Mungkin tidak terpikirkan bagi setiap
pasangan jika akan terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan? Terutama
jika itu terjadi pada suami dan istri. Namun pada kenyataannya, kekerasan dalam
rumah tangga seringkali terjadi antara suami dan istri. Kekerasan dalam rumah
tangga-pun merupakan kelanjutan dari kekerasan yang didapat selama berpacaran. Terdapat
beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:
- Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
- Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang
- Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan sekseuak dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
- Penelantaran rumah tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Ingat,
kekerasan tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, namun juga dalam bentuk
pembatasan aktivitas, harus mengikuti semua kemauan pasangan, eksploitasi
ekonomi dan seksual bahkan segala hal yang membuat tidak berdaya, takut dan
cemas.
Berdasarkan
data kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) yang telah kami dampingi sampai
dengan Mei 2014, 10 kasus adalah kasus KDRT. 2 kasus diantaranya dalam proses
perdata, 2 kasus dalam proses pengaduan kepada instansi dimana suami bekerja
dengan harapan mendapatkan hak anak dan istri serta 6 kasus memilih kembali
dengan suami (menyerah pada kondisi). Pemicu keretakan rumah tangga banyak
diantaranya adalah disebabkan oleh munculnya pihak ketiga. Bahwa 6 dari 9 kasus
KDRT dipicu oleh adanya pihak ketiga (WIL). Sisanya dipengaruhi oleh lingkungan
sosial yaitu penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.
Apabila ditelusuri lebih dalam, budaya-budaya
dalam masyarakat (budaya patriarkhi) membentuk adanya ketimpangan-ketimpangan
gender dalam masyarakat. Budaya patriarkhi memposisikan laki-laki (superior)
jauh berada diatas perempuan. Adanya anggapan-anggapan bahwa laki-laki lebih
kuat dibanding perempuan, bahwa laki-laki adalah kaum maskulin, kuat, dan
pemimpin sedangkan perempuan harus tampil feminin, lemah, dan bertugas di dalam
rumah (domestik). Budaya yang sudah mengakar membawa keyakinan kepada para
orangtua bahwa anak laki-laki harus tumbuh kuat, pandai dan dipersiapkan untuk
menjadi pemimpin sedangkan anak perempuan diajarkan untuk terampil dalam
memasak dan menjahit sebagai persiapan untuk menjadi seorang ibu. Hal-hal
tersebut yang memunculkan rasa superioritas bagi kaum laki-laki. Laki-laki
merasa memiliki kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh perempuan, laki-laki
memiliki kuasa dalam rumah tangga sebagai pemimpin/ kepala rumah tangga. Dalam
rumah tangga, tidak jarang suami memunculkan superioritasnya, menggunakan
fisiknya untuk memukul sebagai dalih untuk memberi pelajaran kepada istri agar
taat kepada suami. Suami yang sering menyakiti secara fisik menunjukkan
indikasi bahwa kekerasan akan terus terjadi dalam sebuah rumah tangga.
Inferioritas kaum perempuan semakin membuat laki-laki seolah berada di atas awan, laki-laki bisa berbuat semaunya. Berikut
adalah beberapa karakter perempuan korban KDRT, diantaranya:
- Self esteem rendah (harga diri) rendah (nrimo, pasif, mengalah, menyalahkan diri sendiri
- Percaya kepada nilai-nilai bahwa perempuan mesti patuh dan sabar terhadap kekerasan suami
- Tradisional dalam arti mementingkan kesatuan harmoni keluarga
- Merasa bertanggungjawab atas
kekerasan yang diterima (menyalahkan diri sendiri)
- Meyakini bahwa perkawinannya harus dijalani apapun akibatnya
- Yakin dengan mengalah keluarga akan harmonis
Seperti teori segitiga cinta menurut Stenberg (the triangular theory of love) bahwa
cinta yang ideal terdapat tiga bentuk utama: gairah, keintiman, dan komitmen.
Gairah menggambarkan adanya daya tarik fisik dan seksual pada pasangan.
Keintiman adalah perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi
dalam sebuah hubungan. Komitmen adalah penilaian antar pasangan atas hubungan
dan niat untuk mempertahankan suatu hubungan bahkan kekuatan hubungan saat
menghadapi masalah. Sebuah hubungan yang ideal adalah adanya keseimbangan
antara tiga faktor diatas, yang disebut Stenberg sebagai cinta yang sempurna. Selain
pentingnya penerapan segitiga cinta dalam suatu hubungan, pola komunikasi-pun
menjadi solusi tepat.