Sunday, October 12, 2025

Penyusunan SOP tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren As-Sa'idiyyah 2 Bahrul Ulum Jombang

0 comments


Dorong Sinergi Lintas Pihak untuk Wujudkan Pesantren Aman dan Ramah Anak. Penyusunan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilakukan secara partisipatif oleh para pengurus santri dengan pendampingan dari lembaga Women's Crisis Center (WCC) Jombang



 

Jombang, 10 Oktober 2025 — Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum Jombang meluncurkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Kegiatan ini menjadi langkah nyata pesantren dalam menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan ramah anak, sekaligus menjadi model praktik baik bagi pesantren lain di Kabupaten Jombang dan Indonesia.


Acara Diseminasi berlangsung di Aula Yayasan Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, dibuka secara resmi oleh Ketua Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Jombang, KH. Wahfiyul Ahdi, S.H., M.Pd.I, dan diawali dengan doa oleh Abah Drs. KH. Achmad Hasan, M.Pd.I.


Penyusunan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum dilakukan secara partisipatif oleh para pengurus santri dengan pendampingan langsung dari Women’s Crisis Center (WCC) Jombang. Proses ini melibatkan berbagai tahapan, mulai dari pemetaan persoalan yang dihadapi santri di lingkungan pesantren, pembelajaran tentang regulasi nasional seperti UU Pesantren, UU TPKS, dan PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama, hingga lokakarya penyusunan draft bersama tim pengasuh dan mitra pendamping.


Dalam sesi Diseminasi ini, Maslahatul Hidayah, santri sekaligus pengurus Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 yang menjadi ketua tim penyusun, memaparkan perjalanan penyusunan SOP ini. Ia menuturkan bahwa proses tersebut bukan hanya tentang menulis pedoman, tetapi juga menjadi ruang pembelajaran kolektif bagi santri untuk memahami isu keadilan gender, perlindungan korban, dan pentingnya menciptakan ekosistem pesantren yang aman dan berkeadilan.


Dalam pemaparan materi dari Nyai Dra. Hj. Umdatul Choirot, selaku pengasuh Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2, beliau menegaskan bahwa lahirnya SOP ini berangkat dari keprihatinan terhadap berbagai kasus kekerasan yang kerap terjadi karena anak belum memiliki pemahaman utuh tentang persoalan kekerasan dan relasi kuasa.


“Kami menyadari pentingnya kebijakan yang berpihak pada korban sekaligus memperkuat kapasitas pengurus dan infrastruktur pesantren agar lebih responsif terhadap persoalan kekerasan,” ujar Nyai Umdatul.


Sebelum memasuki sesi diskusi panel, moderator menayangkan film dokumenter berisi kesaksian remaja penyintas kekerasan seksual dan orangtuanya yang berjuang menghadapi trauma. Film ini diangkat dari proses trauma healing support group yang diselenggarakan WCC Jombang setiap bulan. Tayangan ini membuka ruang refleksi bagi seluruh peserta tentang pentingnya empati, dukungan psikososial, dan keterlibatan komunitas dalam proses pemulihan korban.


Selanjutnya, dalam diskusi panel yang digelar usai launching, sejumlah narasumber lintas sektor hadir untuk memberikan pandangan dan penguatan.


Perwakilan Kementerian Agama Kabupaten Jombang, Drs. Muhammad Agussalim, M.H., menekankan pentingnya pengimbasan pesantren ramah anak sebagai bagian dari implementasi PMA No. 73 Tahun 2023.


“Pencegahan kekerasan seksual bukan hanya soal kebijakan administratif, tapi juga bagaimana pesantren menjadi ruang pendidikan yang menumbuhkan rasa aman dan saling menghormati,” ungkapnya.


Sementara itu, Kepala Dinas PPKBPPPA Kabupaten Jombang, Dr. Ma’murotus Sa’diyah, M.Kes, mengapresiasi langkah progresif yang dilakukan As-Sa’idiyyah 2.


“Kami berharap seluruh pondok pesantren di Jombang bisa inklusif dan terbuka terhadap berbagai inovasi pencegahan dan penanganan kekerasan seperti yang dilakukan di sini. Kunci utamanya adalah sinergitas antara lembaga layanan pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.


