Keamanan dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan
berbasis gender sering dipersepsikan dengan konotasi bebas berbuat, tidak
diganggu, tertib , kuat, hacker, privasi, wifi, berhati-hati, siaga, waspada,
password, perlindungan. Keamanan bukan
hanya satu dimensi persoalan keamanan
fisik saja, namun juga keamanan digital dan psikososial sebagai bagian dari
integrasi konsep keamanan, lebih jauh “kestabilan finansial” juga merupakan
aspek keamanan yang penting. Seorang Perempuan yang memilih berjalan di ruas
jalanan yang ramai dari pada ruas jalanan yang sepi juga bagian dari pola
menjalankan strategi keamanan, artinya setiap manusianya memiliki strategi
untuk bertahan.
Keamanan fisik pada level tertentu termasuk
mempertahankan ruang ekologis disamping keamanan fisik atau tubuh dan asset
(uang, gawai dan perangkat teknologi, barang dll). Strategi keamanan yang
diterapkan oleh setiap individu tidak akan bisa diterapkan secara kolektif apabila tidak disupport oleh lingkungan yang
positif. Prinsip dasar keamanan holistic mencakup kolektifitas dengan
menginternalisasi nilai bahwa kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh mata
rantai paling lemah, Proaktif bukan reaktif dengan keyakinan bahwa mempelajari dan
membuat strategi keamanan harus direncanakan dan dijalankan sejak dini serta terus menerus,
memiliki tujuan dengan keyakinan
bahwa keamanan yang baik dan berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila
dilakukan secara sadar, bukan dipaksakan atau dilakukan untuk memenuhi
syarat-syarat tertentu dengan catatan tidak ada satu strategi dan rencana
keamanan yang sempurna sehingga “one size fits all” tidak berlaku untuk
keamanan. Hal ini membawa pada konsekuensi bahwa kita boleh percaya pada orang
lain dalam kondisi tertentu karena risiko keamanan seseorang tidak sama.
Apabila hari ini aman belum tentu esok demikian, tidak ada keamanan yang
permanen konteks situasi akan selalu berubah, apapun ancaman dan risikonya.
Untuk menghidupkan budaya yang sadar terhadap
keamanan, maka perlu diawali dengan pemahaman tentang bagaimana strategi
membongkar mitos keamanan digital yang sering diasumsikan bahwa “keamanan
digital itu sulit, keamanan digital itu menggunakan perangkat-perangkat sulit,
keamanan digital itu mahal, aku tak paham apapun soal keamanan digital, aku
tidak terlalu aktif menggunakan internet, jadi keamanan digital tidak penting
bagiku, aku bukan siapa-siapa”. Belajar keamanan tidak harus bergantung
dengan perangkat, karena berbicara keamanan adalah soal “strategi” yang
dikembangkan oleh individu. Keamanan digital bukan hanya soal internet dan
setiap individu adalah siapa siapa sebagai warga negara yang berpotensi
mendapatkan serangan tidak hanya dari negara namun juga sesama warga negara.
Setiap individu punya control terhadap data pribadi yang tidak bisa
dikendalikan oleh seseorang. Serangan didunia digital memiliki dampak riil
sebagaimana riilnya dampak kekerasan fisik yang dialami oleh setiap individu.
Dalam konteks pendampingan bagi kelompok rentan,
keamanan terhadap kebebasan berekspresi sering menimbulkan kekhawatiran bagi
aktivis untuk menentukan kurasi ekspresi dan standart kemanfaatan dalam
mengkampanyekan aktifitas di ruang-ruang digital, karena banyaknya ancaman yang seringkali dihadapi
oleh aktivis.
Dengan semakin berkembangnya
dunia digital saat ini selain memberikan banyak manfaat juga menghadirkan
tantangan baru, salah satunya yaitu tindak kekerasan seksual berbasis
elektronik. Kekerasan seksual diruang digital meliputi penyebaran konten video
porno, doxing, impersonating, sextortion (pemerasan seksual),
modus yang seringkali dilakukan oleh pelaku adalah memperdaya korban dengan
membuat nyaman korban, hingga akhirnya korban tanpa sadar akan mengikuti apa
yang diminta oleh pelaku. Sepanjang Januari – September 2024 WCC Jombang
mencatat ada 11 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik yang di adukan.
Tantangan yang seringkali dihadapi oleh pendamping dalam penyelesaian kasus
kekerasan seksual berbasis elektronik adalah minimnya alat bukti, kadangkala
juga akun yang dipakai oleh pelaku adalah akun fake, tidak hanya itu minimnya
edukasi dan literasi korban terkait keamanan digital juga menjadi tantangan
tersendiri.
Tulisan ini disusun sebagai refleksi pendamping WCC
Jombang selama mengikuti sesi pelatihan
keamanan digital yang diselenggarakan oleh LBH APIK Jakarta di Jogjakarta
dengan fasilitator Dhyta Caturani dari purple code. (Ana/Mundik)