Aborsi aman adalah hak kesehatan reproduksi yang seharusnya diakses oleh semua perempuan tanpa diskriminasi. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun regulasi telah diatur, implementasinya masih menghadapi tantangan serius. Salah satu kemajuan terbaru adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, yang memperjelas prosedur aborsi aman bagi perempuan yang mengalami kedaruratan medis dan korban kekerasan seksual. Namun, hambatan birokrasi dan kurangnya fasilitas kesehatan yang menunjang, menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk mendapatkan layanan ini.
Undang-Undang Kesehatan No. 36
Tahun 2009 dan PP No. 61 Tahun 2014 sebelumnya telah memberikan dasar hukum
untuk aborsi aman. Namun, penegakan regulasi tersebut tidak berjalan optimal.
Misalnya, tidak adanya fasilitas kesehatan yang ditunjuk secara resmi oleh
pemerintah sebagai penyedia layanan aborsi aman. Hal ini menimbulkan
kesenjangan akses, khususnya bagi perempuan yang tinggal di daerah terpencil
atau dengan status sosial-ekonomi rendah.
Ketidakadilan ini semakin
terlihat dalam kasus korban kekerasan seksual. Sebuah laporan dari ICJR
menunjukkan bahwa banyak korban perkosaan, bahkan anak-anak, kesulitan
mendapatkan izin aborsi, meskipun usia kehamilan mereka masih dalam batas yang
diizinkan. Contoh nyata adalah penolakan permohonan aborsi bagi anak korban
perkosaan di Jombang pada tahun 2021, meski usia kehamilan masih sangat dini
yakni 4 minggu. Situasi ini memperlihatkan kurangnya empati dan dukungan
institusi bagi korban kekerasan seksual.
Aborsi aman juga sering
dihalangi oleh syarat administrasi yang kompleks, seperti keharusan surat
keterangan dari penyidik kepolisian atau rekomendasi tim medis. Padahal, akses
yang mudah dan cepat sangat penting, terutama bagi perempuan dengan kondisi medis
darurat atau korban kekerasan seksual yang masih trauma.
Selain hambatan hukum dan
birokrasi, stigma sosial juga menjadi penghalang besar. Perempuan yang
menjalani aborsi sering kali menghadapi pengucilan sosial atau bahkan
kriminalisasi. Oleh karena itu, edukasi masyarakat mengenai pentingnya layanan
aborsi aman harus terus digalakkan untuk menghapus stigma tersebut.
Pemerintah perlu meningkatkan
komitmennya, tidak hanya dengan mengeluarkan regulasi tetapi juga memastikan
implementasinya di lapangan. Penetapan fasilitas kesehatan untuk aborsi aman,
pelatihan tenaga medis, dan penyederhanaan prosedur adalah langkah konkret yang
mendesak. Tanpa itu, hak perempuan atas kesehatan reproduksi akan terus
terpinggirkan.
Menghapus diskriminasi dalam
layanan aborsi aman bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
masyarakat. Dukungan terhadap perempuan untuk menentukan pilihan atas tubuhnya
adalah bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan langkah kolektif
ini, kita dapat mewujudkan akses yang setara bagi semua perempuan di Indonesia.
Referensi https://tirto.id/ketentuan-aborsi-di-pp-kesehatan-2024-terbaru-syaratnya-g2h3