Dari unsur perguruan tinggi, Dr. Siti Rofiah, M.Pd.I, selaku pengurus Forum Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Perguruan Tinggi Jombang, menyoroti bahwa penyusunan SOP di lingkungan pesantren sejatinya merupakan bagian dari pelaksanaan nilai-nilai maqāshid al-syarī‘ah — yakni Hifz ad-dīn (menjaga agama), Hifz an-nafs (menjaga jiwa), Hifz al-‘aql (menjaga akal), Hifz an-nasl (menjaga keturunan/martabat manusia), dan Hifz al-māl (menjaga harta).


“Ketika pesantren menyusun dan menerapkan SOP ini, sesungguhnya mereka sedang menjalankan misi syariah yang hakiki: menjaga martabat manusia, melindungi yang lemah, dan memastikan keadilan ditegakkan. Inilah substansi pendidikan Islam yang sesungguhnya,” jelasnya.


Ia juga menambahkan bahwa pembelajaran dari Forum Satgas PPK PT Jombang menunjukkan pentingnya kerja kolektif lintas kampus dalam memperkuat tata kelola kebijakan dan mengimplementasikan Permendikbud No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi.


Dalam sesi tanya jawab yang melibatkan peserta dan rekan-rekan media, muncul dialog menarik seputar peran media dalam mendorong transparansi dan advokasi publik terhadap isu kekerasan. Para jurnalis menyampaikan bahwa pemberitaan mengenai kekerasan selama ini telah dilakukan dengan mengacu pada kode etik jurnalistik dan prinsip perlindungan korban. Mereka juga berharap agar Kementerian Agama dapat mendorong lebih banyak pesantren untuk bersikap inklusif dan terbuka dalam mendialogkan berbagai temuan dan permasalahan kekerasan di ruang publik.


Sebagai tindak lanjut dari diskusi ini, Kementerian Agama Kabupaten Jombang bersama Dinas PPKBPPPA Kabupaten Jombang menyatakan komitmennya untuk mewujudkan pesantren yang aman dan ramah anak, salah satunya melalui penguatan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan di pondok pesantren secara berkelanjutan.


Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum Jombang, Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, dan Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) melalui program Right Here Right Now 2 (RHRN2). Peserta yang hadir terdiri dari perwakilan Kemenag, Dinas PPKBPPPA, organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, hingga perwakilan pondok pesantren se-Kabupaten Jombang.


Melalui kegiatan ini, As-Sa’idiyyah 2 menegaskan komitmennya sebagai pelopor pesantren ramah anak dan bebas dari kekerasan seksual.


“Kami ingin memastikan setiap santri tumbuh dalam lingkungan yang aman, berdaya, dan terlindungi. Inilah bagian dari jihad kemanusiaan kami,” tutup Nyai Umdatul.


Read more...

Wednesday, August 27, 2025

Refleksi Kegiatan National Networking Forum “Memajukan Akses Keadilan Perempuan Berhadapan dengan Hukum”

0 comments


Bulan lalu perwakilan WCC Jombang mengikuti kegiatan National Networking Forum, sebuah ruang temu yang diinisiasi LBH APIK Jakarta bersama jaringan di berbagai daerah: WCC Jombang, LBH APIK NTT, LBH APIK Makassar, dan Yayasan Embun Pelangi Batam. Dengan dukungan International Bridges to Justice, forum ini mempertemukan aparat penegak hukum, dinas, dan organisasi masyarakat sipil. Bagi kami, forum ini menjadi jadi salah satu momen penting untuk melihat bagaimana hukum bekerja atau justru belum bekerja untuk perempuan  berhadapan dengan hukum (PBH).


Olivia, perwakilan Uni Eropa, menegaskan bahwa dalam lima tahun terakhir EU mendorong akses keadilan bagi perempuan, termasuk mendukung implementasi UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS dan KUHP baru (2023) yang akan berlaku pada 2026. Ia juga menyebut bahwa isu serupa tengah menjadi fokus di tingkat global, dengan penyusunan aturan baru tentang KDRT di 27 negara anggota EU. Ini menunjukkan bahwa perjuangan keadilan gender bukan hanya persoalan Indonesia, melainkan agenda lintas batas.


