Monday, October 14, 2024

Menghidupkan Kajian Pesantren Care di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas

 

Dok. WCC Jombang Kegiatan Kajian Pesantren Care di PP Ribart Al-Hadi
Yayasan PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, 11 Oktober 2024


Selama periode 2018-2023, Catatan Tahunan (Catahu)WCC Jombang mencatat sebanyak 415 perempuan telah menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik di ruang publik maupun dalam lingkup domestik. Fakta ini memperkuat bahwa tidak ada jaminan ruang aman bagi perempuan untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender, bahkan di lingkungan Satuan Pendidikan, Perguruan Tinggi termasuk di Pondok Pesantren.


Salah satu penyebab tingginya angka kekerasan berbasis gender di masyarakat adalah masih minimnya pendidikan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) melalui pendekatan nilai-nilai budaya dan agama yang mendukung remaja dan kaum mustadh’afin (kaum tertindas) terbebas dari kekerasan dan permasalahan kesehatan reproduksi. Pesantren memainkan peran yang krusial dalam edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dekat dengan komunitas dan berpengaruh dalam membentuk pemahaman serta sikap individu, terutama di kalangan remaja. Pendidikan yang komprehensif tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di pesantren dapat membantu mencegah kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman yang benar tentang batasan-batasan fisik dan hak-hak individu. Hal ini mencakup pemahaman tentang konsensualitas, perlindungan diri, dan hak untuk menolak segala bentuk kekerasan. Dengan memperkenalkan topik ini secara sensitif dan sesuai dengan nilai-nilai agama, pesantren dapat mengedukasi santri tentang cara melindungi diri dan melawan kekerasan secara efektif.


Melansir dari laman Kemenag, di Jombang pada tahun 2021 terdapat 155 pondok pesantren. Sedangkan untuk jumlah santri, Jombang menduduki posisi ke-12 dengan total 35.090 santri. Tak heran jika Jombang mendapatkan julukan Kota Santri. Pandangan masyarakat khususnya di lingkungan pondok pesantren yang masih menganggap tabu untuk membicarakan seksualitas seringkali dikonotasikan mengajarakan sesorang melakukan hubungan seksual, sehingga banyak orang terutama santri yang akhirnya mencari informasi terkait Hak Kesehatan Seksual Reproduksinya secara mandiri. Hal ini justru sering  menimbulkan pemahaman yang salah tentang Kesehatan Seksual dan Reproduksi bahkan jauh dari nilai agama.


Melihat situai tersebut, pada tanggal 11 Oktober 2024, WCC Jombang bekerjasma dengan Pondok Pesantren Ribath Al Hadi menyelenggarakan Diskusi “Pesantren Care” dengan tema “HKSR dalam perspektif islam” dengan tujuan meningkatkan pengetahuan santriwati dan tenaga pendidik di pesantren untuk membangun responsifitas pencegahan permasalahan Kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual berbasis gender.


Dalam kegiatan yang diadakan di Pondok Pesantren Ribath Al Hadi, Ibu Nyai Umi Chaidaroh Soleh dan Bapak Dr. Jasminto mengajak santriwati untuk mendalami makna cinta dalam konteks hubungan yang sehat dan bermoral. Penjelasan Dr. Jasminto tentang cinta seorang ayah yang melindungi dan mengayomi menekankan pentingnya memahami cinta sebagai bentuk perhatian dan dukungan, bukan kepemilikan. Hal ini relevan dengan banyaknya fakta kasus kekerasan manipulatif yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Segingga pemahaman tentang bagaimana  menjalani hubungan yang sehat, dibutuhkan individu agar merasa aman dan bisa berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan mereka sendiri.


Diskusi ini juga menyoroti bagaimana cinta yang tulus harus diiringi dengan keikhlasan, yang dapat membantu santriwati memahami nilai-nilai moral dalam menjalani hubungan. Kesehatan seksual dan reproduksi bukan hanya tentang aspek fisik, tetapi juga emosional dan mental. Ketika seseorang dapat memahami cinta yang hakiki, mereka dapat lebih menghargai diri sendiri dan memilih untuk menjalin hubungan yang saling menghormati, yang merupakan dasar bagi kesehatan reproduksi yang baik. Pemahaman ini penting dalam membangun relasi yang sehat, di mana komunikasi yang terbuka dan saling menghormati menjadi kunci.


Bapak Dr. Jasminto juga berpesan, bahwa Nasehat moralitas selalu naik dan turun, sehingga dalam islam ada perintah sholat jumat yang selalu membawa pesan ketaqwaan. Ilmu itu tidak meningkatkan moral, namun menjaga keseimbangan moralitas. Dokter Jasminto juga mengajak santri untuk membedakan Etika, moral dan Akhlak  yang merupakan adat. Etika diukur dari baik buruk berdasarkan logika. Moral diukur berdasarkan standart moral yang disepakati Masyarakat, sementara akhlak diukur berdasarkan standart ajaran agama. Dalam hal ini menghormati orang tua dapat diukur dari sisi moral, etika dan akhlak. Sementara timbul pertanyaan mengapa standart etika, moral dan akhlak seringkali menomorduakan Perempuan?


Perempuan dalam kultur budaya Masyarakat kita, masih mengahadapi diskriminasi gender baik dalam konteks Substansi kebijakan, Budaya di masyarakat maupun pelaksana kebijakan yang mengakar secara sistematis yang mengakibatkan marginalisasi, stereotype , subordinasi, double burden.


Dalam diskusi ini ibu Nyai Umi chaidaroh menjelaskan bahwa permasalahan yang dihadapi perempuan begitu kompleks, salah satunya adalah kekerasan seksual, yang bisa dialami oleh Perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks domestik Rumah tangga yang Sakinah adalah adanya sikap saling menghargai dan menjaga harkat dan martabat. Di Era digital ini kekerasan terhadap Perempuan menjadi problem yang tak terbendung ditengah fakta semakin  meningkatkan angka kekerasan, sehingga ruang dialog dengan remaja untuk edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi menjadi kegiatan yang sangat penting dimasifkan di Pondok Pesantren.


Seorang santri harus bisa menjaga dirinya dengan melawan segala bentuk kekerasan dengan memastikan ruang aman yang menjamin adanya dukungan bagi sesama untuk memutus siklus kekerasan yang dihadapi termasuk di lingkungan pesantren. Pesantren memiliki pengamanan lebih ketat di banding institusi Pendidikan lainnya, pesantren menjaga pengamanan selama 24 jam. Di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras ada petugas yang namanya SIGAP (Satuan Inspeksi Tanggap Pengamanan) untuk merespon berbagai permasalahan sosial yang ada di pesantren. Dalam mewujudkan Pesantren yang ramah Perempuan dan anak, pesantren juga harus memastikan terjaganya koneksitas kerjasama dengan berbagai institusi untuk mendukung  upaya mewujudkan ruang aman dalam proses pembelajaran di pesantren.


Dalam sesi diskusi ini, ditutup dengan cloasing statement dari Bapak Dr. Jasminto bahwa aksi terbaik santri adalah belajar dan jangan takut untuk speak up.  Dan Ibu Nyai Umi Chaidaroh juga tegaskan dalam penutup diskusi bahwa yang perlu digarisbawahi dari kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren adalah yang cacat dan rusak serta wajib kita caci maki bukan pesantrennya, tetapi pelaku ! Salam perjuangan  - wujudkan ruang aman di pesantren. (Ana Abdillah)