Tuesday, May 20, 2014

Faktor Apa yang Menyebabkan Terjadinya KDRT?



            Mungkin tidak terpikirkan bagi setiap pasangan jika akan terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan? Terutama jika itu terjadi pada suami dan istri. Namun pada kenyataannya, kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi antara suami dan istri. Kekerasan dalam rumah tangga-pun merupakan kelanjutan dari kekerasan yang didapat selama berpacaran. Terdapat beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

  1. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
  2. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang
  3. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan sekseuak dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
  4. Penelantaran rumah tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Ingat, kekerasan tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, namun juga dalam bentuk pembatasan aktivitas, harus mengikuti semua kemauan pasangan, eksploitasi ekonomi dan seksual bahkan segala hal yang membuat tidak berdaya, takut dan cemas.

Berdasarkan data kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) yang telah kami dampingi sampai dengan Mei 2014, 10 kasus adalah kasus KDRT. 2 kasus diantaranya dalam proses perdata, 2 kasus dalam proses pengaduan kepada instansi dimana suami bekerja dengan harapan mendapatkan hak anak dan istri serta 6 kasus memilih kembali dengan suami (menyerah pada kondisi). Pemicu keretakan rumah tangga banyak diantaranya adalah disebabkan oleh munculnya pihak ketiga. Bahwa 6 dari 9 kasus KDRT dipicu oleh adanya pihak ketiga (WIL). Sisanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial yaitu penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.
             
Apabila ditelusuri lebih dalam, budaya-budaya dalam masyarakat (budaya patriarkhi) membentuk adanya ketimpangan-ketimpangan gender dalam masyarakat. Budaya patriarkhi memposisikan laki-laki (superior) jauh berada diatas perempuan. Adanya anggapan-anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, bahwa laki-laki adalah kaum maskulin, kuat, dan pemimpin sedangkan perempuan harus tampil feminin, lemah, dan bertugas di dalam rumah (domestik). Budaya yang sudah mengakar membawa keyakinan kepada para orangtua bahwa anak laki-laki harus tumbuh kuat, pandai dan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin sedangkan anak perempuan diajarkan untuk terampil dalam memasak dan menjahit sebagai persiapan untuk menjadi seorang ibu. Hal-hal tersebut yang memunculkan rasa superioritas bagi kaum laki-laki. Laki-laki merasa memiliki kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh perempuan, laki-laki memiliki kuasa dalam rumah tangga sebagai pemimpin/ kepala rumah tangga. Dalam rumah tangga, tidak jarang suami memunculkan superioritasnya, menggunakan fisiknya untuk memukul sebagai dalih untuk memberi pelajaran kepada istri agar taat kepada suami. Suami yang sering menyakiti secara fisik menunjukkan indikasi bahwa kekerasan akan terus terjadi dalam sebuah rumah tangga. Inferioritas kaum perempuan semakin membuat laki-laki seolah berada di atas awan, laki-laki bisa berbuat semaunya. Berikut adalah beberapa karakter perempuan korban KDRT, diantaranya:
  1. Self esteem rendah (harga diri) rendah (nrimo, pasif, mengalah, menyalahkan diri sendiri
  2. Percaya kepada nilai-nilai bahwa perempuan mesti patuh dan sabar terhadap kekerasan suami
  3. Tradisional dalam arti mementingkan kesatuan harmoni keluarga
  4. Merasa bertanggungjawab atas kekerasan yang diterima (menyalahkan diri sendiri)
  5. Meyakini bahwa perkawinannya harus dijalani apapun akibatnya
  6. Yakin dengan mengalah keluarga akan harmonis

Seperti teori segitiga cinta menurut Stenberg (the triangular theory of love) bahwa cinta yang ideal terdapat tiga bentuk utama: gairah, keintiman, dan komitmen. Gairah menggambarkan adanya daya tarik fisik dan seksual pada pasangan. Keintiman adalah perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam sebuah hubungan. Komitmen adalah penilaian antar pasangan atas hubungan dan niat untuk mempertahankan suatu hubungan bahkan kekuatan hubungan saat menghadapi masalah. Sebuah hubungan yang ideal adalah adanya keseimbangan antara tiga faktor diatas, yang disebut Stenberg sebagai cinta yang sempurna. Selain pentingnya penerapan segitiga cinta dalam suatu hubungan, pola komunikasi-pun menjadi solusi tepat.