Kemen PPPA melalui Ibu Brigjen. Pol. (Purn.) Desy Andriani menyampaikan data yang mengkhawatirkan: sepanjang 2024 tercatat 12.416 perempuan menjadi korban kekerasan. Angka ini mencakup berbagai bentuk kekerasan—fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi—yang dilaporkan ke lembaga layanan maupun kepolisian. Negara sebenarnya telah memiliki payung hukum mulai dari Pasal 27 UUD 1945 yang menegaskan kesetaraan di hadapan hukum, UU TPKS yang sudah diundangkan, hingga beberapa aturan pelaksana yang disahkan seperti Perpres No. 55 Tahun 2025 tentang UPTD PPA. Namun, sejumlah regulasi penting masih dalam proses. Kondisi ini menunjukkan bahwa jarak antara regulasi dan implementasi masih panjang, dan sering kali korbanlah yang harus menanggung beban di tengah kekosongan aturan teknis.


Dari Mahkamah Agung, Ibu Sudharmawati Ningsih membahas Perma No. 1 Tahun 2024 tentang Restorative Justice (RJ). Beberapa peserta menyampaikan kendala dilapangan bahwa pada praktiknya restorative justice rawan dipakai untuk melanggengkan impunitas. Namun dalam paparannya Mahkamah Agung menegaskan RJ bukan untuk menghapus tanggung jawab pelaku, melainkan untuk pemulihan yang lebih adil. Dalam proses penegakan hukum perkara pidana, seringkali APH menghadapi berbagai tantangan diantaranya : Bukti elektronik yang sering diragukan, minimnya saksi, dan pidana tambahan seperti konseling korban KDRT yang tak kunjung bisa dieksekusi. Dari situ menjadi refleksi bagi kita Bersama  bahwa sistem kita sering terjebak di ranah hukum formil, padahal korban butuh kepastian perlindungan yang konkret.


Dari Kejaksaan Agung, Bu Lenna Andriyani menekankan bahwa jaksa kini dituntut lebih aktif. Ada sejumlah pedoman penting yang menjadi rujukan, antara lain Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana, Pedoman No. 6 Tahun 2021 tentang penanganan perkara persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, serta Pedoman No. 1 Tahun 2023 tentang pengangkatan, pemberhentian, dan tata kerja tenaga ahli di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Semua pedoman ini pada intinya menekankan bahwa jaksa tidak lagi cukup berperan sebagai “penuntut”, melainkan juga bertanggung jawab memastikan hak korban terpenuhi, termasuk koordinasi dengan LPSK dan pemenuhan restitusi.


Namun, di sesi tanya jawab muncul pertanyaan klasik: apakah jaksa bisa menginterupsi hakim ketika hakim mengajukan pertanyaan yang menstigma korban? Pertanyaan ini sebenarnya menyentuh inti masalah: keberanian menantang budaya patriarki di ruang sidang bukan hanya soal ada atau tidaknya aturan, tetapi juga menyangkut kultur kelembagaan dan keberanian personal aparat penegak hukum.


Hal yang tak kalah menarik adalah sesi tentang forensik digital. Perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Digital menjelaskan soal Laboratorium Forensik Berbasis Elektronik (LFBE). Laboratorium ini digunakan, misalnya, untuk menelusuri jejak digital dalam kasus penyebaran konten intim non-konsensual atau ancaman berbasis media sosial. Tantangannya nyata: SDM ahli forensik digital masih sangat terbatas, sementara kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik terus meningkat.


Selain itu, ada UU Perlindungan Data Pribadi (No. 27 Tahun 2022) yang sebenarnya memberi banyak hak pada subjek data, mulai dari hak koreksi hingga hak ganti rugi. Namun, pertanyaan penting tetap ada: seberapa jauh mekanisme itu benar-benar bisa diakses korban di lapangan? Apakah korban kekerasan daring bisa dengan mudah meminta takedown konten yang menimbulkan trauma berkepanjangan? Sayangnya, hingga kini mekanisme tersebut masih rumit, birokratis, dan belum sepenuhnya berpihak pada korban.


