Tuesday, March 18, 2025

Saat Rumah Tidak Lagi Aman, Dinamika Kasus Kekerasan Seksual dalam Lingkup Keluarga Berdasarkan Data Catatan Tahunan WCC Jombang 2022 – 2024.

0 comments

 



Keluarga sering dianggap sebagai tempat yang aman bebas kekerasan, padahal dalam kenyataannya banyak kasus kekerasan seksual terjadi dalam lingkungan keluarga. Berdasarkan data laporan catatan tahunan WCC Jombang selama 3 tahun telah mendokumentasikan sebanyak 148 Kasus Kekerasan Seksual. Dari angka tersebut, sebanyak 26 pelakunya adalah orangtua korban, diantaranya  11 kasus pelaku Bapak tiri dan 15 kasus pelaku Bapak kandung. Dalam banyak kasus, korban kesulitan melaporkan kekerasan seksual yang terjadi karena berbagai faktor, seperti ancaman, rasa malu, ketergantungan ekonomi, atau bahkan kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar.

 

WCC Jombang mencatat dari 11 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bapak tiri, sebanyak 4 kasus korban tidak mendapatkan dukungan dari ibu kandungnya untuk melaporkan kasusnya, hal itu terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi, ketakutan akan kehilangan sumber penghasilan, selain itu juga adanya manipulasi emosional dari pelaku, pelaku seringkali menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan korban dan orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk ibu. Pelaku bisa membuat ibu merasa bahwa hal tersebut adalah “kesalahan” anak, pada kasus yang lain juga adanya harapan dari seorang istri bahwa pelaku akan berubah. Akibatnya, korban tidak hanya menghadapi trauma akibat kekerasan seksual, tetapi juga pengkhianatan dari sosok yang diharapkan bisa melindungi mereka. Kondisi tersebut dapat berdampak serius pada kesehatan mental korban, menyebabkan perasaan rendah diri, kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, hingga kesulitan dalam menjalani kehidupan dimasa depan.

 

Sepanjang 2022 - 2024, Jika dirata-rata kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orangtua korban  terjadi  lebih dari  1 tahun yang artinya butuh waktu lama hingga akhirnya terungkap. Hal ini karena beberapa alasan yang berkaitan dengan dinamika kekuasaan, stigma sosial, dan ketidakmampuan sistem untuk melindungi korban secara efektif. Selain itu adanya berbagai bentuk ancaman dari pelaku yang dialami oleh korban. Berikut ini adalah bentuk-bentuk ancaman yang berhasil di dokumentasikan oleh WCC Jombang, di antaranya :


1.      Adanya Bujuk rayu dan tipu muslihat

2.    Jika tidak menuruti keinginan pelaku korban akan ditinggal sendiri dijalan atau sawah, karena pelaku ketika menjalankan aksinya memilih di tempat-tempat sepi dan malam hari

3.      Korban tidak akan diberi uang saku

4.      Pelaku akan menyebarkan video perkosaannya ke teman-teman dan guru sekolahnya

5.      Korban akan dibunuh

6.      Pelaku tidak akan membiaya sekolah korban, apabila korban menolak

 

Dari berbagai ragam permasalahan perlindungan anak di kabupaten Jombang tentu menambah kemendesakan hadirnya peraturan daerah tentang PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang bisa memperkuat mekanisme perlindungan anak dengan memastikan :


1.      Anak-anak tahu hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka

2.  Kolaborasi baik  antara lembaga lahanan pemerintah dan berbasis masyarakat  secara integratif dan TERPADU.

3. Adanya mekanisme pemberdayaan ekonomi  berkelanjutan untuk mengatasi ketergantungan perempuan pada pasangan  dan memberinya lebih banyak otonomi dalam membuat keputusan.

Read more...

Thursday, March 13, 2025

Transformasi Perlindungan Hukum bagi Korban Perkosaan di Indonesia

0 comments

 

(Paradigma  Hukum Perkosaan menurut UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)


Indonesia merupakan negara nasionalis religius berdasarkan ideologi pancasila. Dan dikenal sebagai negara yang memiliki populasi muslim yang besar,sehingga banyak tumbuh Pondok Pesantren (PONPES) ditengah-tengah masyarakat. Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan Agama Islam dengan puluhan ribu, bahkan ratusan ribu santri belajar agama melalui lembaga pendidikan yang berlatar belakang pesantren. Salah satunya di Kabupaten Jombang Jawa Timur dikenal dengan sebutan “kota santri”. Dan ada beberapa Pondok Pesantren cukup terkenal, diantaranya Pondok Pesantren (PP.) Tebuireng, PP. Bahrul ‘Ulum Tambak Beras, PP. Darul ‘Ulum Rejoso, dan PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar. Terdapat juga 10 Perguruan Tinggi di Kabupaten Jombang dan 50 % diantaranya merupakan Perguruan Tinggi berlatarbelakang Pondok Pesantren.


