi perempuan.
Kebijakan efisiensi anggaran justru memperburuk kondisi korban
kekerasan, membatasi layanan, dan menciptakan ketimpangan distribusi anggaran
yang lebih mengakomodasi kepentingan aparat negara daripada kebutuhan korban.
Untuk mewujudkan struktur organisasi yang fokus dan lincah, pemerintah harus
mengintegrasikan sistem layanan sesuai mandat UU TPKS. Ini mencakup pembentukan
PPT berbasis rumah sakit di pusat dan daerah, peningkatan kapasitas tenaga
layanan dan APH mengenai isu HKSR berbasis gender, HAM, SOGIESC, disabilitas,
HIV/AIDS, dan inklusivitas, serta memasukkan standar layanan kesehatan korban
dalam peraturan Menteri. Selain itu, perlu ada mekanisme pemantauan yang
transparan dan akuntabel, serta revisi Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun
2025 yang membatasi akses keadilan reproduksi bagi perempuan, khususnya layanan
aborsi aman. Efisiensi anggaran harus didasarkan pada upaya mengatasi dampak
tindak pidana, dengan politik anggaran yang efektif untuk mendukung kebijakan
pembiayaan jaminan kesehatan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual,
trafficking dan perkosaan.