Keluar dari forum ini, saya membawa banyak catatan reflektif. Dari semua paparan tersebut, saya merangkum tiga hal penting:

Pertama, kerja-kerja hukum di atas kertas sudah cukup progresif dengan adanya UU TPKS, KUHP baru, Perma, pedoman jaksa, UU PDP, namun realitas di lapangan masih jauh dari kata ideal.

Kedua, implementasi hukum sangat ditentukan oleh keberanian aparat: hakim, jaksa, polisi, hingga dinas teknis. Mereka tidak hanya dituntut menjalankan aturan, tetapi juga melindungi korban dari stigma dan perlakuan diskriminatif.

Ketiga, perlindungan korban kekerasan kini tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata hukum pidana konvensional. Dunia digital membawa tantangan baru, dan jika negara tidak serius menyiapkan SDM forensik maupun infrastruktur perlindungan data, korban akan terus terekspos tanpa perlindungan.

Bagi saya, forum ini menjadi pengingat penting: hukum tidak boleh berhenti di atas kertas, ia harus hidup dan nyata berpihak pada korban. Dan itu berarti perjuangan kita sebagai advokat, pendamping, jurnalis, maupun masyarakat sipil, belum selesai—justru baru dimulai.


Read more...

Monday, August 25, 2025

Belajar Lintas Batas : Penguatan Gerakan HKSR Melalui Cross Visit ke Bangladesh

0 comments


Pada Juli lalu, perwakilan WCC Jombang yang diwakili langsung oleh Direktur WCC Jombang mengikuti kegiatan cross visit ke Bangladesh sebagai upaya memperkuat gerakan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan. Kunjungan belajar ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi pertemuan global 2025 di Kathmandu, yang menekankan pentingnya membangun koneksi lintas negara di kawasan Asia dalam isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Melalui kunjungan ini, banyak  wawasan baru yang didapatkan salah satunya yaitu tentang peluang kolaborasi regional di luar cakupan Program RHRN yang selama ini menjadi ruang utama kerja bersama. Pertemuan yang berlangsung bersamaan dengan agenda tim keuangan Bangladesh dan tim keuangan Rutgers Netherlands (RNL) juga memberikan pemahaman strategis tentang bagaimana kolaborasi lintas fungsi, seperti antara program dan keuangan, dapat memperkuat tata kelola serta keberlanjutan kerja-kerja HKSR di kawasan.

 

Kegiatan ini diselenggarakan melalui dukungan program Right Here Right Now 2, yang di ikuti oleh 3 mitra Negara yakni Indonesia dan Nepal yang berlokasi ke Bangladesh sebagai Negara tujuan kunjungan. Tujuan dari kegiatan ini adalah saling berbagi praktik baik antar negara, Observasi kegiatan mitra di Bangladesh dan Diskusi tentang inovasi digital, pemberdayaan pemuda, advokasi, dan keberlanjutan program.

 

Kunjungan ini dirancang sebagai ruang pembelajaran strategis yang mencakup diskusi mendalam mengenai isu-isu kunci, seperti situasi politik, sosial, dan gender terkini di Bangladesh. Selain menjadi ajang refleksi atas capaian dan inovasi di tahun sebelumnya, kegiatan ini juga difokuskan pada penyusunan rencana kerja yang mencakup penguatan advokasi, riset, serta pemberdayaan pemuda ke depan.

 

Selama kunjungan, para peserta mengikuti serangkaian agenda yang mencakup:

  1. Pertemuan dengan BRAC (Bangladesh Rehabilitation Assistance Committee) sebagai Country Lead Partner di Bangladesh, untuk mempelajari praktik baik, pencapaian, dan tantangan yang dihadapi. Peserta juga mendapatkan pemahaman lebih luas tentang bagaimana BRAC tumbuh menjadi lembaga non-pemerintah terbesar di Bangladesh setelah institusi negara dan militer, serta peran strategisnya dalam isu-isu pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

  2. Diskusi bersama seluruh mitra koalisi RHRN di Bangladesh, yang menjadi forum terbuka untuk berbagi strategi, inovasi digital, dan pendekatan keberlanjutan program.

  3. Kunjungan lapangan ke sekolah intervensi dan wilayah kumuh di Dhaka, untuk melihat secara langsung implementasi program di tingkat komunitas, termasuk pendekatan edukasi, penguatan kapasitas remaja, dan intervensi berbasis konteks lokal.

