Tuesday, October 15, 2024

Memperkuat Keamanan Dan Resiliensi Digital dalam Strategi Pencegahan Dan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online





Keamanan dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan berbasis gender sering dipersepsikan dengan konotasi bebas berbuat, tidak diganggu, tertib , kuat, hacker, privasi, wifi, berhati-hati, siaga, waspada, password, perlindungan.  Keamanan bukan hanya  satu dimensi persoalan keamanan fisik saja, namun juga keamanan digital dan psikososial sebagai bagian dari integrasi konsep keamanan, lebih jauh “kestabilan finansial” juga merupakan aspek keamanan yang penting. Seorang Perempuan yang memilih berjalan di ruas jalanan yang ramai dari pada ruas jalanan yang sepi juga bagian dari pola menjalankan strategi keamanan, artinya setiap manusianya memiliki strategi untuk bertahan.


Keamanan fisik pada level tertentu termasuk mempertahankan ruang ekologis disamping keamanan fisik atau tubuh dan asset (uang, gawai dan perangkat teknologi, barang dll). Strategi keamanan yang diterapkan oleh setiap individu tidak akan bisa diterapkan secara kolektif  apabila tidak disupport oleh lingkungan yang positif. Prinsip dasar keamanan holistic mencakup kolektifitas dengan menginternalisasi nilai bahwa kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh mata rantai paling lemah, Proaktif bukan reaktif  dengan keyakinan bahwa mempelajari dan membuat strategi keamanan harus direncanakan dan dijalankan sejak dini serta terus menerus, memiliki tujuan  dengan keyakinan bahwa keamanan yang baik dan berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila dilakukan secara sadar, bukan dipaksakan atau dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu dengan catatan tidak ada satu strategi dan rencana keamanan yang sempurna sehingga “one size fits all” tidak berlaku untuk keamanan. Hal ini membawa pada konsekuensi bahwa kita boleh percaya pada orang lain dalam kondisi tertentu karena risiko keamanan seseorang tidak sama. Apabila hari ini aman belum tentu esok demikian, tidak ada keamanan yang permanen konteks situasi akan selalu berubah, apapun ancaman dan risikonya.


Untuk menghidupkan budaya yang sadar terhadap keamanan, maka perlu diawali dengan pemahaman tentang bagaimana strategi membongkar mitos keamanan digital yang sering diasumsikan bahwa “keamanan digital itu sulit, keamanan digital itu menggunakan perangkat-perangkat sulit, keamanan digital itu mahal, aku tak paham apapun soal keamanan digital, aku tidak terlalu aktif menggunakan internet, jadi keamanan digital tidak penting bagiku, aku bukan siapa-siapa”. Belajar keamanan tidak harus bergantung dengan perangkat, karena berbicara keamanan adalah soal “strategi” yang dikembangkan oleh individu. Keamanan digital bukan hanya soal internet dan setiap individu adalah siapa siapa sebagai warga negara yang berpotensi mendapatkan serangan tidak hanya dari negara namun juga sesama warga negara. Setiap individu punya control terhadap data pribadi yang tidak bisa dikendalikan oleh seseorang. Serangan didunia digital memiliki dampak riil sebagaimana riilnya dampak kekerasan fisik yang dialami oleh setiap individu.


Dalam konteks pendampingan bagi kelompok rentan, keamanan terhadap kebebasan berekspresi sering menimbulkan kekhawatiran bagi aktivis untuk menentukan kurasi ekspresi dan standart kemanfaatan dalam mengkampanyekan aktifitas di ruang-ruang digital, karena banyaknya ancaman yang seringkali dihadapi oleh aktivis.


Dengan semakin berkembangnya dunia digital saat ini selain memberikan banyak manfaat juga menghadirkan tantangan baru, salah satunya yaitu tindak kekerasan seksual berbasis elektronik. Kekerasan seksual diruang digital meliputi penyebaran konten video porno, doxing, impersonating, sextortion (pemerasan seksual), modus yang seringkali dilakukan oleh pelaku adalah memperdaya korban dengan membuat nyaman korban, hingga akhirnya korban tanpa sadar akan mengikuti apa yang diminta oleh pelaku. Sepanjang Januari – September 2024 WCC Jombang mencatat ada 11 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang di adukan. Tantangan yang seringkali dihadapi oleh pendamping dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual berbasis elektronik adalah minimnya alat bukti, kadangkala juga akun yang dipakai oleh pelaku adalah akun fake, tidak hanya itu minimnya edukasi dan literasi korban terkait keamanan digital juga menjadi tantangan tersendiri.


Tulisan ini disusun sebagai refleksi pendamping WCC Jombang  selama mengikuti sesi pelatihan keamanan digital yang diselenggarakan oleh LBH APIK Jakarta di Jogjakarta dengan fasilitator Dhyta Caturani dari purple code. (Ana/Mundik)