Sunday, November 25, 2012

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BUKAN AIB


Terhitung tahun 2011 ada 39 kasus asusila yang kurang lebih 80 % korbannya adalah anak di bawah umur. Pada awal tahun 2012 dari beberapa kasus yang masuk ada 15 kasus yang korbannya di bawah umur. Perolehan angka setiap tahunnya tidak bisa menjadi patokan menurunnya angka kekerasan asusila terhadap anak di bawah umur karena fenomena ini seperti peristiwa gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal masih ada banyak kasus yang belum terungkap. Ketika korban termasuk dalam kategori anak menurut UU Perlindungan Anak, pelaporan dilakukan oleh orangtua korban. Keluarga korban yang datang ke WCC Jombang mayoritas ingin menyelesaikan kasus anak mereka melalui jalur hukum, mulai dari lapor polisi sampai ke persidangan. Karena anak memang tidak ingin didamaikan dengan pelaku. Setiap kasus berbeda kadar dan tingkat penyelesaiannya. Beberapa kasus yang kami dampingi memang sampai pada proses persidangan, meskipun pada awal pelaporan sudah mengalami proses yang panjang. Secara hukum memang ada hukuman yang bisa menjerat pelaku ketika korban adalah anak di bawah umur meskipun mereka kebanyakan melakukan tindakan asusila dengan alasan cinta. Kenyataannya ketika pelaku sudah dewasa, mereka dianggap sudah mengerti hukum dan bisa melindungi anak-anak di bawah umur sehingga tetap bisa dijerat dan dihukum secara adil.
Berbicara soal jeratan hukum dan UU yang mengatur tentang kekerasan, tentunya ada banyak pasal yang berbeda batas hukumannya. Pasal yang jelas bisa menjerat kasus kekerasan seksual anak adalah UU Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2002 yakni pasal 81 dan 82. Disitu disebutkan dengan jelas bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling  banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Sedangkan pada pasal 82 dijelaskan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dapat disimpulkan bahwa ketika memang dengan jelas anak menjadi korban kekerasan seksual oleh orang dewasa, ancamannya paling singkat 3 tahun dan paling lama adalah 15 tahun. Pada kenyataannya beberapa kasus yang menimpa anak di bawah umur sampai anak mengalami gangguan secara sosial maupun psikologis kemudian keluarga korban merasa sangat dirugikan dengan perilaku yang telah dilakukan pelaku terhadap korban, hukuman yang mereka terima sangat ringan yakni batas minimal hukuman pidana kasus kekerasan seksual terhadap anak selama 3 tahun saja. Padahal ketika dilihat kerugian yang diperoleh dari korban maupun pelaku sangat terlihat jelas kerugian yang paling banyak adalah yang menimpa korban. Belum lagi pandangan buruk masyarakat sekitar mengenai korban tanpa mereka mau tahu latar belakang kasus yang telah menimpa korban.
Tidak sedikit korban memutuskan untuk berhenti sekolah karena malu dengan teman-temannya, ada korban yang memutuskan untuk menyendiri di rumah dan enggan bersosialisasi, ada pula korban yang mengalami depresi sehingga harus melakukan perawatan medis untuk memulihkan kondisi psikologisnya pasca kasus. Tidak sedikit korban di bawah umur yang kemudian hamil akhirnya harus dinikahkan dengan pelaku, anggapan keluarga bahwa jalan tersebut bisa meringankan beban korban tetapi pada akhirnya ketika anak lahir, korban kembali rentan memperoleh kekerasan yang dilakukan pelaku. Sebelum korban berani memutuskan untuk ke jalur hukum, itupun melalui berbagai pertimbangan dan waktu yang lama sehingga muncul keputusan tersebut. Alasan paling dominan yang muncul dari korban adalah masih menganggap bahwa kekerasan yang menimpa mereka adalah sebuah aib. Jika persepsi ini yang terus muncul dan pada akhirnya akan susah untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan kekerasan terhadap perempuan akan terus berlanjut dan sulit untuk dihapuskan. Ketika korban memilih menyelesaikan melalui upaya hukum, tentunya korban berharap besar terhadap prosedur yang harus mereka lalui demi memperoleh keadilan. Keberpihakkan instansi terkait sangat diharapkan oleh korban agar pelaku bisa mendapatkan ganjaran atas perilakunya yang merugikan korban baik secara social, psikologis, ekonomi maupun fisik.
Banyak solusi yang sebenarnya bisa diambil atau dipilih korban agar terhindar menjadi korban kekerasan terhadap perempuan yakni jadilah perempuan yang berdaya, berani memilih dan mengatakan tidak ketika lawan jenis meminta untuk berhubungan seksual di luar nikah jika tidak siap dengan resikonya (kehamilan, hilangnya keperawanan dan dominasi dari pasangan), membangun komunikasi dua arah dengan pasangan, berhubungan yang sehat dengan lawan jenis dan saling menghargai pendapat atau pola pikir pasangan.