  4. Pembaharuan informasi mengenai agenda-agenda internasional dan strategi penutupan program, dengan penekanan pada keberlanjutan gerakan HKSR di tingkat nasional dan regional, terutama melalui penguatan kapasitas pemuda dan koalisi sebagai aktor utama perubahan.

     

    Hasil kunjungan memberikan sejumlah catatan penting yang dapat menjadi bahan refleksi dan rencana penguatan bersama, khususnya dalam konteks pengembangan kerja-kerja advokasi anak muda dan keberlanjutan program:

     

    1. Penguatan Kapasitas Orang Muda

    Penting untuk terus mendorong peningkatan kapasitas anak muda dalam keterampilan public speaking, pengorganisasian kelompok, serta perencanaan keberlanjutan inisiatif mereka. Selain itu, perlu difasilitasi koneksi lintas jaringan pemuda, baik di tingkat nasional maupun regional, serta akses ke sumber pendanaan alternatif untuk mendukung inisiatif yang mereka kelola secara mandiri.

     

    1. Optimalisasi Ruang Digital dan Kolaborasi Akademik

    Penguatan ruang digital perlu dilakukan melalui kemitraan strategis dengan institusi pendidikan tinggi, seperti universitas, guna mendorong literasi digital, inovasi, serta pemanfaatan teknologi terkini termasuk kecerdasan buatan (AI). Kolaborasi ini penting agar program tetap relevan dengan perkembangan zaman dan dapat menjangkau lebih luas.

     

    1. Monetisasi Produk dan Platform Digital

    Untuk mendorong keberlanjutan, penting untuk mempertimbangkan model monetisasi dari produk pengetahuan atau platform digital yang telah dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kemitraan dengan organisasi yang memiliki visi serupa dalam pemberdayaan perempuan dan anak, maupun dengan sektor swasta yang memiliki kepedulian terhadap isu sosial.

     

    1. Pendalaman Digitalisasi melalui Pertukaran Pembelajaran

    Terkait praktik digitalisasi dan pemanfaatan AI, sangat disarankan untuk mengadakan sesi pertukaran pengetahuan secara daring (online) dengan mitra Bangladesh atau mitra lain di kawasan. Inisiatif ini dapat menjadi inspirasi dalam merancang keberlanjutan Youth Generation for Social Impact (YGSI) dan platform serupa di Indonesia.

     

    1. Evaluasi Pendekatan WSA (Whole School Approach)

    Diperlukan upaya untuk menyusun alat ukur yang sistematis dalam mengevaluasi pelaksanaan Whole School Approach (WSA) di sekolah. Evaluasi ini penting untuk mengetahui sejauh mana pendekatan tersebut telah berdampak dan bagaimana upaya perbaikannya ke depan.


    Dalam waktu implementasi yang relatif singkat, yakni hanya tiga tahun, Program RHRN2 di Bangladesh menunjukkan kemajuan yang pesat, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan dan keterbatasan. Keberhasilan ini tidak lepas dari semangat belajar yang tinggi dari pengalaman negara-negara lain, serta kemampuan untuk mengadopsi dan mengadaptasi praktik baik ke dalam konteks lokal mereka.

     

    Dibandingkan dengan dua negara Asia lainnya dalam program RHRN2, Bangladesh berada selangkah lebih maju dalam hal digitalisasi dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI). Meskipun inisiatif ini masih dalam tahap pengembangan awal dan belum sepenuhnya diimplementasikan secara luas, fondasi yang telah dibangun menunjukkan arah yang menjanjikan. Pendekatan digital yang dikembangkan telah mulai menciptakan model-model baru yang potensial untuk menghasilkan dampak nyata, sekaligus menjadi inspirasi bagi negara lain dalam merancang keberlanjutan program yang responsif terhadap perkembangan teknologi.(Ana) 

Read more...

