Monday, October 7, 2024

MEMBELA MEREKA YANG MEMBELA "Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Perempuan Pembela HAM”

Foto Ilustrasi Dokumentasi WCC Jombang

Penulis : Ana Abdillah (Direktur WCC Jombang/Advokat)

Bandung, 3 Oktober 2024


“Pada bulan Juni 2021 Kantor WCC Jombang didatangi beberapa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa yang berkonsolidasi untuk mendukung  upaya WCC Jombang bersama Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual (KSLK) dalam kerja advokasi bersaama penegakan Hukum  kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra salah seorang kyai (MSAT ‘37 Tahun) pemilik pondok pesantren besar di Jombang terhadap 5 santriwatinya. Perwakilan Mahasiswa dihadiri oleh perwakilan BEM Universitas Airlangga, BEM Universitas Brawijaya, BEM Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya dan beberapa kampus lain yang turut prihatin dengan fakta lambannya penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban MNK (19 tahun pada saat kejadian pada 2017). Dampak dari lambatnya proses penegak hukum kasus tersebut juga menjadi trigger terjadinya penganiayaan yang dilakukan oleh petugas pondok pesantren terhadap salah seorang kawan korban yang  juga merupakan saksi dalam kasus Kekerasan Seksual berinisial TAM (23 Tahun ), kejadian tersebut bermula dari postingan TAM di media sosial facebook yang diduga menyinggung Kyai (Ayah MSAT), status TAM pada sosial media dianggap menghina dan menyerang Kyai dan Pondok Pesantren. Walaupun sesungguhnya Isi dari postingan TAM  tidak lain adalah sebagai bentuk keprihatinan terhadap sikap pondok pesantren yang selalu membela pelaku kekerasan seksual dan protes terhadap lambatnya proses hukum.


Salah satu topik yang menjadi perbincangan antara Tim Aliansi KSLKS bersama    perwakilan BEM adalah terkait Situasi yang dihadapi oleh seluruh Perempuan Pembela HAM  yang terlibat dalam advokasi kasus tersebut. Perwakilan BEM memetakan situasi tersebut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah Aliansi KSLKS ? Berapa staff di Kantor WCC Jombang “?, Apakah staff di WCC Jombang seluruhnya adalah perempuan ? Apakah selama mengadvokasi kasus pernah mendapatkan intimidasi dan ancaman ? Bagaimana cara Aliansi dan internal WCC Jombang memitigasi terjadinya penganiayaan seperti halnya yang terjadi pada TAM ?. Bagi Saya apa yang menjadi pertanyaan mahasiswa merupakan bagian dari upaya untuk memahami situasi rentan yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM. Secara kultural perempuan yang berbicara tentang isu-isu berkaitan dengan hak-hak perempuan, kekerasan seksual, dan isu sensitif lainnya lebih rentan menerima stigma, serangan atau kritik pada konteks  yang lebih sulit, perempuan akan lebih berisiko dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka.


Namun sayangnya, tidak semua PPHAM memiliki kesadaran mengidentifikasi dirinya sebagai PPHAM yang memiliki Hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam mendukung upaya advokasi Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) dan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, penting untuk memperkuat kapasitas dan meningkatkan perlindungan terhadap Perempuan pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). PPHAM tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, memastikan bahwa suara yang terpinggirkan didengar. Dengan keberaniannya, PPHAM bekerja melawan struktur patriarki dan kebijakan diskriminatif yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Namun di Indonesia kerja-kerja sunyi yang dilakukan oleh PPHAM sering kali tidak dianggap penting sementara tidak banyak PPHAM yang memahami hak dasar mereka mencakup perlindungan ekonomi, sosial dan budaya yang merupakan salah satu elemen penting  Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dilindungi oleh negara  selain  hak sosial dan politik.


Penguatan kesadaran bagi PPHAM untuk meningkatkan safety security dan pemenuhan kualifikasi sangat dibutuhkan dalam merumuskan pendekatan yang dapat memastikan keamanan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Peran Perempuan pembela HAM dalam melakukan kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, telah diakui dalam ketentuan Undang-undang, diantaranya :

Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: “Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.”

Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual : “Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan”.


Sayangnya praktek dilapangan pada saat proses pelaporan kasus, tidak banyak penyidik yang memahami peran pendamping bahkan minim informasi terkait kerja-kerja keparalegalan.  Didalam UU TPKS Pasal 29, telah diatur secara jelas bahwa yang disebut sebagai pendamping adalah Petugas LPSK, Petugas UPTD PPA, Tenaga Kesehatan, Psikolog, Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Psikiater, Pendamping Hukum meliputi advokat dan paralegal, PETUGAS LEMBAGA PENYEDIA LAYANAN BERBASIS MASYARAKAT serta pendamping lainnya.


Lalu siapa  Perempuan Pembela HAM ?

Setiap individu yang bekerja dalam isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan Perempuan Pembela HAM. PPHAM adalah setiap orang (perempuan, laki-laki atau gender lainnya yang berjuang untuk menegakan dalam memajukan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Selama ini Komnas HAM hanya mengenali terminologi Pembela HAM, sementara situasi terminologi Pembela HAM antara perempuan dan laki-laki memiliki aspek kerentanan yang berbeda termasuk potensi terpapar secara psikologis sebagai dampak dari pendampingan yang dilakukan baik melalui pendekatan konseling personal maupun  dukungan psikolog. Lebih jauh Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang periode 2020-2024 dalam sesi workshop penguatan protokol Ekosob PPHAM yang diselenggarakan SAPA Institute Bandung, menyampaikan perlunya audit gender untuk mengukur perilaku individu di organisasi dalam memastikan diterapkannya prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam interaksi dengan sesama yakni bagaimana sesama pembela HAM dapat membangun support system perlindungan tanpa stigma dan diskriminasi.


