Bulan lalu perwakilan WCC Jombang mengikuti kegiatan National Networking Forum, sebuah ruang temu yang diinisiasi LBH APIK Jakarta bersama jaringan di berbagai daerah: WCC Jombang, LBH APIK NTT, LBH APIK Makassar, dan Yayasan Embun Pelangi Batam. Dengan dukungan International Bridges to Justice, forum ini mempertemukan aparat penegak hukum, dinas, dan organisasi masyarakat sipil. Bagi kami, forum ini menjadi jadi salah satu momen penting untuk melihat bagaimana hukum bekerja atau justru belum bekerja untuk perempuan berhadapan dengan hukum (PBH).
Olivia,
perwakilan Uni Eropa, menegaskan bahwa dalam lima tahun terakhir EU mendorong
akses keadilan bagi perempuan, termasuk mendukung implementasi UU No. 12 Tahun
2022 tentang TPKS dan KUHP baru (2023) yang akan berlaku pada 2026. Ia juga
menyebut bahwa isu serupa tengah menjadi fokus di tingkat global, dengan
penyusunan aturan baru tentang KDRT di 27 negara anggota EU. Ini menunjukkan
bahwa perjuangan keadilan gender bukan hanya persoalan Indonesia, melainkan
agenda lintas batas.
Kemen
PPPA melalui Ibu Brigjen. Pol. (Purn.) Desy Andriani menyampaikan data yang
mengkhawatirkan: sepanjang 2024 tercatat 12.416 perempuan menjadi korban
kekerasan. Angka ini mencakup berbagai bentuk kekerasan—fisik, psikis, seksual,
maupun ekonomi—yang dilaporkan ke lembaga layanan maupun kepolisian. Negara
sebenarnya telah memiliki payung hukum mulai dari Pasal 27 UUD 1945 yang
menegaskan kesetaraan di hadapan hukum, UU TPKS yang sudah diundangkan, hingga
beberapa aturan pelaksana yang disahkan seperti Perpres No. 55 Tahun 2025
tentang UPTD PPA. Namun, sejumlah regulasi penting masih dalam proses. Kondisi
ini menunjukkan bahwa jarak antara regulasi dan implementasi masih panjang, dan
sering kali korbanlah yang harus menanggung beban di tengah kekosongan aturan
teknis.
Dari
Mahkamah Agung, Ibu Sudharmawati Ningsih membahas Perma No. 1 Tahun 2024
tentang Restorative Justice (RJ). Beberapa peserta menyampaikan kendala
dilapangan bahwa pada praktiknya restorative justice rawan dipakai untuk
melanggengkan impunitas. Namun dalam paparannya Mahkamah Agung menegaskan RJ
bukan untuk menghapus tanggung jawab pelaku, melainkan untuk pemulihan yang
lebih adil. Dalam proses penegakan hukum perkara pidana, seringkali APH
menghadapi berbagai tantangan diantaranya : Bukti elektronik yang sering
diragukan, minimnya saksi, dan pidana tambahan seperti konseling korban KDRT
yang tak kunjung bisa dieksekusi. Dari situ menjadi refleksi bagi kita Bersama bahwa sistem kita sering terjebak di ranah
hukum formil, padahal korban butuh kepastian perlindungan yang konkret.
Dari
Kejaksaan Agung, Bu Lenna Andriyani menekankan bahwa jaksa kini dituntut lebih
aktif. Ada sejumlah pedoman penting yang menjadi rujukan, antara lain Pedoman
Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam
penanganan perkara pidana, Pedoman No. 6 Tahun 2021 tentang penanganan perkara
persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, serta Pedoman No. 1 Tahun 2023
tentang pengangkatan, pemberhentian, dan tata kerja tenaga ahli di lingkungan
Kejaksaan Republik Indonesia. Semua pedoman ini pada intinya menekankan bahwa
jaksa tidak lagi cukup berperan sebagai “penuntut”, melainkan juga bertanggung
jawab memastikan hak korban terpenuhi, termasuk koordinasi dengan LPSK dan
pemenuhan restitusi.
Namun,
di sesi tanya jawab muncul pertanyaan klasik: apakah jaksa bisa menginterupsi
hakim ketika hakim mengajukan pertanyaan yang menstigma korban? Pertanyaan ini
sebenarnya menyentuh inti masalah: keberanian menantang budaya patriarki di
ruang sidang bukan hanya soal ada atau tidaknya aturan, tetapi juga menyangkut
kultur kelembagaan dan keberanian personal aparat penegak hukum.
Hal
yang tak kalah menarik adalah sesi tentang forensik digital. Perwakilan dari
Kementerian Komunikasi dan Digital menjelaskan soal Laboratorium Forensik
Berbasis Elektronik (LFBE). Laboratorium ini digunakan, misalnya, untuk
menelusuri jejak digital dalam kasus penyebaran konten intim non-konsensual
atau ancaman berbasis media sosial. Tantangannya nyata: SDM ahli forensik
digital masih sangat terbatas, sementara kasus-kasus kekerasan seksual berbasis
elektronik terus meningkat.
Selain
itu, ada UU Perlindungan Data Pribadi (No. 27 Tahun 2022) yang sebenarnya
memberi banyak hak pada subjek data, mulai dari hak koreksi hingga hak ganti
rugi. Namun, pertanyaan penting tetap ada: seberapa jauh mekanisme itu
benar-benar bisa diakses korban di lapangan? Apakah korban kekerasan daring
bisa dengan mudah meminta takedown konten yang menimbulkan trauma
berkepanjangan? Sayangnya, hingga kini mekanisme tersebut masih rumit,
birokratis, dan belum sepenuhnya berpihak pada korban.
Keluar
dari forum ini, saya membawa banyak catatan reflektif. Dari semua paparan
tersebut, saya merangkum tiga hal penting:
Pertama,
kerja-kerja hukum di atas kertas sudah cukup progresif dengan adanya UU TPKS,
KUHP baru, Perma, pedoman jaksa, UU PDP, namun realitas di lapangan masih jauh
dari kata ideal.
Kedua,
implementasi hukum sangat ditentukan oleh keberanian aparat: hakim, jaksa,
polisi, hingga dinas teknis. Mereka tidak hanya dituntut menjalankan aturan,
tetapi juga melindungi korban dari stigma dan perlakuan diskriminatif.
Ketiga,
perlindungan korban kekerasan kini tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata
hukum pidana konvensional. Dunia digital membawa tantangan baru, dan jika
negara tidak serius menyiapkan SDM forensik maupun infrastruktur perlindungan
data, korban akan terus terekspos tanpa perlindungan.
Bagi
saya, forum ini menjadi pengingat penting: hukum tidak boleh berhenti di atas
kertas, ia harus hidup dan nyata berpihak pada korban. Dan itu berarti
perjuangan kita sebagai advokat, pendamping, jurnalis, maupun masyarakat sipil,
belum selesai—justru baru dimulai.

0 comments:
Post a Comment