Terhitung tahun 2011 ada 39 kasus asusila yang
kurang lebih 80 % korbannya adalah anak di bawah umur. Pada
awal tahun 2012 dari beberapa kasus yang masuk ada 15 kasus yang korbannya di
bawah umur. Perolehan angka setiap tahunnya tidak bisa menjadi patokan
menurunnya angka kekerasan asusila terhadap anak di bawah umur karena fenomena
ini seperti peristiwa gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal
masih ada banyak kasus yang belum terungkap. Ketika korban termasuk dalam
kategori anak menurut UU Perlindungan Anak, pelaporan dilakukan oleh orangtua
korban. Keluarga korban yang datang ke WCC Jombang mayoritas ingin
menyelesaikan kasus anak mereka melalui jalur hukum, mulai dari lapor polisi
sampai ke persidangan. Karena
anak memang tidak ingin didamaikan dengan pelaku. Setiap kasus berbeda kadar
dan tingkat penyelesaiannya. Beberapa kasus yang kami
dampingi memang sampai pada proses persidangan, meskipun pada awal pelaporan
sudah mengalami proses yang panjang. Secara hukum memang ada hukuman yang bisa
menjerat pelaku ketika korban adalah anak di bawah umur meskipun mereka
kebanyakan melakukan tindakan asusila dengan alasan cinta. Kenyataannya ketika
pelaku sudah dewasa, mereka dianggap sudah mengerti hukum dan bisa melindungi
anak-anak di bawah umur sehingga tetap bisa dijerat dan dihukum secara adil.
Berbicara soal jeratan hukum dan UU yang mengatur tentang kekerasan,
tentunya ada banyak pasal yang berbeda batas hukumannya. Pasal yang jelas bisa
menjerat kasus kekerasan seksual anak adalah UU Perlindungan Anak nomor 23
Tahun 2002 yakni pasal 81 dan 82. Disitu disebutkan dengan jelas bahwa Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Sedangkan pada
pasal 82 dijelaskan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Dapat disimpulkan bahwa ketika memang dengan jelas
anak menjadi korban kekerasan seksual oleh orang dewasa, ancamannya paling
singkat 3 tahun dan paling lama adalah 15 tahun. Pada kenyataannya beberapa
kasus yang menimpa anak di bawah umur sampai anak mengalami gangguan secara
sosial maupun psikologis kemudian keluarga korban merasa sangat dirugikan
dengan perilaku yang telah dilakukan pelaku terhadap korban, hukuman yang
mereka terima sangat ringan yakni batas minimal hukuman pidana kasus kekerasan
seksual terhadap anak selama 3 tahun saja. Padahal ketika dilihat kerugian yang
diperoleh dari korban maupun pelaku sangat terlihat jelas kerugian yang paling
banyak adalah yang menimpa korban. Belum lagi pandangan buruk masyarakat
sekitar mengenai korban tanpa mereka mau tahu latar belakang kasus yang telah
menimpa korban.
Tidak sedikit korban memutuskan untuk berhenti sekolah karena malu
dengan teman-temannya, ada korban yang memutuskan untuk menyendiri di rumah dan
enggan bersosialisasi, ada pula korban yang mengalami depresi sehingga harus
melakukan perawatan medis untuk memulihkan kondisi psikologisnya pasca kasus.
Tidak sedikit korban di bawah umur yang kemudian hamil akhirnya harus
dinikahkan dengan pelaku, anggapan keluarga bahwa jalan tersebut bisa
meringankan beban korban tetapi pada akhirnya ketika anak lahir, korban kembali
rentan memperoleh kekerasan yang dilakukan pelaku. Sebelum korban berani
memutuskan untuk ke jalur hukum, itupun melalui berbagai pertimbangan dan waktu
yang lama sehingga muncul keputusan tersebut. Alasan paling dominan yang muncul
dari korban adalah masih menganggap bahwa kekerasan yang menimpa mereka adalah
sebuah aib. Jika persepsi ini yang terus muncul dan pada akhirnya akan susah
untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan
kekerasan terhadap perempuan akan terus berlanjut dan sulit untuk dihapuskan. Ketika
korban memilih menyelesaikan melalui upaya hukum, tentunya korban berharap
besar terhadap prosedur yang harus mereka lalui demi memperoleh keadilan.
Keberpihakkan instansi terkait sangat diharapkan oleh korban agar pelaku bisa
mendapatkan ganjaran atas perilakunya yang merugikan korban baik secara social,
psikologis, ekonomi maupun fisik.
Banyak solusi yang sebenarnya bisa diambil atau dipilih korban agar
terhindar menjadi korban kekerasan terhadap perempuan yakni jadilah perempuan
yang berdaya, berani memilih dan mengatakan tidak ketika lawan jenis meminta
untuk berhubungan seksual di luar nikah jika tidak siap dengan resikonya
(kehamilan, hilangnya keperawanan dan dominasi dari pasangan), membangun
komunikasi dua arah dengan pasangan, berhubungan yang sehat dengan lawan jenis
dan saling menghargai pendapat atau pola pikir pasangan.