Dalam menjalankan kerja sosialnya seorang PPHAM selalu berupaya membangun kesadaran kritis bahwa permasalahan kekerasan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga melibatkan struktur sosial yang lebih luas. PPHAM yang melakukan pendampingan kasus SGBV seringkali mendapatkan stigma dan perilaku diskriminatif dalam menjalankan kinerjanya diantaranya dianggap perusak rumahtangga, dianggap membawa aliran sesat, menolak ketentuan adat hingga ancaman akan dibunuh diperkosa dan dimasukan penjara. Di Tengah ancaman tersebut, PPHAM seringkali merasa harus memutuskan hidup sendiri (tidak menikah) demi totalitas pengabdiannya, harus melewati masa lanjut usia dengan ketiadaan atau minim dukungan, tidak memiliki jaminan perlindungan sosial, kesehatan dan dukungan ekonomi serta jaminan hari tua (pensiun) yang memadai.


Indonesian protection for WHRD Network mengidentifikasi ada 6 kebutuhan hak dasar diantaranya Hak Ekosob, diantaranya (1) Hak ekonomi & ketenagakerjaan yang mencakup upah, situasi kerja layak & aman, cuti, ruang menyusui, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan hari tua); (2) Hak Pendidikan yang meliputi beasiswa pendidikan, kesempatan/akses pelatihan/konferensi/kursus, dukungan sertifikasi; (3) Hak Kesehatan, yang meliputi jaminan/asuransi kesehatan, dukungan pemeriksaan kesehatan rutin termasuk kesehatan reproduksi; (4) Hak Sosial, yang meliputi Dana Sosial, dukungan pada saat musibah, rekreasi dan akses jaminan sosial; (5) Hak Budaya, yang meliputi fasilitas ruang/alat ibadah, ijin menjalankan/mengikuti kegiatan keagamaan dan (6) Hak Hukum, meliputi bantuan hukum ketika mengalami ancaman dan kekerasan.


Dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut PPHAM harus dihadapkan tantangan dalam mendapatkan jaminan perlindungan hukum walaupun secara  normatif pengakuan terhadap kerja-kerja PPHAM telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT dan TPKS. Sementara berdasarkan hasil survey situasi PPHAM yang dilakukan IProtecnow (Indonesia Protection For WHRD Network) terhadap 329 PPHAM di 6 provinsi melaporkan hasil bahwa 77 % PPHAM memiliki BPJS Kesehatan, sedangkan 23 % PPHAM lainnya tidak memiliki BPJS Kesehatan.


Pada tanggal 29 November di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Pembela HAM, namun tidak banyak masyarakat memahami siapa PPHAM, Apa peran PPHAM dan bagaimana situasi yang dihadapi oleh PPHAM. Situasi berupa risiko ancaman, kekerasan, intimidasi dan segala bentuk potensi kriminalisasi yang dihadapi PPHAM, membuat kerja-kerja PPHAM harus memperkuat  jaringan pengaman sosialnya melalui kerja kolektif untuk memikirkan skema perlindungan bagi PPHAM. 


Berdasarkan hasil situasi tersebut, Iprotect Now berupaya untuk membuat protokol perlindungan ekosob PPHAM sebagai informasi langkah-langkah yang bisa diinternalisasi organisasi dengan membangun kemitraan dengan pemerintah, korporasi/perusahaan, lembaga filantropi, lembaga pendidikan, kesehatan dan keagamaan, organisasi HAM/Organisasi Perempuan. Melalui dukungan program Right Here-Right Now 2- Yayasan Gemilang Sehat Indonesia bekerjasama dengan Yayasan SAPA institute menginisiasi penguatan lembaga penyedia layanan masyarakat untuk pengetahuan tentang hak PPHAM, Kesadaran, Adopsi protokol ke dalam kebijakan SOP Lembaga, Akses PPHAM terhadap manfaat perlindungan dan keterhubungan dan pembelajaran, kegiatan ini melibatkan WCC Jombang dan Aliansi Sumut Bersatu Medan.


Pada Desember 2023 lalu, Komnas Perempuan , Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah mengembangkan mekanisme respon cepat yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhi hak hak pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya  yang secara spesifik mencakup insiden keamanan ancaman secara beruntun termasuk mengarah pada tubuh dan seksualitas perempuan; kerusakan properti atau benda yang cukup luas; adanya ancaman atau potensi ancaman nyata yang sangat membahayakan keselamatan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan PPHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan yang dimiliki PPHAM atau PPHAM; maupun kebutuhan penanganan tindakan medis atau psikologis secara segera karena kerja-kerja hak asasi manusianya. Kehadiran mekanisme respon cepat diharapkan bisa mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional perlindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif.


Mekanisme respon cepat sangat dibutuhkan bagi seluruh individu di organisasi dalam menghadapi dinamika advokasi. Kerjasama yang bermakna harus terus di tumbuh dan kembangkan, fungsi jaringan adalah membangun percakapan untuk tidak saling menghakimi. Pengalaman perempuan punya gejolak yang berbeda sehingga sisterhood harus terus diupayakan bersama karena Equality adalah perjuangan bertahap. Perempuan menjadi korban laki-laki jangan sampai perempuan menjadi korban perempuan  bahkan parahnya perempuan menjadi korban aktivis perempuan.

Bagikan ke whatsapp