Akan tetapi kultur budaya yang  mencerminkan sebagai kota santri, justru menjadi tantangan  dalam upaya membangun ruang aman dan upaya menghadirkan jaminan perlindungan  bagi perempuan korban kekerasan, khususnya di satuan pendidikan. Dalam konteks penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, masih sering menghadapi kendala, baik secara struktural maupun kultural yang begitu kompleks.


Terdapat satu kasus tindak pidana pencabulan  di Pengadilan Negeri (PN) Jombang sebagaimana terdaftar dalam Register Perkara  Nomor : 131/Pid.B/2021/PN Jbg, tanggal : 21 Juli  2021, dengan memberikan putusan bebas murni (Vrijspraak) terhadap terdakwa, putusan mana menimbulkan permasalahan dalam  penerapan Pasal 293 ayat (1) dengan pertimbangan hukum mengacu pada unsur-unsur Pasal 293 ayat (2) KUHP bahwa : “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu”.


Kasus kekerasan seksual tersebut dialami oleh seorang perempuan remaja berinisial : YM (18 tahun lebih 3 bulan) pada  saat  kejadian, dilakukan oleh remaja pria berinisial : FR’ (19 tahun). Pada saat kejadian baik korban maupun pelaku masih berstatus pelajar kelas 3 SMA. Korban merupakan putri ke 5 dari 5 bersaudara berlatar belakang keluarga pra-sejahtera. Akibat dari kekerasan yang dialami, korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan  tanpa ada sedikitpun itikad baik dari pelaku dan keluarganya untuk bertanggung-jawab. Sehingga Orangtua memutuskan untuk melaporkan tindak pidana tersebut melalui proses hukum pada 2 Desember 2020 dan pada 21 Juli 2021. Dalam pemeriksaan perkara tersebut, Jaksa Penuntut umum (JPU) melakukan penuntutan terhadap terdakwa dengan tuntutan Pasal 293 jo 285 KUHP. Pengadilan Negeri Jombang memutus bebas pelaku kekerasan dengan argumentasi bahwa Pasal 285 tidak terbukti dikarenakan tidak ditemukan unsur kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam kasus tersebut, selanjutnya menyatakan bahwa Pasal 293 dinyatakan tidak terbukti dengan pertimbangan korban sudah bukan berusia dewasa. Sisi lain kesedihan korban semakin mendalam saat korban menerima kenyataan jika bayi yang dilahirkannya meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. Situasi tersebut membuat korban dan keluarganya sangat terpukul Putusan bebas terhadap terdakwa kasus kekerasan seksual ini sempat menjadi perbincangan hangat bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Jombang, tidak terkecuali asistensi dari Lembaga Penyedia Layanan Pendamping Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Jika dianalisis  secara yuridis-normatif, pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan  tersebut ternyata didasarkan pada penafsiran frasa “Belum dewasa” yang dimaksud dalam pasal 293 ayat (1)  dan (2) KUHP, yang berbunyi :


  1. Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
  2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu.


Bahwa terhadap penafsiran hukum mengenai usia “dewasa” saksi korban tersebut terhadap kasus yang menimpa korban sangatlah kurang tepat, dimana didapatkan fakta hukum dan pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang mempertimbangkan sebagai berikut :

  1. Bahwa sebagai pelapor adalah orang tua korban dan laporan pidana tersebut dapat diterima dan ditindaklanjuti oleh Penyidik Kepolisian sampai dengan dilimpahkannya berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jombang;
  2. Bahwa menurut Majelis Hakim apabila tanggal kelahiran Saksi korban tersebut dihubungkan dengan waktu pertama kali dilakukannya perbuatan cabul oleh Terdakwa terhadap Saksi Korban, maka terbukti bahwa Saksi korban pada saat itu telah berusia 18 (delapan belas) tahun lebih 3 (tiga) bulan, berdasarkan UU. No.  : 23 Tahun 2002 Jo. UU. No. :  35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
  3. Bahwa Majelis Hakim telah mengambil batasan “usia belum dewasa” adalah mereka yang belum berusia genap 18 (delapan belas) tahun sehingga dengan demikian oleh karena Saksi Korban pada saat pertama kali disetubuhi oleh Terdakwa telah berumur 18 (delapan) tahun lebih 3 bulan dan telah dikategorikan dewasa sehingga Saksi Korban tidaklah termasuk dalam objek penderita yang dimaksud dalam unsur kedua Dakwaan Ketiga Penuntut Umum ini sehingga dengan demikian unsur “belum dewasa” tidak terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa;

Menurut hemat penulis, frasa belum dewasa merupakan frasa yang ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir, oleh karenanya harus diharmonisasi dan disinkronisasi dengan ketentuan UU yang lain selain KUHP, dimana batasan usia belum dewasa menurut KUHPerdata adalah : dibawah 21 tahun, UU. No. :  1 tahun 1974 jo UU. No.  : 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah di bawah 19 tahun, UU.  No. :  23 Tahun 2002 Jo. UU. No. : 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah dibawah 18 tahun.

