Wednesday, August 27, 2025

Refleksi Kegiatan National Networking Forum “Memajukan Akses Keadilan Perempuan Berhadapan dengan Hukum”

0 comments


Bulan lalu perwakilan WCC Jombang mengikuti kegiatan National Networking Forum, sebuah ruang temu yang diinisiasi LBH APIK Jakarta bersama jaringan di berbagai daerah: WCC Jombang, LBH APIK NTT, LBH APIK Makassar, dan Yayasan Embun Pelangi Batam. Dengan dukungan International Bridges to Justice, forum ini mempertemukan aparat penegak hukum, dinas, dan organisasi masyarakat sipil. Bagi kami, forum ini menjadi jadi salah satu momen penting untuk melihat bagaimana hukum bekerja atau justru belum bekerja untuk perempuan  berhadapan dengan hukum (PBH).


Olivia, perwakilan Uni Eropa, menegaskan bahwa dalam lima tahun terakhir EU mendorong akses keadilan bagi perempuan, termasuk mendukung implementasi UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS dan KUHP baru (2023) yang akan berlaku pada 2026. Ia juga menyebut bahwa isu serupa tengah menjadi fokus di tingkat global, dengan penyusunan aturan baru tentang KDRT di 27 negara anggota EU. Ini menunjukkan bahwa perjuangan keadilan gender bukan hanya persoalan Indonesia, melainkan agenda lintas batas.


Kemen PPPA melalui Ibu Brigjen. Pol. (Purn.) Desy Andriani menyampaikan data yang mengkhawatirkan: sepanjang 2024 tercatat 12.416 perempuan menjadi korban kekerasan. Angka ini mencakup berbagai bentuk kekerasan—fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi—yang dilaporkan ke lembaga layanan maupun kepolisian. Negara sebenarnya telah memiliki payung hukum mulai dari Pasal 27 UUD 1945 yang menegaskan kesetaraan di hadapan hukum, UU TPKS yang sudah diundangkan, hingga beberapa aturan pelaksana yang disahkan seperti Perpres No. 55 Tahun 2025 tentang UPTD PPA. Namun, sejumlah regulasi penting masih dalam proses. Kondisi ini menunjukkan bahwa jarak antara regulasi dan implementasi masih panjang, dan sering kali korbanlah yang harus menanggung beban di tengah kekosongan aturan teknis.


Dari Mahkamah Agung, Ibu Sudharmawati Ningsih membahas Perma No. 1 Tahun 2024 tentang Restorative Justice (RJ). Beberapa peserta menyampaikan kendala dilapangan bahwa pada praktiknya restorative justice rawan dipakai untuk melanggengkan impunitas. Namun dalam paparannya Mahkamah Agung menegaskan RJ bukan untuk menghapus tanggung jawab pelaku, melainkan untuk pemulihan yang lebih adil. Dalam proses penegakan hukum perkara pidana, seringkali APH menghadapi berbagai tantangan diantaranya : Bukti elektronik yang sering diragukan, minimnya saksi, dan pidana tambahan seperti konseling korban KDRT yang tak kunjung bisa dieksekusi. Dari situ menjadi refleksi bagi kita Bersama  bahwa sistem kita sering terjebak di ranah hukum formil, padahal korban butuh kepastian perlindungan yang konkret.


Dari Kejaksaan Agung, Bu Lenna Andriyani menekankan bahwa jaksa kini dituntut lebih aktif. Ada sejumlah pedoman penting yang menjadi rujukan, antara lain Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana, Pedoman No. 6 Tahun 2021 tentang penanganan perkara persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, serta Pedoman No. 1 Tahun 2023 tentang pengangkatan, pemberhentian, dan tata kerja tenaga ahli di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Semua pedoman ini pada intinya menekankan bahwa jaksa tidak lagi cukup berperan sebagai “penuntut”, melainkan juga bertanggung jawab memastikan hak korban terpenuhi, termasuk koordinasi dengan LPSK dan pemenuhan restitusi.


Namun, di sesi tanya jawab muncul pertanyaan klasik: apakah jaksa bisa menginterupsi hakim ketika hakim mengajukan pertanyaan yang menstigma korban? Pertanyaan ini sebenarnya menyentuh inti masalah: keberanian menantang budaya patriarki di ruang sidang bukan hanya soal ada atau tidaknya aturan, tetapi juga menyangkut kultur kelembagaan dan keberanian personal aparat penegak hukum.


Hal yang tak kalah menarik adalah sesi tentang forensik digital. Perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Digital menjelaskan soal Laboratorium Forensik Berbasis Elektronik (LFBE). Laboratorium ini digunakan, misalnya, untuk menelusuri jejak digital dalam kasus penyebaran konten intim non-konsensual atau ancaman berbasis media sosial. Tantangannya nyata: SDM ahli forensik digital masih sangat terbatas, sementara kasus-kasus kekerasan seksual berbasis elektronik terus meningkat.


Selain itu, ada UU Perlindungan Data Pribadi (No. 27 Tahun 2022) yang sebenarnya memberi banyak hak pada subjek data, mulai dari hak koreksi hingga hak ganti rugi. Namun, pertanyaan penting tetap ada: seberapa jauh mekanisme itu benar-benar bisa diakses korban di lapangan? Apakah korban kekerasan daring bisa dengan mudah meminta takedown konten yang menimbulkan trauma berkepanjangan? Sayangnya, hingga kini mekanisme tersebut masih rumit, birokratis, dan belum sepenuhnya berpihak pada korban.


Keluar dari forum ini, saya membawa banyak catatan reflektif. Dari semua paparan tersebut, saya merangkum tiga hal penting:

Pertama, kerja-kerja hukum di atas kertas sudah cukup progresif dengan adanya UU TPKS, KUHP baru, Perma, pedoman jaksa, UU PDP, namun realitas di lapangan masih jauh dari kata ideal.

Kedua, implementasi hukum sangat ditentukan oleh keberanian aparat: hakim, jaksa, polisi, hingga dinas teknis. Mereka tidak hanya dituntut menjalankan aturan, tetapi juga melindungi korban dari stigma dan perlakuan diskriminatif.

Ketiga, perlindungan korban kekerasan kini tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata hukum pidana konvensional. Dunia digital membawa tantangan baru, dan jika negara tidak serius menyiapkan SDM forensik maupun infrastruktur perlindungan data, korban akan terus terekspos tanpa perlindungan.

Bagi saya, forum ini menjadi pengingat penting: hukum tidak boleh berhenti di atas kertas, ia harus hidup dan nyata berpihak pada korban. Dan itu berarti perjuangan kita sebagai advokat, pendamping, jurnalis, maupun masyarakat sipil, belum selesai—justru baru dimulai.


0 comments:

Post a Comment