Monday, August 25, 2025

Refleksi Kegiatan Coaching Klinik, Penguatan Advokasi Hukum : Tindak Pidana Korupsi, Perempuan dan Kebijakan Publik

0 comments

 

Kegiatan Coaching Clinic ini menjadi ruang belajar bersama yang sangat berharga, khususnya dalam memperdalam pemahaman tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) dan relevansinya dengan isu perempuan serta kebijakan publik yang dipantik oleh Bapak Athoillah selaku Hakim Tipikor Surabaya.


Diskusi dibuka dengan penguatan dasar hukum Tipikor, mulai dari UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Peserta diajak memahami jenis tindak pidana korupsi yang paling sering terjadi, khususnya penyalahgunaan wewenang. Menariknya, narasumber menekankan bahwa penyalahgunaan kewenangan seringkali dimaknai berbeda: ada yang melihatnya sebagai pelanggaran hukum murni, sementara ada pula yang mencoba membenarkannya dengan alasan di luar kendali pejabat.


Refleksi penting muncul saat narasumber mengaitkan isu Tipikor dengan kasus kekerasan seksual. Sama seperti korban kekerasan seksual yang kerap disalahkan atas pakaiannya, masyarakat sering membebankan kesalahan hanya pada pihak penerima suap, sementara logika sebenarnya menunjukkan bahwa pemberi suap justru patut dihukum lebih berat. Analogi ini membuka kesadaran bahwa hukum tidak boleh digunakan untuk melanggengkan ketidakadilan.


Kegiatan ini juga menyinggung bagaimana Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan kasus korupsi terbanyak, terutama di tingkat desa. Fakta ini mengingatkan kita bahwa korupsi bukan hanya persoalan elit, melainkan menyentuh langsung kehidupan masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok miskin yang paling terdampak. Korupsi di sektor perbankan, khususnya pada program Kredit Usaha Rakyat (KUR), memperlihatkan bagaimana perempuan kerap menjadi pihak yang paling rentan dimanipulasi.


Dari diskusi ini, peserta memperoleh wawasan bahwa korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi juga merusak prinsip usaha bersama yang menjadi fondasi ekonomi Indonesia. Selain hukuman penjara dan denda, Tipikor juga mengenal sanksi tambahan berupa uang pengganti, pencabutan hak politik, hingga pidana terhadap korporasi. Namun, tantangan besar masih ada pada lemahnya eksekusi putusan, yang kerap membuat publik kehilangan kepercayaan pada sistem hukum.


Korupsi sudah menjadi persoalan serius di Indonesia. Secara sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau wewenang untuk keuntungan pribadi maupun kelompok, yang merugikan kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur bentuk-bentuk korupsi dan sanksinya, terutama dalam Pasal 2 yang menjerat perbuatan memperkaya diri secara melawan hukum, serta Pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang.


Namun, korupsi bukan sekadar soal hukum atau hilangnya uang negara, melainkan soal hak-hak masyarakat yang dirampas. Akibat dana pendidikan dan kesehatan yang bocor, anak-anak dari keluarga miskin, terutama Perempuan yang sering kehilangan kesempatan sekolah atau layanan kesehatan. Perempuan pun menjadi pihak yang paling berat menanggung dampak, karena merekalah yang harus memastikan keluarga tetap makan, sehat, dan bisa bertahan hidup.


Data BPS (2023) menunjukkan Jawa Timur menempati posisi tertinggi kasus korupsi di Indonesia, sekaligus sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang besar. Ini memperlihatkan betapa erat kaitannya korupsi dengan kemiskinan struktural.


Karena itu, pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berhenti pada menghukum pelaku. Lebih penting adalah memastikan kebijakan publik benar-benar bebas dari praktik korupsi dengan membuka ruang partisipasi masyarakat, khususnya perempuan, dalam mengawasi jalannya program pemerintah. Melawan korupsi berarti melawan kemiskinan, semakin bersih pemerintah, semakin besar peluang rakyat untuk hidup adil dan sejahtera.


Pada akhirnya, refleksi utama dari kegiatan ini adalah bahwa melawan korupsi tidak bisa berhenti pada penegakan hukum semata. Perlu keberanian untuk memastikan hukum berpihak pada rakyat, khususnya kelompok rentan, agar kekuasaan tidak lagi menjadi alat penindasan. Suara advokasi harus terus lantang, mengingat korupsi selalu membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. (Ana/Nina/Tifa)

0 comments:

Post a Comment