Sementara itu paradigma “perkosaan” yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang masih sangat sempit membuat hakim tidak mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa yang dihadapi YM sehingga dinilai sebagai kasus suka sama suka, dalam Pasal 285 KUHP berbunyi : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”.


 Frasa ancaman kekerasan dalam KUHP, tidak secara sempit hanya dimaknai : “membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan, bisa berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih sopan misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang  merugikan jika tidak dilaksanakan; Sehingga makna perkosaan yang diatur dalam Pasal 285, hanya terbatas adanya ancaman atau tidak adanya ancaman dan atau kekerasan, ada atau tidak adanya persetubuhan dan mensyaratkan dilakukan bukan dalam lingkup rumah tangga, yang artinya tidak mengenal paradigma “marital rape” perkosaan dalam rumah tangga.


Paradigma Baru perkosaan dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP :


Perkosaan dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, diatur dalam Bab 3 Pasal 473, berbunyi : “Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”. 


Dalam ayat 2, makna perkosaan diperluas termasuk  meliputi perbuatan: persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya  bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah; persetubuhan dengan Anak; persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;  atau persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/ atau disabilitas intelektual dengan  memberi atau menjanjikan uang atau Barang, wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui.


Dalam ayat 3, makna perkosaan tidak hanya terbatas adanya penetrasi penis ke vagina, namun juga memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain. Sementara dalam konteks kasus kekerasan seksual dengan korban dewasa, sistem pembuktian pidana telah mengatur dalam konsep pembuktian sekaligus hukum acara khusus yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur 9 bentuk kekerasan seksual, meliputi “ pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik, serta mencakup tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk “perkosaan dan pencabulan”.


Jika pada paradigma pembuktain yang lama, beban pembuktian sepenuhnya harus dibebankan kepada korban dan cenderung mendiskriminasi, melanggengkan stigma dan viktimisasi korban, maka dalam konteks paradigma “perkosaan” yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023  tentang KUHP dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual lebih mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual serta secara khusus mendukung upaya pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan yang berkeadilan gender di semua tingkatan proses peradilan.


Oleh karena Kekerasan Seksual merupakan kejahatan kekuasaan, dimana seringkali pelaku kekerasaan mengendalikan, memanfaatkan situasi rentan dan mengontrol korban untuk melakukan hubungan seksual baik dengan tipu daya maupun muslihatnya, maka  dalam proses penegakan hukum  kasus kekerasan tidak bisa dilepaskan dari hambatan praktik dan budaya yang mereviktimisasi (menyalahkan) korban kekerasan seksual. Dalam konteks pemeriksaan perkara perempuan berhadapan dengan Hukum, baik Hakim maupun Jaksa  wajib memastikan implementasi  kebijakan Perma : 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum serta Pedoman Kejaksaan No. : 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana agar tidak melahirkan produk Hukum  dan praktik peradilan yang diskriminatif demi mewujudkan keadilan substantif bagi kelompok rentan.Salam Merah Putih !!

  

Read more...

Thursday, February 6, 2025

0 comments

Judul Buku


Buku Panduan Edukasi Kesehatan Seksual Reproduksi Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) bagi Tenaga Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Puskesmas


Di susun oleh :

Women's Crisis Center Jombang

Petugas Pelayanan Kesehatan Puskesmas


Buku Panduan ini, dihasilkan untuk memberi dampak adanya peningkatan pengetahuan Petugas Pelayananan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di tingkat Puskesmas dalam memberikan penguatan kapasitas tentang isu HKSR sesuai dengan kebutuhan remaja.  Buku ini disusun oleh petugas PKPR di 22 Puskesmas yang didukung oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang melalui penulisan pengantar buku.


Ketersediaan :

E-book bisa di akses pada link berikut lihat/download

Read more...
0 comments

Judul Buku : 

Anak Muda Inisiator Pembangunan (Isu-isu Kontemporer Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Berbasis Gender)


Disusun oleh :

Festa Yumpi Rahmanawati, Alfiyah Ashmad, Mochammad Irfansyah, Ana Abdillah, Achmad Fathul Iman, Priwahayu, Mundik Rahmawati, Muhammad Fuad, Kafi Wahyu Sudibyo, Nina Fatmawati, Ziyana Walidah, Elly Suhartatik


Buku ini merefleksikan lebih mendalam problem HKSR berbasis Gender serta menggali konsep perencanaan pembangunan yang didasarkan pada prinsip pelibatan orang muda secara inklusif dan bermakna atau Meaningful Inclusive Youth Participation (MIYP). Melalui buku ini, anak muda dikenalkan pada prinsip-prinsip pengambilan keputusan berbasis bukti dan partisipasi untuk membangun kepentingan yang sama dalam mengatasi isu-isu sosial yang penting, seperti hak asasi manusia, kekerasan berbasis gender dan seksual, pemberdayaan anak muda, dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.


Ketersediaan :

E-book bisa di akses pada link berikut lihat/download

Read more...