Refleksi Kegiatan Coaching Klinik, Penguatan Advokasi Hukum : Tindak Pidana Korupsi, Perempuan dan Kebijakan Publik

0 comments

 

Kegiatan Coaching Clinic ini menjadi ruang belajar bersama yang sangat berharga, khususnya dalam memperdalam pemahaman tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) dan relevansinya dengan isu perempuan serta kebijakan publik yang dipantik oleh Bapak Athoillah selaku Hakim Tipikor Surabaya.


Diskusi dibuka dengan penguatan dasar hukum Tipikor, mulai dari UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Peserta diajak memahami jenis tindak pidana korupsi yang paling sering terjadi, khususnya penyalahgunaan wewenang. Menariknya, narasumber menekankan bahwa penyalahgunaan kewenangan seringkali dimaknai berbeda: ada yang melihatnya sebagai pelanggaran hukum murni, sementara ada pula yang mencoba membenarkannya dengan alasan di luar kendali pejabat.


Refleksi penting muncul saat narasumber mengaitkan isu Tipikor dengan kasus kekerasan seksual. Sama seperti korban kekerasan seksual yang kerap disalahkan atas pakaiannya, masyarakat sering membebankan kesalahan hanya pada pihak penerima suap, sementara logika sebenarnya menunjukkan bahwa pemberi suap justru patut dihukum lebih berat. Analogi ini membuka kesadaran bahwa hukum tidak boleh digunakan untuk melanggengkan ketidakadilan.


Kegiatan ini juga menyinggung bagaimana Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan kasus korupsi terbanyak, terutama di tingkat desa. Fakta ini mengingatkan kita bahwa korupsi bukan hanya persoalan elit, melainkan menyentuh langsung kehidupan masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok miskin yang paling terdampak. Korupsi di sektor perbankan, khususnya pada program Kredit Usaha Rakyat (KUR), memperlihatkan bagaimana perempuan kerap menjadi pihak yang paling rentan dimanipulasi.


Dari diskusi ini, peserta memperoleh wawasan bahwa korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi juga merusak prinsip usaha bersama yang menjadi fondasi ekonomi Indonesia. Selain hukuman penjara dan denda, Tipikor juga mengenal sanksi tambahan berupa uang pengganti, pencabutan hak politik, hingga pidana terhadap korporasi. Namun, tantangan besar masih ada pada lemahnya eksekusi putusan, yang kerap membuat publik kehilangan kepercayaan pada sistem hukum.


Korupsi sudah menjadi persoalan serius di Indonesia. Secara sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau wewenang untuk keuntungan pribadi maupun kelompok, yang merugikan kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur bentuk-bentuk korupsi dan sanksinya, terutama dalam Pasal 2 yang menjerat perbuatan memperkaya diri secara melawan hukum, serta Pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang.


Namun, korupsi bukan sekadar soal hukum atau hilangnya uang negara, melainkan soal hak-hak masyarakat yang dirampas. Akibat dana pendidikan dan kesehatan yang bocor, anak-anak dari keluarga miskin, terutama Perempuan yang sering kehilangan kesempatan sekolah atau layanan kesehatan. Perempuan pun menjadi pihak yang paling berat menanggung dampak, karena merekalah yang harus memastikan keluarga tetap makan, sehat, dan bisa bertahan hidup.


Data BPS (2023) menunjukkan Jawa Timur menempati posisi tertinggi kasus korupsi di Indonesia, sekaligus sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang besar. Ini memperlihatkan betapa erat kaitannya korupsi dengan kemiskinan struktural.


Karena itu, pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berhenti pada menghukum pelaku. Lebih penting adalah memastikan kebijakan publik benar-benar bebas dari praktik korupsi dengan membuka ruang partisipasi masyarakat, khususnya perempuan, dalam mengawasi jalannya program pemerintah. Melawan korupsi berarti melawan kemiskinan, semakin bersih pemerintah, semakin besar peluang rakyat untuk hidup adil dan sejahtera.


Pada akhirnya, refleksi utama dari kegiatan ini adalah bahwa melawan korupsi tidak bisa berhenti pada penegakan hukum semata. Perlu keberanian untuk memastikan hukum berpihak pada rakyat, khususnya kelompok rentan, agar kekuasaan tidak lagi menjadi alat penindasan. Suara advokasi harus terus lantang, mengingat korupsi selalu membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. (Ana/Nina/Tifa)

Read more...